BOSSY BOSS

Chapter 223 - Met Again



Chapter 223 - Met Again

0Untuk sejenak dunia terasa kecil. Selalu ada celah dan waktu untuk bisa bertemu dengan orang yang sama. Sebuah kebetulan atau keberuntungan? Sebuah kesengajaan dari Sang Pencipta atau memang beginilah takdir? Semua sama saja.     

Daisy membalas pelukan Aulin dengan wajah heran menatap Zen. Zen hanya diam membalas tatapannya dan sudah tidak begitu terkejut lagi. Tapi perasaannya senang bertemu Daisy.     

"Oh ya, Kak. Kenalkan, ini Zen, semalam kami bertemu di bar. Lengkap ceritanya nanti saja aku ceritakan, ya!" kata Aulin bersemangat.     

Daisy mengulurkan tangannya pada Zen yang tentu saja dibalas Zen. Sejak awal, Aulin memang tidak tahu sudah berapa kali Daisy menikah. Sebab memang Daisy tidak berminat menceritakan masalah hidupnya pada orang lain, sekali pun ia menganggap Aulin adiknya, bagi Daisy, ia tidak mau banyak orang tahu masalah mereka.     

"Apa Zen boleh ikut bertamu, Kak?" tanya Aulin pada Daisy.     

"Hmm ... ya bol-"     

"Aku harus ke kantor, Aulin. Kurasa sampai di sini saja," potong Zen menatap Aulin.     

Aulin mengeluarkan ponselnya dan memberikannya pada Zen. "Simpan nomormu di sana! Aku nggak terima penolakan!"     

Zen menghela nafas. Ia meraih ponsel itu dan menyimpan nomornya lalu mengembalikannya lagi. Daisy masih merasa kikuk dan kaku melihat interaksi mereka berdua.     

"Ok. Thank you, Zen!"     

Zen berlalu dari mereka. Ia meninggalkan rumah Daisy tanpa melihat ke belakang sekalipun. Sekarang, ia jadi tahu di mana Daisy tinggal. Baginya, ada untungnya mengenal Aulin tapi juga Zen jadi semakin tak bisa melepas masa lalunya.     

***     

Daisy memperhatikan pakaian Aulin. Pikirannya jadi buruk dalam sekejap ketika Aulin bercerita tentang pertemuannya dengan Zen.     

Apakah mereka jadi berakhir di ranjang? Batin Daisy.     

"Jadi, kenapa kamu baru sekarang ingat aku, Aulin? Kamu pulang ke Indonesia bahkan nggak bilang aku," tanya Daisy berpura-pura kesal.     

Aulin meringis kecil. "Maaf Kak, aku sibuk pacaran hingga lupa siapa saja yang harus aku temui. Tapi aku juga dapat karmanya. Pacarku, dia selingkuh dan tidur dengan selingkuhannya itu!"     

Suara Aulin yang mendesis itu cukup meyakinkan Daisy bahwa semalam tidak terjadi apa pun padanya dan Zen.     

"Si Tomi?" tanya Daisy.     

"Benar. Jadi aku memutuskannya secara sepihak. Dia nggak mau sebenarnya dan berkeras hati ingin menjelaskan. Buat apa menjelaskan kalau bukti mata udah cukup? Iya kan, Kak?"     

Daisy mengangguk. Ia mengenal Aulin sebagai pasangan Tomi, teman seangkatan Daisy, yang artinya Aulin berpacaran dengan Kakak kelasnya. Daisy hanya tidak menyangka bahwa Tomi akan berkhianat seperti itu.     

"Lalu, alasan apa kamu ke sini?" tanya Daisy.     

"Tomi di rumah. Sepertinya dia menjelaskan sesuatu sama Mamaku. Ah, pokoknya aku nggak mau!" seru Aulin kesal.     

"Ya, udah. Makanlah dulu dan santai, ok?"     

Aulin mengangguk. Ia mencomot roti sobek yang ia beli di toko roti tadi sambil melirik ke arah Daisy. "Kak, menurut Kakak, laki-laki tadi bagaimana? Tampan, kan?"     

Daisy hanya bergumam. Jantungnya berdebar mendengar Aulin membicarakan Zen. "Kamu tahu latar belakangnya?"     

"Nggak, sih. Cuma dia baik banget menyelamatkanku dari bar. Maksudku, bisa aja kan, seharusnya dia meninggalkanku di bar?"     

"Memangnya semalam kamu mabuk?"     

Aulin mengangguk. "Karena stres jadi aku memutuskan mabuk. Dan Zen nggak macam-macam denganku? Aneh, kan? Padahal aku tidur di ranjangnya."     

Daisy menatap Aulin dengan mata membelalak. "Kamu tidur bersamanya?"     

