BOSSY BOSS

Chapter 227 - That Bad Boy is Loser



Chapter 227 - That Bad Boy is Loser

0"Daisy ... sayang, tenanglah," ujar Jeremy menenangkan Daisy dengan sentuhannya.     

Reina yang tahu keadaan memanas langsung membawa Jason beserta Lily ke ruang bermain mereka.     

Wajah Daisy menegang penuh amarah menatap Eza. Walau sentuhan Jeremy berhasil memadamkan amarahnya sedikit, tapi bukan berarti Daisy lantas tidak marah pada Eza.     

"Wow, tenang, Daisy. Aku hanya mengajaknya bicara," ujar Eza membela diri.     

"Jangan sekali-kali mengajaknya berbicara seolah orang tuanya nggak di sini?" kata Daisy mengingatkan.     

"Daisy, sebaiknya kamu ke kamar," kini suara Thomas, Ayah tiri juga mertuanya itu berbicara. Daisy langsung menatap Thomas dengan kesal, namun ia tetap pergi sesuai perintah Ayahnya.     

Sampai Daisy masuk ke kamar, Eza kemudian kembali duduk dengan yang lain. Jeremy masih di sana, menetralkan suasana walau ia merasa jengah dengan kondisi yang sudah keterlaluan.     

"Maafkan dia, dia memang sensitif kalau sudah bicara tentang Raja," kata Jeremy mewakili Daisy.     

Eza melirik Jeremy dan mengangguk-angguk. "Apa dia selalu begitu?" tanyanya.     

"Eza, sebaiknya jangan berbicara apa pun tentang Raja. Jason, tentu tahu siapa Papanya, tapi jangan sekali-kali mengungkitnya seperti itu," timpal Thomas menasihati.     

"Maafkan saya Om, Jeremy dan yang lain. Saya hanya ... yah, merindukan sahabat saya itu," ujar Eza dengan suara menyedihkan.     

Jeremy hanya diam, begitu pun Raka. Mereka lalu diam dalam beberapa menit sampai Weiske menghidangkan coklat hangat untuk para laki-laki.     

"Minumlah supaya kalian jauh lebih tenang," ujar Weiske lembut.     

Setelah satu jam merasa suasana cukup kondusif, saat itu juga Eza berniat untuk pulang. Namun Raka dan Thomas menyuruhnya untuk menginap semalam. Mau tak mau, Eza pun mengiyakannya.     

Lalu tak lama Daisy keluar sudah rapi dengan tasnya. Ia menatap Jeremy yang mana Jeremy sudah tahu artinya.     

"Ayo, kita pulang, Jer."     

Jeremy merasa sungkan karena Daisy mengajak pulang di depan tamu dan keluarganua, yang mana walau pun tamunya adalah seorang yang menyebalkan.     

"Iya, sebentar. Tunggu dulu, ya," jawab Jeremy.     

"Nggak mau. Aku maunya sekarang!" seru Daisy.     

Thomas menepuk-nepuk bahu mantunya. Ia menganggukkan kepalanya pada Jeremy. "Pulang saja, Jer. Nggak apa-apa. Biarkan istrimu tenang di rumahnya, ok?"     

Jeremy dengan perasaan malu akhirnya mengangguk. Ia meraih kunci mobil dan kemudian mereka pun berpamitan. Setelah itu Daisy lebih dulu masuk ke dalam mobil yang disusul Jeremy.     

Daisy hanya diam sepanjang perjalanan. Tatapannya hanya tertuju ke arah jalanan yang di lalui mobilnya. Wajahnya tertekuk karena merasa masih kesal. Ia juga tidak suka seseorang menggunakan nama Raja sembarangan atau membuat Jeremy merasa panas.     

Tangan kiri Jeremy menyentuhnya. Menghantaran kehangatan yang membuat Daisy merasa tenang dalam secepat itu. Ia menatap Jeremy dan tersenyum kaku.     

"Nggak usah dipikirkan soal tadi, Sayang, ok?" ujar Jeremy.     

"Sejak awal dia memang nggak suka aku, Jer. Dan sama halnya seperti dia, aku juga nggak suka sama dia."     

"Iya. Yang penting kamu nggak ketemu dia lagi."     

"Caranya berbicara dengan Jason itu terlaku berlebihan. Apalagi semua mendengar, bahkan di depan kamu! Apa nggak sengaja namanya?"     

Jeremy mengangguk. "Aku tahu dia sengaja, Sayang. Tapi aku masih menahan emosiku."     

"Lain kali, marahi orang yang seperti itu, Jer. Nggak punya manner!"     

