BOSSY BOSS

Chapter 217 - He's Gone & She's All Alone



Chapter 217 - He's Gone & She's All Alone

0Daisy membuka matanya ketika supirnya berusaha membangunkannya dari tidurnya yang lama sejak dari makam.     

Dengan kesadaran yang utuh dan debaran jantung yang terkejut, ia menatap sekelilingnya. Lalu Daisy menghela nafasnya.     

Tadi itu mimpi, batinnya. Padahal tadi ia sedirilah yang mulai mengenang kembali masa-masa kuliah dengan mantan kekasihnya, Reza dan juga kebersamaan Zen yang ikut serta mengikutinya di masa kuliah.     

Tapi Daisy menyebutnya mimpi dan ia bersikeras mengatakan itu mimpi, bukan hal yang sengaja ia kenang.     

Daisy langsung turun dan masuk ke rumahnya. Ia mengganti pakaiannya dengan yang lebih nyaman. Tidak lupa ia membasuh wajah, tangan dan kakinya karena ia habis dari luar.     

"Keputusanku menolak untuk mengobrol bersamanya sudah benar, kan?" tanya Daisy pada cermin yang memantulkan dirinya.     

Ia mendadak menyentuh dadanya. "Tapi kenapa rasanya aku menyesal nggak mengikuti keinginannya?"     

Kadang hampir saja ia lupa bahwa ia sudah bersuami dan memilih menikmati kenikmatan yang ada di depan mata. Daisy berusaha meredam nafsunya semata-mata ia ingin menghormati suaminya. Dan bilamana caranya itu berhasil, setidaknya ia belajar mengurangi atau menghentikan dirinya yang ingin terjerumus ke lembah kelam.     

Daisy yang tidak ada kerjaan apa pun di rumah setelah dari kantornya, ia memutuskan untuk tidur lagi. Memang yang ia rasakan saat hamil anak keduanya ini, ia merasa terlalu sering mengantuk tidak peduli di mana ia saat itu.     

Dipejamkannya matanya dan berharap semoga ia tidak memimpikan Zen lagi.     

***     

"Kamu yakin dia benar-benar datang ke makam itu?" Tanya Jeremy pada anak buahnya.     

"Iya, Pak. Sangat yakin. Ini bukti fotonya, maaf saya lupa memberinya di awal."     

Jeremy menerima foto cetakan itu dan melihat Daisy ke pemakaman istri Zen. Kemudian di situ juga tercetak jelas Daisy bertemu dengan Zen entah sengaja atau tidak sengaja.     

"Terima kasih, kamu boleh pergi."     

Jeremy memijat pelipisnya. Ia merasa pusing dan mendadak lelah dengan perbuatan Daisy.     

Jeremy juga tidak tahu, apakah itu karena memang Daisy jodoh Zen atau memang hanya sebuah kebetulan.     

Jeremy bahkan sudah sangat sering membawa Daisy menjauh dari sekitar Zen. Tapi tetap saja selalu ada jalan untuk mereka bertemu.     

Hari ini Jeremy merasa kesal disertai dengan cemburu. Ia tidak mungkin pulang dengan keadaan seperti ini. Apalagi Daisy tidak pernah melihatnya marah atau bermuram durja padanya.     

Akhirnya Jeremy memutuskan untuk menetap di restoran. Ia juga tidak akan menghubungi Daisy di saat ini, jadi Jeremy meminta Raka untuk mengatakannya atau menghiburnya jika Daisy mencarinya.     

"Jangan gila lo! Lo mau gue bilang lo tidur di rumah mendiang orang tua lo dan nggak bawa istri lo? Daisy pasti mikir, Jer. Lo kenapa, sih?"     

Raka, menunjukkan kekesalannya pada Jeremy setelah Jeremy mengutarakan maksudnya tanpa memberi alasan yang sebenarnya.     

"Gue mohon banget, Ka. Kali ini aja," pinta Jeremy serius.     

Raka menggeleng-gelengkan kepalanya dan menatap Jeremy dengan serius. "Kasih tahu gue dulu alasan lo yang sebenarnya."     

Jeremy yang tadinya tidak mau memberikan alasan sesungguhnya pada Raka, mau tak mau ia harus menceritakannya juga. Tentu saja Raka seorang yang keras kepala dan ingin tahu mengapa seseorang berbeda dan tidak seperti biasanya.     

"Jadi karena itu? Gue nggak salah dengar, Jer?" tanya Raka.     

Ia masih tidak percaya karena Jeremy sampai merasa terjatuh sekali ketika tahu kabar tentang Daisy yang terus menerus bertemu dengan Zen. Padahal mereka sudah sering bertemu dan Jeremy bersikap biasa walau ia kesal.     