"Duh, nggak, Kak. Hanya aku yang diranjang, dia sepertinya di sofa. Soalnya aku lihat selimut, sih, saat aku bangun."     

Tidak tahu kenapa Daisy merasa lega mendengarnya. Padahal bukan masalahnya jika Aulin dekat dengan Zen. Hanya saja, sebagian hatinya merasa tersiksa jika tahu Zen bersama wanita yang ia kenal sejak dulu.     

"Oh, ini suami Kakak?" tanya Aulin ketika ia melihat foto pernikahan Daisy bersama Jeremy. Bingkai foto itu terpajang di dinding dengan ukuran bingkai yang besar.     

"Hmm, ya. Itu suamiku, Aulin."     

"Wah, tampan. Kakak kenapa sih, sejak dulu selalu menyembunyikan siapa suami Kakak? Mau tetap merasa gadis, ya?" tanya Aulin sambil mengejeknya.     

Daisy terkekeh. Tentu saja ia merasa tidak harus menceritakan hal seperti itu pada orang yang bahkan jarang bertemu dengannya.     

"Bisa jadi seperti itu," jawab Daisy mengiyakan pernyataan Aulin.     

"Dia kerja, Kak?"     

Daisy mengangguk. Lalu ia teringat akan Zen yang saat ini sudah tahu rumahnya. Daisy harus memperingati Aulin untuk tidak mengatakan pada Jeremy tentang Zen.     

"Aulin, soal Zen, laki-laki yang tadi. Tolong jangan beritahu suamiku kalau kamu ke sini bersamanya, ya? Bahkan menyebut namanya," jelas Daisy.     

Dahi Aulin berkerut. "Kenapa, Kak?"     

"Jeremy, suamiku tipikal orang yang cemburu. Dia bahkan nggak mengizinkan laki-laki mana pun datang ke rumah ini, kecuali mereka adalah orangnya," jelasnya lagi.     

"Well, ok. I keep it safe, then."     

Lega, batinnya. Setidaknya Jeremy tidak perlu tahu tentang Zen. "Kamu menginap atau nggak, Aulin?" tanya Daisy.     

"Nggak, Kak. Mungkin sore aku pulang."     

"Apa orang tuamu nggak mencarimu?" tanya Daisy.     

"Mereka tahunya aku menginap di rumah teman dari hari kemarin, padahal ya aku ke bar."     

Daisy berdecak dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Betapa nakalnya Aulin, batinnya.     

***     

Mood Zen benar-benar berubah sejak ia pergi dari rumah Daisy. Ia akhirnya tahu rumah Daisy yang baru walau ia sendiri tidak memiliki rencana apa pun.     

Dipandangnya layar ponselnya dan menunggu seseorang menghubunginya. Zen menunggu Aulin menghubunginya lebih dulu.     

Sebenarnya ia sudah memiliki nomor Aulin, tapi Zen tidak ingin menghubunginya lebih dulu. Jadi, ia benar-benar akan menunggunya.     

Tiga jam kemudian, di saat Zen sedang melakukan meeting dengan karyawannya, Aulin meneleponnya. Ia pun akhirnya pamit sebentar untuk menerima panggilan Aulin ke luar ruangan.     

"Ada apa?" tanya Zen.     

"Wow! Kamu langsung tahu ini aku? Amazing! Hmm, bisa jemput aku?"     

"Di rumah Kakakmu tadi?" tanya Zen memastikan.     

"Nggak. Di depan perumahan saja. Suaminya sedang di sini dan aku nggak mau Kakak harus menjelaskan siapa kamu nantinya pada suaminya itu," jelas Aulin.     

Zen diam dalam beberapa detik. Rupanya Daisy berusaha menyembunyikan aku dari Jeremy, batinnya.     

"Nanti aku hubungi kalau aku sudah di depan. Sekarang aku masih meeting," kata Zen memberitahu.     

"Well, ok. I'll be wait. See you!"     

Selesai meeting, Zen langsung pergi menjemput Aulin. Hingga mendekati depan perumahan Daisy, ia langsung menghubungi Aulin.     

Tidak perlu lama menunggu Aulin, ia sudah datang dengan pakaian yang sudah berbeda pula. Masuk ke dalam mobil Zen dan menghela nafasnya.     

"Nggak capek jalan kaki dari rumah Kakakmu?" tanya Zen. Ia menyodorkan sebotok air mineral pada Aulin.     

Aulin menggeleng namun tetap menerima air dari Zen. "Di luar aku sudah biasa jalan kaki. Jadi, jangan heran. Jarak rumah Kakak ke sini itu hanya sedikit sekali," ujarnya.     

