BOSSY BOSS

Chapter 220 - One Time



Chapter 220 - One Time

0"Aku mau bertemu Zen. Itu permintaanku, Jer."     

Tiba-tiba permintaan Daisy membuat Zen semakin pusing. Ia yang baru saja mencoba bergulat dengan amarahnya karena hubungan Daisy dan Zen, kini Daisy meminta hal itu padanya di saat ia ditanya oleh Jeremy.     

"Permintaanmu sangat … "     

"Nggak masuk akal?" sambung Daisy. Ia merengut dan menundukkan kepalanya layaknya anak kecil. Padahal baru beberapa hari lalu Jeremy menjelaskan mengapa ia marah dan kesal sehingga menghindarinya seharian penuh, tapi Daisy seolah lupa akan hal itu.     

Frustasi, Jeremy akhirnya bersimpuh dan menatap Daisy yang duduk di sofa. "Apa benar kamu mengidam ingin bertemu dengannya?"     

Daisy mengangguk lemah. Ia juga tidak tahu kenapa cara ngidamnya itu terlihat sangat aneh dan tidak masuk akal.     

Jeremy menundukkan kepalanya dan menaruhnya di kedua tangan Daisy yang berada di dua pahanya. "Ok. Tapi dengan syarat," ucap Jeremy menengadahkan kepalanya.     

"Ya?"     

"Jangan berbuat hal yang membuatku kesal. Hal yang tak senonoh, Daisy."     

Daisy meraih kedua rahang Jeremy dan mengecup bibirnya. "Aku berjanji nggak akan melakukan hal itu lagi. Maafkan aku dan terima kasih untuk kemurahan hatimu, Jer."     

Daisy memeluknya dan Jeremy membalasnya. Walau perasaannya cemburu dan kesal. Tapi ia tidak bisa menolak jika itu sudah menyangkut keinginan si bayi yang ada di perut Daisy.     

"Aku hubungi Zen sekarang, ya?" tanya Daisy padanya.     

"Pakai ponsel kantor saja," ucap Jeremy seraya memberikan ponselnya.     

Daisy menatapnya dan kemudian mengangguk. Ia tahu bahwa Jeremy tidak ingin Zen mengetahui nomor pribadinya, maka dari itu ponsel resto saja sudah cukup.     

Sambil duduk merangkul Daisy, Jeremy mendengarkan pembicaraan mereka. Daisy menyalakan pengeras suaranya sehingga Jeremy bisa mendengar ucapan Zen.     

Sesekali Daisy menatap ke arah Jeremy karena takut jika Zen mengatakan hal yang macam-macam.     

Setelah Daisy mematikan panggilannya. Ia mengembalikan ponsel itu pada Jeremy. Ia bersandar pada dada bidang Jeremy dan membayangkan hal-hal yang akan terjadi pada Zen.     

"Aku akan menjemputmu di kedai cokelat itu," ucap Jeremy.     

"Iya, iya. Aku hanya butuh beberapa waktu dengannya."     

"Pukul delapan aku sudah di parkiran. Jadi, jangan-"     

Bibir Jeremy ditutup oleh tangan Daisy dengan gemas. "Iya, Jer. Anak kita lagi nggak mau Papanya cerewet. Jadi kesal kan, aku!"     

Jeremy terdiam. Anak kita, ya? Pikirnya. Entah kenapa kata itu sedikit terasa aneh di telinganya sekarang. Tidak tahu apakah itu benar anak Jeremy atau Zen.     

"Aku siap-siap dulu, ya!" Daisy berdiri dan menuju kamar. Jeremy hanya menatapnya sampai Daisy masuk ke kamar.     

Tak lama Daisy keluar. Ia cukup terkejut karena Daisy mengenakan baju hamil yang cukup seksi di mata laki-laki mana pun.     

Jeremy berdiri dan membawa Daisy ke dalam kamar lagi. Daisy yang kebingungan pun tidak bertanya karena ingin tahu apa yang akan Jeremy lakukan.     

Didudukannya Daisy di kasur dan Jeremy sibuk mencari baju hamil untuk Daisy di lemari. Setelah menemukan, ia mengulurkannya pada Daisy.     

"Pakai ini. Aku nggak mau tubuhmu terekspos!" perintah Jeremy.     

Daisy melongo sambil menerima baju itu. "Wow … suamiku mendadak jadi posesif," ejek Daisy dengan canda.     

"Pakai sekarang di depanku, Daisy," perintah Jeremy dengan nada galak.     

Bibir Daisy mencebik ketika ia mendengar nada Jeremy. Ia akhirnya melepaskan baju sebelumnya dan menggantinya dengan pilihan Jeremy.     

Tiba-tiba Jeremy membalikkan tubuhnya di saat ia masih telanjang. Daisy menjerit kaget dan ia sedikit menungging karena Jeremy yang menggerakannya.     

