BOSSY BOSS

Chaptee 224 - Look At Me & Be With Me



Chaptee 224 - Look At Me & Be With Me

0Cara menatapnya benar-benar seperti menerkamnya. Daisy hampir merasa takut. Namun Daisy berusaha bersikap biasa. Tidak tahu kenapa firasatnya seperti merasakan Jeremy tahu sesuatu tentang Zen.     

"Ada apa? Apa terjadi sesuatu di restoran?" tanya Daisy. Yang ia tahu, nama Deni adalah salah satu karyawan di restoran. Sebagai pengawas di sana. Jadi, Daisy juga berpikir, bisa jadi terjadi sesuatu di restoran.     

"Biasa, bahan pokok habis dadakan. Restoran bludak karena hari ini tanggal merah, jadi ramainya nggak umum," jawab Jeremy.     

Daisy sedikit lega. Tapi ia merasa nada bicara Jeremy terdengar seperti dingin.     

"Ada hal lain?" tanya Daisy memancing.     

"Nggak ada, Sayang. Hanya itu saja. Aku kadang khawatir kalau resto seramai itu dan bahan pokok habis secara mendadak. Padahal kami udah stok melebihi batas untuk jaga-jaga. Artinya restoran lebih ramai dari yang kuduga belakangan ini," jelas Jeremy.     

Daisy mengusap-usap tangan Jeremy dan tersenyum padanya. Memberi dukungan pada suaminya yang sudah bekerja sangat keras.     

"Oh ya, aku juga berencana membuka toko minuman, Dai. Apa kamu menyetujuiku membuka itu?"     

"Wow! Itu keren! Tentu saja aku setuju, Sayang."     

Jeremy tersenyum padanya. "Syukurlah kamu setuju. Aku sangat ingin membuka berbagai macam kulineran. Rencanaku toko minuman instan itu menyediakan makanan instan juga. Seperti burger, hotdog, dan berbagai macamnya, bagaimana?"     

Daisy mengacungkan jempolnya pada Jeremy. "Aku akan selalu mendukung yang terbaik, Jer."     

"Terima kasih, istriku. Aku baru membuat resep dan mencobanya dulu untuk diri sendiri. Setelah itu aku baru buka dan berencana memberikan gratis di hari pertama pembukaan."     

Daisy sangat terkesan dengan ide-ide penjelasan Jeremy. Sangat bagus dan terarah. Banyak hal yang bisa Daisy pelajari dari Jeremy.     

"Kita akan memiliki aset yang banyak dan besar buat anak-anak kita, Dai," ujar Jeremy seraya membawanya dalam pelukan dadanya.     

Daisy tersenyum senang. Ia mengangguk dan memejamkan matanya. Lalu tak sadar ia terbawa dalam tidur yang lelap.     

Jeremy membenarkan posisi tidur Daisy dan memberinya selimut. Sementara itu ia membuka laptopnya untuk bekerja dan memeriksa sesuatu.     

Wajahnya berkerut. Sesekali ia melirik ke arah Daisy yang masih terlelap, lalu kembali lagi ke layar laptopnya.     

Layar laptop yang menghadapnya menunjukkan hasil CCTV yang ia pasang secara tersembunyi. Jeremy akhirnya tahu Zen datang ke sini. Bersama Aulin.     

Jeremy menelaah wajah bingung Daisy yang artinya bukan sebuah kesengajaan. Jadi ia bisa mengerti bahwa Daisy tidak tahu akan bertemu dengan Zen.     

Ia pun menyimpan file itu ke tempat yang aman. Ia melihat Daisy dan menatapnya cukup lama.     

"Sepertinya kamu berusaha menyembunyikannya karena ingin menghormatiku, ya? Atau karena kamu ingin benar-benar berubah?" tanya Jeremy lirih.     

Ia tersenyum menatap Daisy. Walau berapa kali pun Daisy menyakitinya, tidak ada alasan untuk tidak memaafkannya.     

Jeremy menutup laptopnya dan menyimpannya. Ia kemudian menyiapkan makanan sebelum nanti berangkat ke acara. Lalu ia mandi dan setelah itu membangunkan Daisy.     

"Daisy Sayang, bangunlah. Sudah sore," kata Jeremy membangunkannya.     

Daisy melenguh dan membuka matanya lemas. "Iya ... sebentar, ya."     

Jeremy mengecupnya. Ia senang melihat Daisy saat bangun tidur. Menunggunya hingga Daisy merasa sekali diperhatikan.     

"Jer, jangan," erang Daisy malu.     

"Aku nggak akan berhenti melihatmu sampai kamu bangun," godanya.     

