BOSSY BOSS

Chapter 219 - It Might Be Good News



Chapter 219 - It Might Be Good News

0"Kamu di sini?" tanyaku Daisy heran.     

"Ya, aku di sini. Apa kamu sudah baikan?"     

Bukan baikan lagi, bahkan aku sudah tidak kenapa-kenapa, batin Daisy.     

Daisy lalu mengangguk dan menatap sekelilingnya. Tampak sepi. Ia bahkan berharap Zenlah yang berada di sisinya.     

"Yang lain menunggumu di luar," ucap Jeremy memberitahu. Ia bisa membaca apa yang mata Daisy katakan.     

Daisy hanya menganggukkan kepalanya lagi dan menatap jendela rumah sakit. Ia melihat awan-awan yang berjalan pelan.     

Ia teringat lagi akan apa yang baru saja ia alami. Siapa orang itu? Pikirnya. Daisy bahkan menatap awan-awan itu sambil berharap ia melihat orang yang berbicara padanya ada di sana, berdiri dan menatapnya.     

Tapi yang Daisy dapatkan adalah kekosongan. Hanya awan biasa.     

"Kapan aku bisa pulang?" tanya Daisy tanpa melihat Jeremy.     

Jeremy mengerutkan keningnya. Tidak biasanya Daisy berbicara dengan dingin seperti itu padanya. Bahkan Daisy terlihat seperti biasa saja ketika melihatnya.     

"Aku harus memanggil dokter dulu untuk memeriksamu, Sayang," jawab Jeremy.     

Jeremy langsung keluar dan mengatakan pada keluarganya kalau Daisy sudah bangun dan ia akan memanggil dokter.     

Dokter memeriksa Daisy dan cukup tertegun melihat keadaannya yang sehat dan pulih secepat itu. Biasanya, yang ia tahu, pasien yang baru bangun dari tidurnya, akan tetap merasakan kesakitan atau mungkin lemas. Tapi melihat Daisy, hal itu justru berbeda.     

"Sore Ibu bisa pulang," ucap dokter menjelaskan.     

Daisy menatap Jeremy dan mengangguk padanya. "Ok. Terima kasih, dok."     

Setelah dokter keluar, Jeremy menatap Daisy lagi. Sementara Daisy sibuk berbicara pada Jason, anaknya. Keluarganya yang lain juga mengajaknya berbicara sesekali.     

Akhirnya Jeremy keluar ruangan itu dan duduk di luar sambil menghela nafas. Pikirannya berkecambuk. Sebentar lagi mereka pasti hanya akan berdua. Jeremy sibuk membuat alasan untuk Daisy nantinya.     

"Kenapa lo?" tanya Raka menepuk bahunya. Ia ikut duduk di samping Raka.     

"Dia masuk rumah sakit karena gue, Jer. Sekarang, tatapannya berbeda."     

"Gue nggak melihat perbedaan apa pun pada Daisy. Lo mungkin terlalu takut sama dia."     

Jeremy menggeleng. Jelas-jelas ia melihat Daisy menatapnya dengan tatapan yang berbeda. Perasaanya juga masih tidak enak setelah melihat tatapan itu. Bahkan Jeremy lebih merasa bersalah lagi.     

Suara pintu ruangan Daisy terbuka dan semua keluarganya keluar. Reina mengatakan bahwa Daisy ingin bicara dengan Jeremy. Ia pun langsung masuk dan menyiapkan dirinya agar terlihat senormal mungkin.     

Jeremy duduk di kursi dan menatap Daisy lagi. "Apa kamu butuh sesuatu?" tanya Jeremy memulainya.     

"Ya. Aku butuh alasanmu menjelaskan padaku kenapa kamu seharian menghindari aku," ucap Daisy.     

Sudah kuduga, pikir Jeremy. Ia menghela nafasnya dan mulai mengatakan sejujurnya. Tadinya Jeremy ingin berbohong. Tapi jika ia berbohong, maka itu sama saja seperti Daisy.     

Daisy mulai tercengang mendengar penjelasan Jeremy. Bahkan matanya mulai berkaca-kaca. Pikir Daisy, Jeremy tidak akan mengetahui hal itu. Bahkan setelah keluar dari rumah sakit, ia ingin sekali bertemu dengan Zen.     

"Apa … kamu yakin aku harus melanjutkannya?" tanya Jeremy begitu melihat bagaimana Daisy sudah bercucuran air mata.     

Daisy menggelengkan kepalanya. Ia tidak kuat mendengar hal itu lebih lagi karena cukup membuatnya sakit juga karena melukai orang yang menyayanginya.     