Jeremy tersenyum dengan kesabarannya. Ia tidak tahu harus memberi reaksi apalagi pada Daisy selain pasrah dan mengalah. Ia juga paham bagaimana Ibu hamil terlalu sensitif untuk hal seperti tadi. Tapi yang ia tahu, Daisy memang seorang sangat sensitif terhadap hal yang menyinggungnya.     

***     

"Well, gue nggak tahu kalau cerita mereka sampai begitu," timpal Eza ketika Raka menceritakan tentang Raja, Daisy dan Jeremy.     

Mereka berdua akhirnya memilih untuk berbincang-bincang di kolam renang. Sebab mau tak mau Raka harus menceritakan semuanya pada Eza.     

"Seharusnya lo bisa mengerem, Za. Gue yang nggak enak sama Daisy dan Jeremy," kata Raka.     

Eza menggaruk-garuk kepalanya karena bingung. "Iya, sorry. Gue nggak tahu. Kalau lo dari awal bilang mungkin gue nggak akan sok-sokan menyinggungnya seperti itu."     

Raka menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak. Ia pikir Eza akan menghargai privasi seseorang. Sebab seharusnya ia tahu tak semua masalah harus diceritakan.     

"Kalau bisa lo minta maaf sama mereka," kata Raka memberi saran.     

"Daisy udah benci banget sama gue kayaknya," timpal Eza.     

"Mungkin. Tapi gus bisa membujuknya. Selain sama Jeremy, Daisy cukup nurut sama gue."     

"Karena lo kembarannya Raja?"     

Raka mengedikkan bahunya. Bisa jadi, pikirnya. Tapi yang Raka tahu, Daisy selalu terbuka padanya jika dibanding dengan Raja. Tapi Raka tidak ingin mengatakan itu, jadi ia hanya bisa mengedikkan bahunya atau mengiyakan ucapan Eza.     

"Mungkin besok gimana, Ka?" tanya Eza.     

"Yah, bisalah nanti gue atur. Lo atur dulu apa yang mau lo omongin."     

"Gampang. Tapi besok antar gue ke makamnya Raja, ya?"     

Raka menganggukkan kepalanya dan kemudian mereka berdua pun menghisap rokoknya dalam-dalam.     

Beberapa menit setelahnya hanya suara kolam renang yang menjadi pemecah kesunyian. Raka sibuk dengan ponselnya, begitu pun Eza yang juga memiliki hal yang sama. Keduanya seperti terhipnotis oleh ponsel masing-masing sampai Reina menghampiri mereka.     

"Raka, Eza, udah malam, sebaiknya tidur," ujar Reina memberi kode pada Raka untuk tidur.     

Raka mengangguk dan berdiri. Sementara itu Eza mengiyakan tapi masih duduk pada tempatnya.     

"Kalian duluan aja, aku masih mau di sini," kata Eza.     

"Oh ya, udah. Kalau butuh apa-apa telepon gue aja, ya."     

Eza mengangguk pada ucapan Raka. Ia pun kemudian beralih lagi pada ponselnya.     

Raka membasuh wajahnya setiap kali ia akan pergi tidur. Kemudian ia turut bergabung bersama Reina di ranjang. Tentu saja mereka tidak akan langsing tidur, melainkan mengobrol seputaran seharian ini.     

"Besok sepertinya aku antar si Eza ke rumah Jeremy," ujar Raka memberitahu.     

"Hah? Mau apa? Dia mau cari mati sama Daisy?" sahut Reina tak percaya.     

"Minta maaf, Rei. Aku terpaksa menceritakan semuanya supaya dia nggak salah paham. Masa dia nggak tahu apa-apa malah jadi nyalahin Daisy? Kan, aku nggak bisa membiarkannya begitu," jelas Raka.     

Reina mengangguk mengerti. "Ya, benar sih. Sebenarnya salah kita dari awal nggak, sih? Seharusnya kita ceritakan aja dari awal. Aku kan, bilangnya sama Daisy kita udah menceritakannya. Pasti dia jadi mikir kalau Eza itu nggak punya sopan santun akan privasi seseorang."     

"Ya, sudah. Nggak apa-apa. Sementara biarkan Daisy sekalian istirahat. Dia juga lagi hamil dan pasti sensian. Jadi, lihat besok bagaimana jadinya," tanya Reina.     

"Ok, sebaiknya kita tidur kalau gitu. Berarti kamu besok nggak ke kantor, ya?"     

Raka mengangguk. Ia pun akhirnya membawa Reina ke dalam dekapannya, karena hanya dengan cara itu Raka baru bisa tidur. Apalagi Reina selalu mengenakan lingerie walau mereka tidak bercinta, jadi keadaan pun semakin mendukung untuk Raka memeluknya dan biasanya di tengah malam ia mengajak Reina bercinta dalam keadaan Reina masih mengantuk.     