Zen mengangguk-angguk dan mulai mengemudikan mobilnya. Padahal jarak rumah Daisy ke depan lumayan sekali jika itu untuknya.     

"Kita ke rumahmu," kata Zen.     

"Itu perintah atau pertanyaan?" tanya Aulin bingung.     

"Tergantung kamu melihatnya," balas Zen.     

"Ya, ok. Ke rumah, tapi ada syaratnya supaya aku merasa terlindungi," ujar Aulin.     

"Hmm?" Zen bergumam.     

"Jadi kekasih palsuku, sehingga mereka nggak perlu bertanya banyak padaku."     

***     

"Jadi dia adik kelasmu dulu, ya?" tanya Jeremy meresponsnya.     

"Hmm, ya. Tapi baru kali ini bertemu setelah lama nggak ketemu. Karena memang dia lanjut sekolah di luar," ujar Daisy.     

Jeremy mengusap-usap rambut kepala Daisy dengan senyuman. "Ya, sudah. Senggaknya kamu punya teman, Daisy."     

Daisy tersenyum. Sejujurnya ia tidak ingin sesering itu bertemu Aulin karena keadaannya adalah ia kenal Zen. Apalagi tadi Zen menjemputnya. Mungkin akan berbeda jika Aulin tidak mengenal Zen, ia mungkin akan senang menerima Aulin sesering itu di rumahnya.     

"Oh ya, aku lupa. Nanti malam ikut aku datang ke ulang tahun pernikahan temanku, ya?" ajak Jeremy menawarinya.     

"Aku nggak ada pakaian yang cocok untuk ke pesta, Jer."     

"Ayo, kita pergi belanja pakaian. Sekalian kita jalan-jalan lagi," ajaknya.     

Dengan perasaan senang, Daisy mengangguk dan bersiap-siap diri.     

Jeremy selalu tahu tempat khusus wanita mencuci mata. Daisy tentu saja seperti wanita lainnya. Melihat dres-dres baju hamil khusus untuk pesta membuatnya senang. Ia memilih beberapa dres karena Jeremy menyuruhnya mengambil setidaknya dua atau tiga.     

"Pernikahan mereka yang ke berapa? Apa nggak sebaiknya kita beli kado juga, Jer?" tanya Daisy.     

"Yang ketiga. Iya, kita sebentar lagi mau ke toko untuk beli hadiah kok, Dai. Kamu yang memilih, ya?"     

Daisy menepuk tangannya dengan suara kecil. Hari ini setelah diajak jalan-jalan Jeremy, ia merasa sangat senang sekali.     

"Kamu senang sekali sepertinya," ujar Jeremy menatapnya dengan senyuman.     

"Iya, aku senang. Mengingat di rumah juga bosan dan rasanya senang karena bisa keluar sama suami."     

Jeremy ikut tersenyum. Ia sama halnya seperti Daisy, senang dan bahagia karena bersama menikmati waktu mereka.     

"Kalau dipikir-pikir, sekalian mengganti masa-masa pacaran dulu yang jarang kita lakukan, ya?"     

Daisy mengangguk. Tapi tentu saja ia teringat akan kenangan buruk. Kenangan bagian ia menyakiti Jeremy di saat Jeremy jauh dan tak berada dalam sentuhannya.     

"Jangan pikirkan yang buruk-buruk, Dai. Aku nggak bermaksud membuatmu ingat akan hal-hal buruk," ujar Jeremy seolah tahu apa yang Daisy pikirkan.     

Hanya senyuman yang ia berikan. "Kadang, aku hanya teringat saja, Jer. Dan tentu saja merasa bersalah."     

"Sssttt ... " desis Jeremy.     

"Kamu tahu aku selalu membuatmu sakit hati. Dan kamu juga sadar, berapa kali kamu selalu memaafkanku."     

"Sayang ... stop, ok? Jangan dibahas lagi."     

***     

Setelah sampai rumah, Daisy meluruskan kakinya. Lalu tanpa disuruh atau diminta, Jeremy memijat kakinya.     

Hal yang Jeremy lakukan mendadak mengingatkan Daisy pada kenangan bersama Raja.     

"Kamu kan, juga capek, Jer. Jangan ... "     

"Aku nggak tega melihat dan membiarkan istriku kelelahan."     

"Gombal, ya?"     

Jeremy tertawa dan Daisy pun juga. "Lagi pula, supaya nantinya kamu nggak lelah juga kan, saat acara nanti."     

"Ah, iya juga, ya?"     

Ponsel Jeremy berdering dan ia menerima panggilan itu sambil satu tangannya memijat kaki Daisy.     

"Ya? Oh, ok. Terima kasih infonya, Deni," ucap Jeremy sambil menatap Daisy.     

Mendadah entah kenapa jantung Daisy berdebar     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.