"Maafin aku … maafin aku. Aku pikir kamu nggak akan tahu tentang itu dan-"     

"Sssttt … aku bahkan juga nggak tahu siapa Ayah dari anak yang kamu kandung, Daisy. Tapi aku menerimanya dengan ikhlas dan tulus," kata Jeremy memotongnya.     

"Jer … "     

"Jadi, jangan terlalu menyalahkan dirimu, ok?"     

***     

Hari-hari dilalui Zen seorang diri. Dirinya yang dulu seakan kembali lagi. Kebaikannya terasa seperti sudah mati. Zen bahkan menghabiskan waktu dengan minuman yang sudah lama tidak ia sentuh.     

Frustasi, stres, dan kesal menjadi satu. Padahal barang-barang milik Lissa sudah tidak ada di sana. Mungkin suasananya, pikirnya.     

Akhirnya Zen memerintah Tino untuk memesan apartemen baru di lokasi yang berbeda. Tidak peduli seperti apa apartemen itu, yang jelas ia butuh suasana baru di tempat yang baru.     

"Tinggalkan barang-barang itu di sini. Saya nggak mau membawanya," ucap Zen.     

"Tapi, Bos-"     

"Hanya barang saya saja, Tino. Jangan menentang!" ujar Zen memotong ucapan Tino.     

Tino langsung diam dan menuruti ucapan Zen. Ia tidak berani menentang Zen jika keadaannya masih berduka seperti itu.     

Jarang sekali Zen menunjukkan perasaannya pada sekitar. Saat ini ia benar-benar merasa kehilangan yang begitu dalam.     

Saat ia ditinggal Gerald, ia tidak merasakan kesedihan, tapi kekesalan dan amarah karena perbuatan Gerald pada Neva.     

Ketika Kanya akhirnya memilih Devan walau mereka tidak bersama akhirnya, Zen tidak merasakan sedih seperti ini.     

Hanya ada dua orang yang berhasil membuatnya sedih dengan pilu. Daisy dan Lissa. Daisy yang sampai saat ini masih di pikirannya dan Lissa yang masih membuatnya terus berkabung walau ia sudah menyingkirkan hal-hal berbau Lissa.     

Sampai di apartemen baru, Zen tidak melihat sekitarnya. Yang ia tahu ia sudah sampai di apartemen baru dan langsung duduk di balkon. Sementara anak buahnya merapikan barang-barangnya.     

Dipandangnya awan-awan yang berada di langit itu. Berjalan perlahan dengan santai. Ia juga mau seperti itu. Seperti tidak peduli dengan keadaan.     

Di saat ia sedang menikmati pikira-pikiran keinginannya itu, ponselnya berdering. Ia menatap nomor tidak dikenal dilayarnya dengan wajah berkerut.     

Akhirnya Zen menjawabnya namun tidak menyapanya. Sebuah kebiasaannya hanya untuk ingin tahu siapa yang menghubunginya.     

"Zen … "     

Suara yang dikenalnya terdengar merdu baginya. Tubuhnya langsung menegang dan duduk tegak.     

"Aku ingin bertemu," ucapnya.     

"Jadi kamu menyerah? Pada akhirnya kamu menghubungiku?" tanya Zen dengan senyuman miringnya.     

"Nggak juga. Aku sudah meminta izin pada suamiku untuk menemuimu, Zen. Jadi, ayo, kita bertemu."     

Mendengar kata 'suamiku' membuat Zen tersakiti. Tapi ia juga penasaran kenapa sampai Daisy harus meminta izin pada Jeremy sementara biasanya tidak?     

"Aku akan menjemputmu kalau begitu," ucap Zen.     

Daisy hanya diam saja. Ia belum menjawab tawaran Zen.     

"Ya. Ok."     

"Kapan?" tanya Zen.     

"Bisa sekarang? Jemput aku di rumah lamaku. Aku tunggu."     

Daisy langsung menutup panggilannya dan Zen terdiam sesaat. Lalu ia sadar ia harus bergerak cepat.     

Dengan gesit, Zen mengganti pakaiannya dengan yang sedikit santai. Tak lupa ia menggunakan gel rambutnya agar kelihatan tetap rapi. Berkumur-kumur obat mulut agar bau mulutnya wangi dan tentu saja sentuhan terakhir adalah parfum.     

Dilihatnya dirinya di depan cermin. Seketika wajahnya terlihat ceria, tidak seperti tadi. Mungkin karena bertemu Daisy, pikirnya.     

Mendengar nama Daisy memanggilnya saja sudah cukup menambah energinya layaknya sebuah ponsel pintar.     

"Saya harus pergi. Jangan ada yang mengganggu sampai saya hubungi kalian!" kata Zen memberitahu.     