***     

Daisy terkantuk-kantuk menunggu Jeremy pulang yang tidak seperti biasanya belum sampai rumah juga. Ia sudah menghubungi ponsel Jeremy, tapi nomornya tidak aktif. Saat ia menghubungi restoran juga, sudah telat karena sudah tutup.     

Kekhawatiran jelas terasa sekali pada perasaan Daisy. Ia merasa ada yang aneh dengan Jeremy. Karena memang sejak siang Jeremy tidak menghubunginya atau bahkan membalas pesan Daisy.     

Daisy pikir Jeremy sibuk, tapi jika ia melihat kembali ke belakang, memang rasanya ada yang aneh pada Jeremy.     

Akhirnya dengan terpaksa, Daisy mengendarai mobilnya menuju rumah mendiang orang tuanya. Bisa jadi Jeremy di sana, pikirnya. Tapi sebelum itu ia ke restoran untuk memastikan lagi. Tapi sayangnya, Daisy tidak menemukan siapa pun, termasuk mobil Jeremy.     

Barulah saat itu Daisy berhenti di halaman rumah mendiang orang tua Jeremy yang sekarang di tempati Jenny, adiknya.     

Daisy mengatur nafasnya terlebih dahulu karena ia sedikit berjalan lebih cepat ketika keluar dari mobil menuju pintu rumah.     

Ia lalu menekan-nekan bel rumah itu dan tak lama Jenny membukanya dengan mata yang terlihat baru bangun tidur.     

"Kak Daisy?" sapa Jenny dengan mata melebar. Ia melihat ke kanan kiri serta belakang Daisy seakan memastikan sesuatu.     

"Jenny, maaf malam-malam mengganggu, kakak-"     

"Masuklah, Kak. Ini dingin banget, loh. Bagaimana bisa kakak keluar sendiri? Abang mana?" tanya Jenny memotongnya seraya menyuruh Daisy duduk.     

Daisy menatap Jenny dengan pandangan heran. Ia ke sini untuk menanyakan Jeremy sementara Jenny menanyai Abangnya padanya.     

"Dia nggak ke sini?" tanya Daisy.     

"Dia? Abang? Loh, memangnya Abang nggak ke pulang ke rumahnya?"     

Daisy bersandar lemas. Ia pikir ia akan menemui Jeremy di sini. Tapi nyatanya tidak ada sama sekali. Seharusnya dari awal Daisy tahu karena memang tidak ada mobil Jeremy di halaman rumah ini.     

Daisy menggeleng lemah. Lalu Jenny menyuruhnya tenang dulu sementara ia membuatkan minuman hangat untuk Kakak iparnya itu.     

"Minum, Kak. Aku coba hubungan Abang dulu, ya?" ujar Jenny.     

"Nomornya nggak aktif, Jen."     

Jenny terdiam sambil menatap Daisy. Ia sudah yakin Abangnya sedang marah dan kesal hingga memuncak seperti ini. Dan Daisy belum mengetahui itu.     

Sebenarnya Jenny tahu bagaimana harus mencari dan menghubungi Jeremy. Sebab memang keluarganyalah yang tahu. Orang lain, bahkan Daisy yang sekarang jadi istrinya pun tidak tahu.     

"Tenang dulu ya, Kak. Aku mau ambil hape dulu di kamar."     

Jenny berlari menuju ke atas, ke kamarnya. Lalu ia menutup pintu kamarnya dan mencoba menghubungi Jeremy ke nomor yang hanya keluarganya yang tahu.     

"Abang! Abang di mana?" seru Jenny setengah berbisik.     

"Ada apa?" tanya Jeremy dingin.     

"Kak Daisy di sini! Apa Abang nggak kasihan sama dia? Malam-malam mengemudi sendiri tanpa jaketnya? Dia lagi hamil, bang!"     

Jeremy terdengar menghela nafasnya. Ada kekhawatiran, tapi ia mencoba menahannya karena amarahnya lebih besar.     

"Ya sudah, biarkan dia tidur di sana. Urus dia, ya. Abang lagi nggak bisa diganggu."     

Panggilan dimatikan oleh Jeremy dengan sesuka hati. Jenny kesal dengan Abangnya itu yang kalau marah, selalu membuat orang yang menyayanginya jadi susah.     

Akhirnya Jenny terpaksa berlagak seolah ia memang tidak tahu keberadaan Jeremy. Sebab bagaimanapun, pasti Daisy ada melakukan kesalahan pada Jeremy hingga Jeremy merasa sudah di ujung tanduk. Sebab Jenny tahu dan hafal sifat Jeremy yang ini, ia hanya akan marah jika orang yang disayanginya melakukan sesuatu yang salah.     

