BOSSY BOSS

Chapter 229 - Became Stranger



Chapter 229 - Became Stranger

0Setelah bertemu dengam Eza dan Raka, Daisy merasa lega karena akhirnya rumah jadi sepi oleh mereka. Ia benar-benar tidak suka dengan kedatangan Eza sejak kejadian itu. Ia bahkan membencinya.     

Walau Eza sudah meminta maaf, tapi bukan berarti Daisy memaafkannya dengan mudah.     

Mendung juga sudah berakhir. Deras hujan sudah berganti menjadi gerimis. Daisy akhirnya bisa keluar untuk menghirup basahnya tanah karena air hujan.     

Jeremy lalu keluar lengkap sudah dengan pakaian rapinya. "Sayang, aku ke restoran ya sekarang?" pamitnya.     

"Eh, aku pikir kamu nggak ke restoran hari ini," balas Daisy.     

"Tadinya mau begitu, tapi biasa ... kehabisan stok lagi. Jadi mungkin hanya sebentar. Tapi kalau kamu mau pergi jalan, ajak Ama, ya. Jangan sendiri. Ok?"     

Daisy mengangguk dan tersenyum. Lalu Jeremy mengecupnya sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan Daisy.     

Sayang sekali Daisy tidak memiliki rencana apa pun hari ini, atau lebih tepatnya belum memiliki rencana yang matang. Jadi ia hanya merapikan rumah atau bersantai sebisanya.     

Satu jam kemudian, kebosanan datang. Daisy akhirnya menelepon Ama bahwa ia ingin sekali main ke apartemennya. Ama tentu saja senang mendengarnya dan akan menyiapkan camilan untuk mereka.     

Daisy bersiap dan di antar supir menuju apartemen Ama. Daisy juga berpesan pada supirnya agar tidak usah menjemputnya karena Ama akan mengantarnya pulang.     

Sambil masuk ke dalam lift, Daisy mengirim pesan pada Jeremy bahwa ia bersama Ama.     

Dentingan lift berikutnya berbunyi dan Daisy melihat Zen masuk ke dalam. Keduanya sama-sama diam tak bertegur sapa. Jantung Daisy berdegup kencang karena ia hanya berdua dengan Zen.     

Ia berharap waktu segera berlalu dan lift ke lantai apartemen Ama segera berhenti. Namun waktu seakan berpihak pada mereka.     

Daisy merasa canggung. Ia terpaksa sibuk dengan ponselnya.     

"Sendirian?" tanya Zen tiba-tiba.     

"Ya."     

"Ke tempat Ama?"     

"Ya."     

Zen menghela nafasnya. Percakapannya dengan Daisy rupanya benar-benar terdengar asing dan dingin.     

"Kamu semakin cantik, Daisy," puji Zen.     

Daisy tidak membalas ucapan Zen. Ia tidak ingin ada kesempatan untuknya melakukan dosa lagi dengan Zen. Ia tidak mau sekalipun Zen tampak terlihat seksi saat bersamanya di lift.     

Akhirnya Daisy bisa keluar dari lift dan bebas dari godaan Zen. Ia menatap ke belakang dan Zen menatapnya sampai pintu lift tertutup.     

Digelengkannya kepala Daisy dan ia segera menuju kamar apartemen Ama.     

Sampai akhirnya pintu apartemen Ama terbuka, Daisy belum bisa mengendalikan detak jantungnya. Ia bahkan langsung masuk tanpa menyapa Ama.     

"Hei, ada apa, Daisy? Apa kamu baik-baik saja?" tanya Ama sambil memberikan segelas air pada Daisy.     

"Terima kasih. Tapi aku nggak baik-baik saja, Ama. Tadi ... nggak, maksudku, barusan aku bertemu dengannya di lift. Satu lift. Hanya berdua," jelas Daisy mengatur nafasnya.     

Ama mengikuti gerakan bicara Daisy sambil mengangguk. Sudah tidak membuatnya terkejut jika Daisy bertemu dengan Zen di sini. Apalagi memang Ama dan Zen satu gedung apartemen walau keduanya awalnya tidak tahu.     

"Yang penting nggak terjadi apa pun, kan?" tanya Ama memastikan.     

Daisy menggeleng. Memang tidak terjadi apa pun, tapi cukup membuatnya berdebar. Debaran itu bahkan tidak bisa berhenti hingga saat ini.     

"Sudahlah, bukan masalah lagi, Dai. Selama dia nggak melakukan apa pun denganmu, aku rasa baik-baik saja."     