Daisy akhirnya beranjak secara perlahan. Wajah cantiknya benar-benar terpancar ketika ia baru bangun tidur. Terlihat segar dan menarik di mata Jeremy.     

"Jangan melepaskan tanganku. Aku punya firasat kamu akan dilirik wanita lain di sana. Aku nggak mau," ucap Daisy padanya.     

Jeremy memeluk pinggang Daisy dan mengecupnya. "Siap, Nyonya. Jalan sekarang kita?"     

Daisy mengangguk sebagai jawaban dan meraih tasnya.     

Sebuah musik klasik menemani perjalanan mereka dengan syahdu. Malam terasa segar dan sama sekali cerah. Suasana juga ramai dan perasaan keduanya menjadi tenang.     

Mereka pun sampai di sebuah gedung dengan lampu-lampu megah menyala-nyala terang.     

Daisy terperangah. Hanya acara ulang tahun pernikahan saja seramai ini, pikirnya.     

"Wow, sangat ... mewah," ucap Daisy menilainya.     

"Yah, begitulah dia. Dia senang membuat acara-acaranya terkesan megah dan ingin mengalahkan siapa pun," balas Jeremy.     

Daisy mengalungkan tangannya di lengan Jeremy. "Apa kamu akan membuat pesta kita seperti ini jika kamu mau?" tanya Daisy.     

"Ya, tergantung bagaimana keinginanmu. Setuju atau nggak. Karena kan sekarang tentang persetujuan dua orang, Sayang."     

Daisy bergelayut senang mendengar ucapan Jeremy. Mereka masuk ke dalam dan di sambut para penyambut tamu.     

Jeremy juga bersalaman dengan beberapa rekan kerjanya. Daisy bahkan juga mengikutinya. Senyum mereka berikan pada semuanya hingga Jeremy menggiring Daisy ke depan untuk bertemu si tuan rumah.     

"Selalu mewah," puji Jeremh berdecak.     

"As always. Terima kasih udah datang. Selamat menikmati, ok?" balas si tuan rumah bernama Vino dan istrunya bernama Grace.     

Daisy mengucapkan selamat juga pada suami istri itu. Sesekali ia terlibat dalam pembicaraan mengenai kehamilan.     

"Mereka sudah lama nggak punya anak. Maksudku, mereka menginginkannya, makanya si Grace sangat antusias melihat wanita hamil," bisik Jeremy memberitahu.     

"Ah, pantas. Dia bahkan bertanya bagaimana aku bisa hamil. Katanya dia ingin meniru, bisa jadi ia bisa," kata Daisy memberitahu juga.     

"Yah, jawab sebisamu saja, Sayang. Kalau Vino sendiri sudah pasrah, jika diberi maka ia akan merawatnya dan bahagia, kalau pun nggak, bukan masalah untuknya. Bisa bersama istrinya saja ia sudah senang."     

Sementara Jeremy dan Daisy duduk di salah satu ruang VIP yang sudah disiapkan untuk tamu khusus, di ujung terlihat Zen sedang menatap Jeremy dan Daisy dari kejauhan.     

Ia datang seorang diri karena Vino jugalah rekan bisnisnya. Tapi ia tidak tahu kalau Jeremy termasuk salah satu rekan yang terpenting bagi Vino. Apalagi matanya juga tak lepas dari Daisy. Wajah cantiknya dalam masa kehamilannya benar-benar membuatnya enggan mengalihkan mata.     

***     

"Hai! Ada apa, nih, malam-malam ajak aku jalan?" tanya Aulin setelah ia masuk ke dalam mobil Zen.     

"Ngopi. Aku butuh teman ngopi," jawab Zen sekenanya.     

"Dengan pakaian seperti itu?" tanya Aulin menatapnya.     

"Aku habis mendatangi sebuah acara, jadi aku sekalian langsung ke sini," jawab Zen.     

Aulin mengangguk paham. Ia tidak lagi mengajak Zen berbicara karena sepertinya Zen sedang tidak dalam keadaan yang bagus, pikirnya.     

Sementara itu Zen sesekali melirik Aulin yang sibuk dengan ponselnya. Ia pun menyita ponsel Aulin dan mengantunginya di jasnya.     

"Eh!" protes Aulin dengan wajah kesal.     

"Pastikan selama bersamaku, nggak ada gadget yang kamu pandangi," kata Zen mengingatkan.     

Aulin menaikkan satu alisnya. "Kamu bukan pacarku, Zen!"     

"Jangan lupa bagian kekasih palsu."     

"Itu kalau di hadapan keluargaku dan mantan kekasihku!" kata Aulin mengoreksi kalimat Zen.     