***     

Keesokan paginya, Daisy terbangun dengan keadaan tubuhnya sakit-sakit. Ia bahkan enggan beranjak dari kasur di kamar Jeremy.     

Jenny menghampirinya untuk mengajak sarapan dan Daisy berusaha terlihat baik-baik saja. Daisy pun duduk di kursi dengan perlahan. Pinggangnya terasa sangat sakit dan kepalanya pusing.     

"Kak, Kakak nggak apa-apa?" tanya Jenny menatap Daisy.     

"Nggak, Jen. Nggak apa-apa. Kakak cuma lapar aja," jawab Daisy.     

Walau begitu, Jenny tetap merasa Daisy tidak baik-baik saja. Sebab wajah Daisy pucat. Jenny hanya mengikuti reaksi Daisy saja karena tahu Daisy ingin merasa baik-baik saja.     

Daisy memakan sarapannya dengan pelan-pelan. Mulutnya mendadak terasa pahit dan ia keluar dari meja makan itu untuk menuju kamar mandi.     

Ia lalu memuntahkan segala isinya dan Jenny mengikutinya.     

"Kakak, sebaiknya kita ke rumah-"     

"Kakak!!!"     

Jenny berteriak ketika Daisy tiba-tiba terjatuh setelah ia muntah-muntah.     

Jenny langsung memanggil satpam rumahnya dan menyuruhnya untuk membawa Daisy ke mobil.     

Setelah itu Jenny menuju rumah sakit dengan kecepatan penuh. Ia tidak peduli dengan lalu lintas karena keadaannya memang sedang darurat.     

Sambil mengendarai, Jenny menelepon Jeremy. Terhubung tapi tidak diangkat. Akhirnya Jenny meninggalkan pesan suara pada Abangnya itu dan memaki-makinya melalui angin.     

Daisy langsung mendapati penanganan setelah ia sampai rumah sakit. Dokter dan perawat memeriksanya sementata Jenny khawatir mondar-mondir.     

"Bagaimana, dok?" Tanya Jenny begitu dokter dan perawat keluar dari ruangan Daisy.     

"Ibu Daisy sepertinya terkena tipes. Kami masih harus mengambil darah untuk mengkonfirmasinya. Jadi, biarkan dia beristirahat total, apalagi beliau sedang hamil," ujar dokter menjelaskan.     

Jenny mengangguk-angguk paham dan ia pasrah saja. Lalu ia masuk ke dalam dan menunggu-nunggu kabar dari Abangnya itu.     

Namun sampai sore tidak ada kabar dari Jeremy. Jenny mulai merasa kesal dengan Abangnya. Ia memang tidak tahu sebesar apa kesalahan Daisy pada Jeremy, tapi sudah jelas Jeremy keterlaluan.     

***     

Jeremy mengurung diri. Lebih tepatnya ia berada di vila keluarganya yang tentu saja jauh dari rumahnya.     

Ponselnya ia matikan semua. Jeremy sengaja tidak ingin diganggu oleh siapa pun.     

Ia merasa Daisy akan baik-baik saja sekarang jika bersama Jenny.     

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, pikirnya.     

Berulang kali kalimat itu ia ucapkan demi mempertegas bahwa Daisy akan baik-baik saja tanpanya.     

Namun perasaan Jeremy seperti tidak menentu. Jantungnya berdegup kencang. Mendadak pikirannya kacau.     

Jeremy lalu menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak mau memikirkan siapa pun kali ini.     

Hanya berada di sini ketenangannya terjamin. Daisy tidak boleh tahu karakternya yang seperti ini. Cukup keluarganya saja.     

Namun tiba-tiba Jeremy ingin menyalakan ponselnya. Firasatnya mengatakan sesuatu sedang terjadi dan Jeremy tidak tahu itu apa.     

Akhirnya ia menyalakan ponselnya dan menunggu beberapa menit sampai notifikasi masuk ke ponselnya.     

Satu yang menjadi pusat perhatiannya … notifikasi dari Jenny lebih banyak.     

Jeremy menyalakan pesan suara Jenny dan matanya membelalak. Ia tidak tahu kalau firasatnya bisa menunjukkan kebenaran. Ia juga tidak tahu sejak firasatnya mengatakan hal buruk sedang terjadi, ia memikirkan Daisy.     

Sekarang semua menjadi kenyataan seolah itu adalah mimpinya.     

Daisy pingsan dan masuk rumah sakit     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.