"Bercinta denganku sebentar saja. Aku cemburu!" ujarnya dengan keras sambil memasuki Daisy dan bergerak cepat hingga Daisy mendesah dan berteriak.     

***     

Jeremy sudah satu jam lebih awal menunggu Daisy di parkiran kedai coklat itu. Ia duduk di dalam mobil sambil kedua tangannya tidak bisa diam di kemudi.     

Hingga pukul delapan kurang lima menit, Jeremy memutuskan keluar dari mobilnya dan menunggu di luar pintu mobil. Mobilnya menghadap ke arah pintu keluar masuk kedai itu. Setidaknya ia bisa melihat Daisy dan Zen keluar secara bersamaan.     

Lima belas menit kemudian mereka keluar. Jeremy masih di tempatnya dengan kedua tangan terlipat di dadanya.     

Zen melihat Jeremy dan ia pun berhenti. "Oh, sepertinya suamimu datang untuk menjemputmu," ujarnya pada Daisy hingga Jeremy bisa mendengarnya.     

"Terima kasih untuk traktirannya, Zen," ucap Daisy kemudian. Ia lalu berjalan mendekat ke arah Jeremy yang langsung memeluk pinggang Daisy.     

"Kita pulang?" Tanya Jeremy.     

Daisy mengangguk dan ia masuk ke mobil lebih dulu.     

Zen masih menatap Jeremy sampai akhirnya Jeremy masuk ke mobil dan tidak mengatakan apapun pada Zen. Mereka hanya saling menatap dengan tatapan tajam.     

Mobil Jeremy melaju meninggalkan Zen dengan kecepatan gas yang benar-benar menunjukkan rasa amarahnya.     

"Jadi, bagaimana? Senang?" tanya Jeremy.     

"Aku banyak makan dan minum yang serba cokelat! Tentu saja senang, Jer!" jawab Daisy ceria.     

Jeremy mencoba tersenyum. Entah Daisy senang karena menu di kedai itu atau karena yang menemaninya adalah Zen.     

"Apa kamu udah makan, Sayang?" tanya Daisy perhatian.     

"Belum. Aku menunggumu," jawab Jeremy.     

"Mau cari nasi goreng? Kita makan itu, yuk?"     

Hanya anggukkan dan senyuman yang bisa Jeremy berikan pada Daisy sebagai respons. Ada sebagian dalam dirinya yang tidak bisa bersikap biasa karena masih merasa kesal dan cemburu.     

Perasaan buruk itu seperti sengaja Jeremy tahan agar Daisy tidak terluka sepertinya. Baginya, tidak masalah jika dirinya terluka, tapi jik Daisy yang merasakan itu, Jeremy akan sangat merasa bersalah. Walau ia pernah meninggalkan Daisy seharian tanpa kabar, itu saja sudah menyiksanya berjam-jam.     

Sampai di pangkalan nasi goreng, Daisy dan Jeremy turun lalu memesan dua nasi goreng untuk mereka dengan minuman hangatnya.     

Suasana malam yang syahdu dengan angin yang cukup kencang membuat Jeremy lantas melepas jaketnya dan menyampirkannya di tubuh istrinya.     

"Kamu nggak bawa kardigan, kan? Aku nggak mau kamu sakit kena angin," ujar Jeremy.     

"Terima kasih, Jer. Padahal aku lagi kepanasan, tapi yah kena angin juga jadi dingin."     

"Apa kamu nggak kenyang? Habis makan dan minum serba cokelat, terus makan nasi goreng?" tanya Jeremy.     

Daisy menggeleng. "Aku belum makan nasi, Jer. belum pas rasanya kalau belum makan nasi."     

Keduanya menyantap nasi goreng bersamaan. Sesekali Daisy menyuapi Jeremy dan Jeremy meresponsnya dengan menghargai suapan Daisy. Mood-nya sedang baik, pikir Jeremy.     

"Jer, besok aku ke kantor, ya? Sebentar saja, jadi kamu bisa menunggu," kata Daisy membuka suara lagi.     

"Ada yang mau kamu kerjakan?"     

"Ya. Ketemu sama klien. Biasa, bicara soal desain gaun."     

"Laki-laki atau wanita?"     

Daisy melirik Jeremy dengan wajah berseri-seri. "Wanita, Sayang. Ayo dong, Jeremy yang kukenal nggak seposesif ini. Aku nggak mau main-main lagi, Sayang."     

"Lalu, yang kemarin itu lagi main-main?" tutur Jeremy dengan nada sedikit sinis disertai candaan.     

Wajah Daisy langsung berubah menjadi kesal. Jeremy tahu ia sudah membuatnya kesal dengan mood-nya yang sedang bagus itu. Tapi Jeremy memang masih kesal dengan permintaan konyol Daisy bertemu Zen dengan alasan ngidam.     