"Sebenarnya bukan itu yang aku khawatirkan. Aku juga lupa kalau kalian satu gedung, makanya aku syok. Dan lagi ... Jeremy mungkin juga tahu pergerakanku, Ma."     

***     

Sekembalinya ke apartemen, tanpa menggoda atau melakukan fore play, Zen langsung melepas ikat pinggangnya. Meraih Aulin yang sedang menonton televisi dan membuatnya menungging.     

Dengan perasaan amarah, kesal, bercampur rindu, ia bercinta dengan Aulin. Aulin tentu saja hampir lengah menghadapinya, tapi ia mulai terbiasa walau bertanya-tanya apa yang membuat Zen kerap kali seperti ini.     

Usai bercinta, Zen langsung mandi. Ia bahkan belum mengatakan apa pun pada Aulin.     

Aulin sendiri tidak marah atau kesal. Ia senang bisa bercinta dengan Zen sebab ia juga mendapatkan kepuasaan sendiri. Toh, status mereka juga bukan berpacaran, hanya saling membutuhkan untuk memenuhi kebutuhan seksual mereka.     

Segarnya pancuran air cukup membuat penderitaan Zen menghilang. Apalagi ia sudah menuntaskan kekesalannya juga setelah bercinta dengan Aulin. Ia kemudian menatap Aulin yang sudah kembali menonton televisi.     

Masih dengan handuk yang tergantung di pinggangnya, Zen mendekat. "Apa kamu udah makan?" tanya Zen.     

"Ya, sudah. Aku tadi beli pizza dan masih sisa. Kalau kamu mau, akan aku panaskan."     

"Terima kasih, tapi aku akan melakukannya sendiri."     

Zen menuju dapur. Meraih pizza yang masih ada di lemari es dan memasukkannya ke microwave. Ia juga mengambil bir dan menenggaknya.     

Dari jarak yang tidak terlalu jauh, Aulin memperhatikannya. Ia sangat penasaran dengan hal yang Zen coba tutupi darinya.     

Beberapa hal memang Zen sudah katakan secara jujur padanya. Tapi tentang siapa nama wanita yang pernah menjadi istrinya atau mungkin mantan kekasihnya, Aulin tidak tahu.     

Aulin sendiri tidak terlalu pandai mencari tahu kebenaran yang sepertu itu.     

"Apa ada yang ingin kamu katakan, Aulin?" tanya Zen tanpa menoleh ke arahnya.     

Aulin tersentak karena Zen rupanya merasa diperhatikan. Padahal ia melihat jelas Zen tidak menatap ke arahnya.     

"Hmm, nggak ada. Aku harus pulang malam ini," ucap Aulin.     

"Ok, akan aku antar."     

Kemudian keheningan pun terjadi lagi. Aulin kembali menatap layar televisi dan tidak mau menatap Zen lagi. Bisa jadi ia akan diterkam pertanyaan yang sama seperti tadi.     

beberapa jam cukup untuk Zen beristirahat. Ia keluar dari kamarnya dan melihat Aulin tertidur di sofa. Zen menyelimutinya dengan selimut yang ia bawa dari kamarnya.     

Sementara Aulin tidur, menjadi kesempatan Zen untuk lari sore. Ia keluar dari apartemen secara perlahan dan meninggalkan pesan kecil jikalau Aulin terbangun nantinya.     

Zen berharap dengan ia keluar apartemen, ia bisa bertemu dengan Daisy lagi. Tidak masalah jika mereka tidak bersentuhan fisik. Sebab melihat Daisy sudah membuatnya benar-benar merasa berenergi.     

"Zen ... " sebuah suara memanggil. Zen mencari-cari sumber suara itu dan ia melihatnya.     

Benar yang ia dengar dan terkabulah keinginannya. Ia bertemu Daisy. Kali ini wajah Daisy tampak lebih bersahabat dari pada tadi.     

Daisy menyuruh ya mendekat. Lebih tepatnya di satu kamar apartemen yang kosong. Ketika Zen menatap sekelilingnya, ia menatap Daisy dengan satu alis terangkat.     

"Apa ini, Daisy?" tanya Zen mulai mengerti namun tak mempercayai apa yang dilihatnya.     

Daisy langsung memeluknya. Walau pelukan itu tidak begitu erat karena kehamilannya. Tapi ia tidak peduli jika hari ini, detik dan menit juga sementara ini ia mengingkari kesetiannya.     

Zen yang mendapatkan pelukan itu awalnya terkejut, lalu ia mulai membalas pelukan Daisy.     

"Ada apa?" tanya Zen lembut.     