***     

Matahari masih terlalu malu menampakkan cahayanya. Bahkan pagi-pagi sudah mendung diliputi dengan hujan rintik kecil. Padahal cahaya matahari menyelinap sedikit. Terpaksa acara Raka dan Eza ke makam untuk mengunjungi Raja ditunda terlebih dahulu.     

Setelah semalaman bergumul sendiri, Eza memutuskan untuk datang ke rumah Jeremy untuk meminta maaf. Tentu saja ia meminta Raka mengaturnya terlebih dahulu karena bisa saja di rumah Jeremy tidak ada orang.     

Raka memberitahu Eza setelah ia menghubungi Jeremy, bahwa Jeremy dan Daisy ada di rumah dan tidak ke mana-mana. Jadi, mereka pun berangkat bersama untuk ke lokasi.     

"Sebenarnya gue bingung plus malu, Ka. Jadi, nanti bantu gue buat ngomong, ya?" ujar Eza mengaku.     

"Duh Za ... Eza ... lo tu ya, udah lama di luar negeri, tapi nggak paham-paham bagaimana menjaga sikap dan bertutur kata. Heran gue," balas Raka masih tak mempercayai sahabatnya itu masih sangat minim sekali sikapnya.     

"Dari dulu gue sekolah, mata pelajaran etika atau apalah itu selalu gue skip, Ka. Ya, gue mikirnya halah etika doang, bisa itu mah kalau tanpa materi," jelasnya kemudian ia menghembuskan nafasnya. "Nggak tahunya, seberharga ini juga," tambahnya.     

Raka hanya berdecak karena ia cukup memahami pemikiran Eza yang terkesan bebas dan liar.     

"Pantas aja, nilai etika gue dari dulu selalu C minus. Untungnya nggak harus ngulang," ujarnya lagi.     

Tidak heran bagi Raka dan Raja jika sudah mengenai Eza. Sejak dulu memang Eza laki-laki yang nakal dan tidak peduli terhadap suatu hal. Tapi jika membicarakan kepintaran otaknya kecuali etika, Eza selalu nomor satu.     

"Nah, udah sampai, nih," kata Raka ketika mereka memasuki gerbang rumah Jeremy.     

"Wow, segede ini cuma ditinggali dua orang?"     

"Hmm, ya. Tapi selalu welcome sama siapa pun yang mau menginap," jawab Raka.     

Mereka berdua turun dan kemudian Raka menekan bel pintu rumah. Tak lama Daisy yang membukanya dan ia terkejut dengan siapa yang datang.     

Tanpa membuka lebar-lebar, Daisy sudah waspada lebih dulu. "Mau apa dia ke sini, Raka?" tanyanya pada Raka.     

"Ada hal yang mau dia sampaikan ke kamu dan Jeremy, Dai," ujar Raka.     

"Apa itu?"     

"Sayang ... biarkan mereka masuk." Suara Jeremy terdengar di balik pintu. Daisy menoleh dan ia melepaskan kenop pintunya kemudian meninggalkan Jeremy dan dua laki-laki itu.     

Jeremy membukanya lebar-lebar dan menyuruh mereka berdua masuk.     

Cuaca di luar lebih mendung. Benar-benar terjadi hujan deras tanpa matahari setengah muncul seperti tadi. Jadi, Jeremy membuatkan teh panas untuk keduanya.     

"Kayaknya Daisy nggak bisa diajak bicara. Moodnya dari kemarin masih buruk," terang Jeremy dengan sedikit berbisik.     

"Duh, maaf. Kayaknya efek perbuatan gue benar-benar bikin dia bad mood banget, ya?" timpal Eza merasa bersalah.     

Jeremy menatapnya dan mengangguk kecil dengan senyuman. "Yah, tapi nggak masalah. Dia akan terkontrol selama beberapa hari. Biarkan aja dia begitu dulu sementara ini."     

Akhirnya Eza memandang Raka dan membuat isyarat agar Raka membantunya. Tapi yang Raka lakukan hanya diam dan membiarkan Eza bekerja sendiri untuk meminta maaf.     

"Hmm, gue datang buat minta maaf sama lo dan Daisy. Tapi kalau Daisy nggak bisa memaafkan, gue nggak masalah. Kemarin gue nggak tahu banyak tentang cerita lo, Daisy dan Raja," jelas Eza pada Jeremy.     

Eza sudah siap jika Jeremy akan memarahinya atau mencaci makinya. Tapi yang ia dapatkan malahan berbeda dari ekspektasinya ...     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.