"Maaf. Aku hanya masih belum bisa melupakan semua itu, Dai. Maaf kalau jadi posesif seperti ini," ujar Jeremy menyesal.     

***     

Hatinya masih berbunga-bunga setelah beberapa jam bersama Daisy. Walau ada kekesalan ketika melihat Jeremy muncul, tapi tentu saja rasa bahagianya bertemu Daisy lebih besar.     

Ia ingat percakapan yang tadi mereka lakukan di saat sedang berduaan …     

"Jadi, dia tahu tentang kita?" tanya Zen setelah Daisy menceritakan semuanya.     

"Hmm … ya. Dia sangat gentle sekali selalu memaafkanku, Zen. Bagaimana bisa aku terus melakukan itu? Jadi, aku mau kita berhenti melakukan hal-hal seperti itu lagi."     

"Apa dia mengatakan sesuatu tentang kehamilanmu?" tanya Zen,     

"Ya … itu, sebenarnya … dia jadi nggak yakin apakah ini anaknya atau anakmu."     

"Kita harus lakukan tes DNA saat bayi itu lahir, Dai."     

"Nggak! Jeremy sudah mengatakan, siapa pun Ayah dari anak ini nanti, dia tetap akan menerimanya sekalipun dia bukan Ayahnya," tolak Daisy.     

Zen menghela nafas dan bersandar di kursinya. Dia mengangguk-angguk ingin membuat Daisy tenang. Tapi Zen akan menemukan segala cara untuk melakukan tes DNA itu nantinya.     

"Apa dia baik baik saja?" tanya Zen.     

"Siapa?"     

"Jeremy."     

"Entahlah. Dia seperti baik-baik saja, tapi aku mengenalnya, Zen. Dia sedang memasang topengnya di depanku agar aku khawatir."     

"Maka jangan khawatir kalau begitu."     

Daisy hanya diam. Ia tidak mau berkata apa-apa lagi pada Zen sampai minuman coklat nya habis.     

Zen lalu menatap ke sekelilingnya dan mendekatkan tubuhnya ke hadapan Daisy agar Daisy mendengarnya. "Aku punya satu permintaan, Daisy."     

Daisy tidak tahu apa maksud Zen, tapi melihat wajahnya, ia mengerti apa maksud Zen. "Zen … aku nggak bisa."     

"Kamu yang nggak bisa, atau karena Jeremy? Aku tahu kamu mau, Dai."     

Daisy menghela nafasnya. Ia tadi habis bercinta dengan durasi yang cepat dengan Jeremy. Sekarang Zen meminta hal yang sama.     

"Kita akan melakukannya dengan cepat," sambar Zen.     

"Ini tempat umum, Zen."     

"Aku tahu di mana kita bisa melakukannya. Sebelum Jeremy datang."     

"Dengan cepat," ujar Daisy mengatakannya seperti Zen.     

Zen mengangguk. Ia lalu mengulurkan tangannya dan menggandeng Daisy ke tempat yang Zen maksud.     

Zen dan Daisy masuk ke salah satu bilik yang Daisy tidak ketahui selama ini.     

"Ba-bagaimana kamu tahu tempat ini?" Tanya Daisy.     

"Karena kedai ini adalah kedai milik Dito. Jadi aku bisa memakainya sesukaku."     

Daisy mengangguk. Ia lalu berbalik untuk menungging. Nafasnya tersengal-sengal. Ada perasaan bersalah kepada Jeremy, tapi ia tidak bisa menolak kenikmatan dari Zen.     

"Bersiaplah, Daisy," ujar Zen.     

Daisy mengangguk dan mengatur nafasnya.     

Ia bergerak maju mundur secara perlahan. Menetralkan dirinya di dalam milik Daisy. Kemudian pikiran-pikiran nakal itu menggelayutinya. Ia lalu bergerak cepat hingga tubuh Daisy berguncang.     

Dengan erangan dan desahan yang dikeluarkan Daisy, membuat Zen tidak bisa menahannya lebih lama lagi.     

"Zen!"     

"Aku tahu, aku tahu. Sebentar lagi!" Seru Zen.     

Daisy sama halnya, ia tidak bisa menahannya. Hingga akhirnya mereka berdua meledak bersama dengan nafas yang memburu.     

Ingatan itu jelas di kepala Zen. Ia dan Daisy sempat-sempatnya bercinta di tempat tersembunyi, di kedai. Ia memang sengaja melakukannya untuk mencoba kesetiaan Daisy yang ternyata masih memiliki rasa untuknya.     

Setidaknya, itulah yang Zen tahu. Daisy akan selalu bersamanya walau ia memiliki suami.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.