BOSSY BOSS

Chapter 221 - It's a Boy



Chapter 221 - It's a Boy

0Daisy menoleh ke arah Jeremy yang sudah tidur lebih dulu darinya. Ia menatapnya untuk sejenak dan kemudian menuju kamar mandi.     

Ia berdiri di depan cermin. Membuka jubah tidurnya yang memperlihatkan tubuhnya dalam keadaan hamil. Berkali-kali Daisy meraba tubuhnya. Tadi, sebelum benar-benar keluar dari kedai, ia sempat bercinta dengan Zen. Mengingkari janjinya sendiri demi kenikmatan yang tak bisa ia tolak.     

Sudah sejak dulu ia tahu bahwa ia dan Zen memang tidak akan terpisah begitu saja. Walau bertahun-tahun saling tidak bertemu, selalu ada hal yang membuat keduanya lantas bertemu jua.     

Jika sudah merasa menyesal, Daisy menangis. Air matanya terjatuh. Perasaan bersalah yang tidak terlihat oleh suaminya membuatnya selalu merasa ketakutan. Siapa pun yang merasa sabar ada batasnya, pasti kelak akan berada di ketinggian dan emosinya akan terpecah.     

Daisy tidak mau itu terjadi pada Jeremy.     

Dengan hilangnya Jeremy dalam sehari dengan kesengajaan saja sudah membuatnya khawatir. Dan saat Jeremy mengatakan alasannya, ia tahu bahwa diam-diam Jeremy sudah tahu. Walau perbuatannya terakhir ini ia menduga Jeremy tidak tahu apa pun.     

"Tok, tok, tok."     

Suara pintu kamar mandi diketuk. Daisy terkesiap dan menyeka air matanya.     

"Daisy? Kamu di dalam?" tanya Jeremy.     

"Iya. Aku lagi buang air besar," jawab Daisy asal.     

"Biasanya kamu bangunin aku, kenapa sekarang nggak?" tanya Jeremy.     

"Kamu lagi tidur dan aku nggak berani membangunkanmu, Jer. Sudah, nggak apa-apa. Sebentar lagi selesai."     

Daisy menghela nafasnya. Jantungnya berpacu cepat dan ia sedang menormalkan debaran jantungnya. Jika Jeremy melihat wajahnya yang habis menangis, tentu akan menimbulkan pertanyaan.     

Tak lama Daisy keluar dari kamar mandi. Lampu kamar sudah menyala dan Jeremy sedang menghadap laptopnya. Ia pun menatap Daisy yang mulai bergabung bersamanya di kasur.     

"Kamu nggak tidur lagi?" tanya Daisy.     

"Aku ingat masih ada kerjaan. Kamu tidurlah lagi."     

Daisy memiringkan tubuhnya menghadap Jeremy dan sebisa mungkin ia memeluk Jeremy di daerah mana pun, tidak peduli Jeremy masih dengan laptopnya.     

Jeremy menatap Daisy yang sudah menutup matanya dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia pun lalu melakukan pekerjaannya yang lupa ia kerjakan.     

Paginya Daisy terbangun dan ia menoleh ke sisinya. Jeremy sudah tidak ada. Perlahan, Daisy beranjak dan keluar kamarnya. Ia sudah melihat Jeremy sibuk di dapur dengan pakaian yang sudah rapi.     

"Kamu nggak bangunkan aku, Jer," ujar Daisy.     

"Nggak apa-apa. Mandilah, kamu harus ketemu klien juga, kan?"     

"Hmm, ok."     

Sebelum benar-benar pergi untuk mandi, Daisy mendekat dan meminta ciuman semangat dari Jeremy. Tentu saja Jeremy memberikannya sambil ia tersenyum.     

Sementara Daisy mandi, Jeremy merasa hubungannya dengan Daisy sedikit berbeda. Entah itu perasaannya saja atau hanya memang siklus pernikahan yang kata orang akan ada masa-masa uji coba iman mereka.     

Jeremy melihat Daisy seperti sosok yang benar-benar menyebalkan. Setelah semua yang ia perbuat di belakangnya. Sejak pacaran, Daisy lebih memilih laki-laki lain ketimbang dirinya. Bahkan saat pacaran pun, ia bersama laki-laki lain. Lalu sekarang Daisy bersama mantan suaminya.     

Siapa pun yang merasakannya, pasti sama. Sama-sama kesal dan rasanya ingin memarahinya. Sayangnya Jeremy tidak bisa marah langsung seperti laki-laki umumnya. Ia terlalu lemah dengan air mata wanita.     

"Aku harus bagaimana, Daisy? Sepertinya kamu nggak akan bisa dipisahkan dari Zen dan hal-hal yang berkaitan dengannya," tanyanya sendiri.     