"Bos, Anda akan ke mana?" tanya Tino.     

"Bertemu seseorang, Tino," jawab Zen tanpa menyebutkan nama Daisy. Sudah pasti Tino tahu siapa yang akan Zen temui jika Zen sudah sampai berpenampilan seperti itu.     

***     

Sampai di rumah lama Daisu, Zen menemui mobil Jeremy. Dahinya berkerut dan tak lama Daisy pun keluar beserta dengan Jeremy. Akhirnya Zen ikut keluar dengan wajah bingungnya.     

Jeremy melangkah maju mendekatinya setelah ia menyuruh Daisy tetap di tempat. "Kalau bukan karena dia lagi ngidam, gue nggak akan membiarkan dia ketemu lo. Jadi, jaga dia baik-baik!" ancam Jeremy padanya.     

Jeremy menjauh dan mendekati Daisy. Ia kemudian mengecup dahi Daisy dan membiarkan Daisy berjalan ke arah Zen.     

"Hai," sapa Daisy kaku.     

"Ayo, masuklah," ujar Zen seraya membuka pintu penumpang. Tatapannya tak lepas dari Jeremy yang masih menatapnya.     

Zen lalu masuk ke dalam kursi kemudi dan duduk menatap Daisy.     

"Jaid, apa ini? Kamu mau bertemu denganku?" tanya Zen tidak percaya bahwa ini semua semata-mata karena Daisy sedang mengidam.     

"Memangnya kenapa? Apa nggak boleh?"     

"Kalau anakmu mirip aku bagaimana, Daisy? Kamu ini ngidam sedang ingin bersamaku, loh."     

Daisy terkekeh mendengar ucapan Zen. "Jangan merasa begitu. Aku hanya ingin jalan-jalan dan berbicara beberapa hal padamu, Zen."     

"Ok. Ke mana kita?"     

"Ajak aku ke kedai cokelat yang pernah kamu ajak aku ke sana," pinta Daisy.     

Zen mengingat-ingat kembali kenangan yang pernah ia bentuk di sana bersama Daisy. Kedai cokelat yang cukup membuat Daisy senang saat mood-nya sedang buruk saat itu.     

"Aku harap kamu nggak lupa, Zen," ucap Daisy.     

"Oh, aku nggak akan lupa, Daisy. Tapi kenapa kamu mau ke sana?"     

Daisy mengedikkan bahunya dan menyuruh Zen tetap berkendara tanpa berbicara. Sementara itu Zen sering melirik ke arahnya untuk memandang wajah cantik Daisy. Perasaan kehilangan akan Lissa benar-benar tergantikan cepat ketika ia melihat dan bertemu Daisy.     

Zen tersenyum simpul. Ia bahkan memutar lagu-lagu bahagia.     

Daisy langsung turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di kedai. Sejenak Daisy memandang sekeliling kedai itu. Ia tersenyum dan merasakan sensasi yang benar-benar mirip seperti masa lalu.     

"Apa aku boleh merangkul tanganmu?" tanya Daisy padanya.     

Zen mengedipkan matanya berkali-kali. Seolah benar-benar mengejutkannya padahal ia berharap sejak dulu seperti itu.     

Belum sempat Zen menjawabnya, Daisy langsung merangkul lengannya dan mulai melangkah masuk. "Kata Jeremy aku boleh melakukan apa pun denganmu asal itu positif."     

"Hmm, ok. Kalau begitu nikmatilah yang kamu inginkan Daisy."     

Zen merasa senang saat melihat Daisy tersenyum karenanya. Seperti saat ini ia masih suaminya yang membahagiakannya.     

Entah kenapa juga, perasaan Zen mengatakan bahwa anak yang dikandung Daisy adalah anaknya. Zen sangat yakin sekali.     

"Senang?" tanya Daisy.     

"Oh! Senang! Kamu ingat? Kamu pernah bertanya hal yang sama padaku seperti itu."     

"Aku juga senang kalau kamu senang, Dai."     

Daisy meminum es cokelatnya dan menatap Zen. Waktu untuk berbicara pada Zen sudah tepat, pikirnya. Ia harus memberitahunya beberapa hal yang Daisy bicarakan pada Jeremy. Terkait dengan dirinya, Jeremy dan Daisy sendiri.     

"Ada apa? Apa saat ini kamu mau langsung cerita?" tanya Zen seolah tahu apa yang akan Daisy katakan.     

Daisy mengangguk dengan senyuman. "Dengarkan aku sampai selesai, ok? Aku pikir ini ide yang baik. Semoga bagi kamu juga."     

"Katakan kalau begitu, Daisy."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.