Aku rindu, batin Daisy. Tidak tahu kenapa, ia tidak bisa mengatakan dua kata itu pada Zen. Terlalu gengsi karena sikapnya yang akhir-akhir ini dingin.     

"Apa kamu merindukanku?" tanya Zen yang menyadarinya sendiri.     

Daisy hanya menganggukkan kepalanya. Ia tidak bisa membalasnya dengan ucapan. Jadi, dalam pelukan, ia mengangguk.     

"Aku membeli apartemen ini untuk kita," ujar Daisy.     

Zen langsung melepaskan pelukan Daisy dan menatapnya dengan serius. "Apa? Kamu bercanda?"     

"Nggak. Aku membelinya dengan uang dan rekening rahasiaku, Zen. Rekening yang kubuat saat kita masih bersama. Dan kebetulan di depan kamar ini, kamarnya Ama. Aku dibantu olehnya membeli apartemen ini," jelas Daisy.     

"Bagaimana kalau Jeremu tahu? Dia punya anak buah yang cukup kuat dari pada aku, Daisy," ujar Zen mengakui kekuatan Jeremy.     

Daisy mengangguk dan tersenyum. "Kamu benar bagian itu, tapi Jeremy nggak akan pernah tahu. Aku jamin."     

Zen memang senang, tapi sekarang ia malah merasa dilema. Bagaimana hubungannya dengan Aulin yang hanya sebatas kebutuhan seksual? Ia bahkan mulai menyukai wanita itu namun enggan mengatakannya.     

Apalagi Daisy benar-benar serius membeli apartemen dengan harga ratusan juta.     

Sial! Rutuk Zen.     

Di saat seharusnya ia senang, tapi ia juga merasa bingung. Apalagi ia menjadi kekasih palsu Aulin dan sepakat untuk saling melengkapi kebutuhan seksual mereka.     

"Ada apa? Kamu nggak terlalu senang sepertinya?" tanya Daisy memicingkan matanya.     

"Bukan ... bukan begitu. Kadang aku bingung melihat perilakumu yang sebentar dingin dan kaku juga seperti saat sekarang. Kamu membuatku bingung, Daisy."     

"Di saat kamu mencoba untuk berubah menjadi laki-laki yang baik?" tanyanya memastikan.     

Dengan ragu, Zen mengangguk. Ia juga kepikiran dengan Aulin yang masih berada di apartemennya. Padahal tadi Zen berharap bertemu Daisy, tapi malah seperti ini pertemuan yang ia temukan.     

"Apa kamu dan Aulin ... " tiba-tiba ucapan Daisy terhenti dan ia mundur sejengkal. Sebab saat melihat tatapan Zen, Daisy tahu jawabannya.     

"Daisy ... aku mencintaimu. Tapi, kita nggak akan bisa bersama," ujar Zen.     

Daisy hanya diam. Tubuhnya mulai bergetar dan ia menghubungi seseorang.     

"Jualkan apartemen saya. Tempatnya belum saya pakai sama sekali," ujarnya pada seseorang di seberang telepon.     

Daisy memasukkan kembali ponselnya dan menatap Zen. "Well, kamu mendapat yang kamu inginkan, Zen. Jangan temui aku lagi. Anggap kita nggak saling kenal jika bertemu. Detik ini dan hari ini adalah terakhir kalinya aku mengenalmu. Terima kasih sudah kembali menumbuhkan perasaan itu lagi. Dan maaf jika aku membuatmu dilema," jelas Daisy dan beralih ke kamar apartemen Ama.     

Zen sama sekali tidak mengejarnya. Ia hanya keluar dari tempat itu dan berjalan lunglai untuk kembali ke tempatnya.     

Saat pintu apartemen itu terbuka, ia melihat Aulin seperti baru bangun tidur. Zen mendekat dan kemudian memeluknya.     

Tentu saja Aulin kebingungan. "Zen ... ada apa? Kamu baik-baik saja?" tanyanya.     

Zen tidak menjawab. Aulin tidak perlu tahu, tapi pelukannya sangat menenangkannya.     

"Aku menyukaimu, Aulin. Sangat menyukaimu."     

Tubuh Aulin lantas menjadi kaku. Ia tidak tahu harus membalas apa pada Zen. Tidak terpikir olehnya bahwa Zen akan menyukainya secepat ini.     

"Sangat, sangat, dan sangat menyukaimu. Seharian aku nggak bisa berhenti berpikir tentangmu," ungkap Zen.     

"Zen ... tapi aku ... "     

"Aku nggak terima penolakan. Sekarang kamu milikku, Aulin. Milikku," ujar Zen yang diikuti dengan mencium bagian leher dan telinga Aulin.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.