***     

Selesai bertemu dengan klien, Daisy meminta Jeremy mengantarnya ke rumah orang tuanya. Ia ingin bertemu Jason karena merindukan anaknya itu.     

Jeremy tidak bisa mampir jadi ia hanya menurunkan Daisy di depan rumah orang tuanya dan ia pergi meninggalkan Daisy setelah memastikan Daisy masuk ke dalam rumah.     

"Loh, sendiri?" tanya Reina.     

"Iya. Tadi Jeremy yang antar, tapi dia ada kerjaan jadi buru-buru."     

"Ya, sudah. Kamu habis dari mana, Dai?"     

"Dari kantorku, Rei. Hmm … kamu masak apa ini?" tanya Daisy yang seketika hidungnya mencium bau masakan enak.     

Reina tersenyum dan tetap fokus pada masakannya. "Masak buat makan siang. Kamu udah makan?"     

Daisy menggeleng. "Belum. Baunya enak, Rei."     

"Cobalah sini."     

Daisy mencicipi masakan Reina yang ketika baru merasakan satu sendok saja ia sudah merasakan nikmat.     

"Kehamilanmu sehat?" tanya Reina.     

Daisy mengangguk. Seketika ia lupa bahwa ini sudah satu bulan ia tidak memeriksa ke dokter kandungan. Seharusnya Jeremy mengajaknya karena biasanya Jeremy-lah yang antusias mengajak ke dokter kandungan. Tapi sepertinya Jeremy lupa, pikirnya.     

Kenyataannya, Daisy tidak tahu. Apakah Jeremy lupa atau Jeremy enggan ke dokter kandungan lagi karena Jeremy tidak yakin apakah anak yang dikandung Daisy anaknya atau anak Zen.     

"Kapan terakhir kali ke dokter?" tanya Reina.     

"Bulan lalu. Eh!"     

Daisy terlalu cepat menjawab sampai ia lupa bahwa tak seharusnya ia menjawab seperti itu. Pasti Reina akan bertanya-tanya kenapa bulan sekarang belum ke dokter kandungan.     

Dahi Reina langsung berkerut. Sementara ia fokus pada masakannya yang sebentar lagi saji, Reina juga memberi isyarat pada Daisy untuk diam di tempat karena ia belum selesai berbicara dengannya.     

"Duh," batin Daisy.     

Sepuluh menit kemudian Reina selelsai dan ia pun menarik tangan Daisy ke kamarnya. "Biasanya kalian nggak melewati satu bulan pemeriksaan. Aku bahkan hapal betul tanggal pemeriksaanmu, Dai. Ada apa? Apa terjadi sesuatu di antaramu dan Jeremy?" sambar Reina ingin tahu.     

"Kebetulan Jeremy lagi sibuk aja, Rei. Aku juga nggak terlalu ingin periksa. Kan, bukan masalah juga."     

Reina menggelengkan kepalanya. "Nggak. Nggak bisa begitu, Dai. Kamu sejak awal sudah melakukan pemeriksaan. Ok! Sama aku aja, ya. Makan siang bisa nanti. Yuk!"     

Reina meraih kunci mobil dan tasnya. Daisy bahkan tak ada rencana untuk menolaknya. Karena sejujurnya ia juga ingin tahu bagaimana perkembangan janinnya.     

Dalam perjalanan menuju rumah sakit, Daisy hanya diam. Ia selalu saja merasa membuat orang lain sibuk karena masalahnya.     

"Sebenarnya, ada apa? Apa kamu bertengkar dengan Jeremy?" tanya Reina lagi.     

"Bukan bertengkar. Hanya saja … aku nggak tahu mau bilangnya bagaimana, Rei."     

"Ceritalah, Dai. Aku siap mendengarkan dan membantu."     

Daisy tidak yakin bahwa bercerita pada Reina adalah pilihan yang baik atau bukan. Sebenarnya Reina juga bukan tipikal yang akan mengumbar aib seseorang. Ia terkadang hanya ingin tahu masalah yang dihadapi di sekitarnya.     

Jadi, Daisy pun menceritakan masalahnya sepanjang perjalanan sampai merekat tiba di rumah sakit.     

"Sebenarnya aku kasihan pada Jeremy. Maaf, di sini aku bukan memihak siapa pun, Dai. Kamu tahu aku pernah terpikat pada laki-laki lain. Tapi aku berkeinginan akan meninggalkannya demi suamiku. Kamu sendiri loh, Dai, yang mendukungku. Jadi, aku mau tanya sama kamu, apa kamu bisa melakukan hal yang sama seperti aku?"     