Zen hanya diam dan tetap fokus pada kemudinya. Sampai akhirnya ia berhenti di sebuah kedai kopi dekat apartemennya. Aulin turun dan Zen pun juga.     

"Bukannya ini dekat dengan apartemenmu?" tanya Aulin.     

"Ya. Ayo, masuk. Pesan kopi yang kamu mau," ajak Zen sambil menggandengnya.     

Aulin terkejut dengan sentuhan Zen. Ia menatap tangannya yang sudah digenggam oleh Zen dan tetap diam walau Zen menariknya untuk segera masuk ke kedai.     

"Kamu mau pesan apa?" tanya Zen menolehnya.     

Ia baru sadar bahwa ternyata Aulin menatap genggaman tangannya dan tidak berbicara apa pun. Karena Zen merasa dilihati, akhirnya ia berbisik ke telinga Aulin.     

"Cantik," godanya.     

Aulin langsung menatapnya dengan mata membelalak dan kedua pipi memerah. "Hah? Apa?"     

"Cepat pesan sebelum semua orang mengira aku penculik," desis Zen berbisik.     

Aulin menatap ke semua pengunjung kedai yang menatap mereka. Ia benar, batinnya. Aulin pun langsung memesan es cappucino sebagai pilihan kopi terbaik untuknya.     

Setelah Zen mencari meja dan kursi, mereka duduk bersisian. Zen tidak pernah duduk seperti posisi itu. Biasanya ia selalu berhadapan dengan wanitanya, tapi Aulin, selalu memilih di sisinya.     

"Kenapa kamu selalu memilih di sampingku?" tanya Zen.     

"Ah, aku hanya terbiasa saja. Lagi pula kurasa normal-normal aja, bukan?"     

"Awas, jangan jatuh cinta," bisik Zen.     

"Hah? Bercanda, ya? Wajahmu itu wajah-wajah patah hati dibanding aku, Zen. Untuk apa jatuh cinta dengan seorang yang sama patah hatinya sepertiku?" ejek Aulin tertawa.     

"Wajahku seperti itu? Padahal wanita saja aku nggak punya," balas Zen.     

"Wow, seorang Zen nggak punya pacar? Sangat terkesan!"     

"Tapi aku punya anak, pernah menikah, cerai, nikah lagi, punya anak lagi dan ditinggal istri meninggal," jelas Zen singkat.     

Saat itu juga Aulin langsung tidak tersenyum lagi. Baginya, ia tidak tahu apakah itu kebenaran atau hanya sebuah karangan yang Zen buat.     

"Jangan bercanda kamu!" timpal Aulin menolak terima kejujuran yang Zen katakan.     

"Aku serius. Itulah kenyataan yang perlu kamu dengar."     

Aulin membuang wajahnya. Mendengus dan kemudian ia menyeruput es cappucinonya.     

Zen menghadapkan posisinya ke samping, menatap Aulin yang sedang membuang wajahnya dari Zen. Hingga ia sadar dari jendela kaca kedai, kemudian ia berceletuk, "kenapa sih, lihat-lihat?"     

"Ada apa? Apa kamu marah dan nggak terima fakta tentang kejujuranku?"     

"Buat apa juga aku marah? Memangnya aku siapamu?"     

Zen tersenyum. Ia paling senang mendengar bagaimana wanita terdengar cemburu atau kesal padanya. Ia juga tahu bahwa sedari awal di masa patah hatinya, Aulin sudah menyukainya.     

"Aulin, aku suka kamu. Apa kamu akan membuang wajahmu dariku?" tanya Zen menggoda.     

"Zen ... jangan mengatakan apa pun."     

"Aku hanya mencoba jujur supaya kamu juga jujur kalay kamu menyukaiku sejak awal."     

Baru saat itu Aulin menatapnya yang terlalu sangat dekat. Saking dekatnya, jantung Aulin berdebar cepat. Ia berharap semoga debaran itu tidak terdengar oleh Zen.     

Zen tersenyum padanya. "Jangan. Jangan sembunyikan apa pun dariku. Aku bisa melihatnya, Aulin. Aku juga sudah bilang kan, kalau obat patah hatimu adalah jatuh cinta lagi."     

Aulin tidak mengatakan apa pun selain nafasnya yang tersengal-sengal. Nafas Zen bisa ia rasakan. Wangi mint dari mulutnya perpaduan kopi bisa ia cium.     

"Dan aku juga bisa mendengar debaran jantungmu. Bagaimana kamu nggak bisa melawanku dalam berbicara. Dan kamu sangat merindukan sentuhan seks yang pernah kamu dapatkan saat di luar ... Aulin, bercintalah denganku," bisik Zen ke telinganya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.