"Aku … nggak tahu, Rei. Sejak dulu aku seperti selalu bertemu dengan Zen. Aku tahu pertemuanku dengan Zen berujung pertengkaran atau masalah. Tapi aku nggak yakin, karena aku pernah menghindarinya dan kemudian bertemu lagi tanpa sengaja," jelas Daisy.     

"Aku yakin kamu bisa. Utamakan niatmu dulu. Untuk suamimu dan anak-anakmu. Ayo! Aku mendukungmu untuk berubah menjadi lebih baik, Dai."     

***     

"Loh, Jer? Kamu sudah pulang kerja?" tanya Weiske yang terkejut melihat Jeremy kembali lebih awal.     

"Iya, Bu. Hanya mengurus pekerjaan dikit, kok. Daisy ke mana, Bu?" tanyanya.     

"Daisy nggak bilang kamu? Reina menyuruhnya untuk kontrol kandungan, katanya ingin menemaninya," jawab Weiske tanpa tahu bahwa putrinya sedang ada masalah dengan suaminya.     

"Oh, ya sudah kalau begitu, Bu. Saya tunggu di sini saja."     

"Iya, sudah. Ibu juga mau siram tanaman dulu, ya."     

Jeremy duduk menghela nafasnya. Ia lupa bahwa bulan ini Daisy harus kontrol kandungannya. Jeremy terlalu memikirkan masalah yang akhir-akhir ini membuatnya kepikiran.     

Ia akhirnya masuk ke dalam kamar untuk istirahat sebentar sambil menunggu Daisy. Satu jam kemudian Jeremy mendengar suara mobil masuk. Ia mengintip dari jendela dan ia melihat Daisy juga Reina turun dari mobil.     

Jeremy pun akhirnya keluar kamar untuk menemuiny. "Daisy."     

"Jer, kamu lebih cepat pulangnya, ya? Udah makan?" tanya Daisy perhatian.     

"Kamu ke dokter nggak sama aku? Astaga, aku lupa kalau ini sudah lewat tanggal. Bagaimana anak kita?"     

"Sehat dan kuat. Seharusnya kamu tadi lihat hasil USG-nya, Jer," sambar Reina menjawab.     

Jeremy menatap Reina dengan senyumannya. "Terima kasih, Rei. Aku lupa karena banyak yang aku pikirkan."     

"Tenang saja. Nggak ada kamu, Daisy bisa sama aku, kok."     

"Nggak apa-apa, Jer. Aku tahu. Anak kita sehat, aku senang mendengarnya," jawab Daisy. "Hmm, kamu udah makan? Kita makan bareng,yuk?" tanya Daisy pada suaminya.     

Jeremy mengangguk, Reina pun siap memanggil anak-anak dan Ibunya untuk bergabung makan siang bersama.     

"Sepertinya akan ada bayi laki-laki lagi, nih," umum Reina saat di meja makan.     

"Laki-laki?" tanya Jeremy.     

Reina mengangguk senang. "Iya. Dokter bilang Daisy akan melahirkan anak laki-laki jika dilihat dari kelaminnya."     

Jeremy menatap Daisy yang menunduk malu. Ia juga tidak tahu kalau akan memiliki seorang anak laki-laki lagi.     

"Wah, Jason bisa main sama adik Jason nanti ya, Ma?" sambar Jason ceria.     

"Iya, Sayang. Main bersama, ya."     

"Lily juga dong, Tante! Lily jagain adik Jason, ya?"     

Daisy mengangguk senang mendengar semuanya merasa bahagia akan kehadiran si calon bayi nanti.     

"Papa senang kan, ada adik laki-laki. Kita semua bisa jaga Mama!" tanya Jason girang.     

"Iya, Papa senang. Nanti kita main bersama dan jaga Mama bersama, ok?"     

Keduanya saling memberikan tepuk dua tangan bersamaan. Daisy tersentuh melihat mereka. Apalagi melihat Jeremy yang betapa sangat bekerja keras untuk kelihatan baik-baik saja.     

Setelah selesai makan, Jeremy dan Daisy berinisiatif pulang. Tapi Karena Daisy meminta untuk jalan-jalan, akhirnya mereka berdua hanya menggunakan alasan pulang untuk bisa berduaan.     

Jeremy membawanya Daisy ke mal. Ia ingin Daisy memilih sesuatu untuk dipakai atau dimakan karena ia mau berusaha bersikap baik untuk rumah tangganya. Walau Daisy yang membuat semua ini jadi aneh untuknya, Jeremy tentu tidak akan membiarkan api itu tetap berkobar di rumah tangganya.     

Yang terpenting adalah, rumah tangganya bahagia karena mereka juga saling menyayangi dan melengkapi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.