BOSSY BOSS

Chapter 216 - Remember That Time ...



Chapter 216 - Remember That Time ...

0Seperti lagu Avril Lavigne dengan judul When You're Gone membuat Zen teringal hal-hal apa yang ia lalui bersama Lissa walau sebentar dan kehilangan yang membuatnya terbungkam dan merasakan kesakitan.     

Pada akhirnya Lissa benar-benar meninggal setelah para dokter dan perawat berusaha melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan Lissa.     

Memang keadaan Lissalah yang tidak bisa diselamatkan. Bahkan berapa kali pun Zen sempat memukul sang dokter, tidak akan bisa mengembalikan Lissa.     

Pemakaman yang berlangsung dengan didatangi beberapa kerabat dan keluarga membuat Zen masih terdiam di balik kacamat hitamnya.     

Zen menatap gundukan tanah di hadapannya dengan mata sedih yang tidak dapat dilihat oleh siapa pun.     

Air matanya sudah habis oleh rasa kehilangan yang berkali-kali ia dapatkan. Seolah alam tidak memihak padanya, membuatnya frustasi dan lelah untuk meminang wanita lain lagi.     

Anak perempuan yang ia namai Felly, terpaksa Zen titipkan dulu pada Neva. Ia masih belum siap merawat Felly seorang diri sementara keinginannya sejak dulu adalah membesarkannya bersama Lissa. Namun walau begitu, Zen tetap akan merawatnya dengan sering mendatangi rumah Neva.     

Ketika yang lain sudah pergi dari makam Lissa, Zen masih berdiri di sana. Menatapnya tanpa bergerak sedikit pun. Kedua tangannya berada di kedua saku celananya.     

Cuaca panas bahkan tidak membuat Zen pergi dari situ. Seakan belum rela istrinya terkubur di sana tanpanya. Hal yang paling menyakitkan baginya dari kehilangan adalah, seseorang yang ia cintai meninggal.     

Zen mengerti, Lissa mempertaruhkan nyawanya untuk Felly. Tapi Lissa tidak meninggalkan kata-kata atau amanah apa pun pada Zen. bahkan di hari sebelum ia melahirkan, Zen tidak merasakan apa-apa kecuali tertawa bersama dengannya.     

"Jadi secepat ini, Lissa?" tanya Zen pada gundukan tanah itu.     

Tidak ada air mata, tapi nada kesedihan dan kehancuran jelas terdengar dari bibirnya. "Kamu benar-benar pergi jauh. Dan … nggak akan pernah kembali," tambahnya seraya menghela nafas.     

"Kalau begini, aku belum siap merawat Felly, Lissa. Apa kamu sekarang di sini? Melihatku? Atau bahkan kamu bisa merawat anak kita dengan alam yang berbeda?" cercanya.     

Sedikit tawa getir Zen tunjukan pada gundukan tanah yang masih basah itu. Sejumlah bunga tersebar di atasnya dengan indah.     

"Istirahat dengan tenang, istriku. Aku pulang dulu," ucap Zen seraya meninggalkan makam Lissa.     

Zen melangkah menjauh dan menuju mobilnya. Perlahan langkah itu semakin berat, seakan masih belum sanggup membiarkan Lissa di sana seorang diri. Hingga akhirnya Zen masuk ke dalam mobil dan menghela nafasnya.     

Sementara Zen butuh kesendirian. Ia harus menjauhkan barang-barang Lissa agar tidak terlalu mengenangnya. Sebab Zen bukanlah orang yang suka meratapi kesedihan.     

Setelah sampai apartemen, Zen benar-benar langsung menyibukkan diri menyingkirkan barang-barang Lissa. Tidak ada yang tersisa atau tertinggal. Semua barang Lissa dijadikannya satu dan ia taruh di tempat yang ia sebut gudang.     

"Maaf, aku harus menaruhmu di sini. Aku nggak mau mengingat-ingat hal tentangmu yang membuatku sedih," ujar Zen.     

Zen lalu mengunci rapat-rapat gudang itu dan ia duduk santai di balkon, menikmati hembusan angin siang yang cukup menyejukkan tubuhnya.     

Sambil menikmati suasana, Zen meraih ponselnya dan menyalakannya.     

Ia menerima notifikasi dari beberapa kerabatnya dan juga keluarganya.     

Namun Zen hanya fokus pada satu nama, yaitu Ibunya, Neva.     

Neva melaporkan bahwa Felly menangis-nangis dan Neva mengharapkan Zen segera datang untuk melihatnya.     

Dengan hembusan nafas yang berat, Zen akhirnya meraih kunci mobilnya dan meluncur ke rumah Ibunya.     

***     

Laporan mengenai gaun yang akan dikirim untu Lissa rupanya dibatalkan oleh Zen sendiri melalui telepon ke kantornya.     

Daisy tentu saja terkejut karena Zen yang membatalkan langsung. Tentu saja ia membatalkannya bukan pada Diasy, melainkan pada Firly sebagai penerima telepon.     

"Ibu Lissa meninggal pasca melahirkan, Bu, begitulah yang Bapak Zen katakan," sambung Firly menjelaskan.     

Daisy terduduk lemas di kursinya. Ia mendapatkan kabar yang begitu buruk juga mencengangkannya.     

Bukan keluarga atau teman, tapi istri dari mantan suaminya, Daisy mendadak jadi ikut sedih.     

Entah bagaimana perasaan Zen sekarang, tapi Daisy pernah berada di posisinya.     

"Ok, terima kasih, Firly. Kamu boleh keluar," ujar Daisy.     

Daisy bingung. Ia ingin mengucapkan bela sungkawanya, tapi enggan bertemu atau bahkan bersentuhan dengan Zen. Solusi satu-satunya adalah dengan mendatangi pemakaman Lissa. Setidaknya ia bisa mencari tahu di mana Lissa dimakamkan.     

Setelah ia mendapati di mana Lissa di makamkan, Daisy langsung menuju lokasi. Tak lupa ia membeli bunga untuk ditaruh di sana.     

Daisy yakin, hari ini tak ada siapa pun yang datang, terutama Zen. Sebab yang ia dengar, pemakaman diadakan kemarin.     

Sampai di pemakaman, Daisy mencari-cari nama Lissa. Sampai akhirnya ia menemukannya dan menatapnya dengan kaku.     

Dengan enggan, Daisy menaruh bunga itu di atas kuburan Lissa.     

"Maaf kalau saya punya salah," ucap Daisy.     

"Terima kasih karena sudah menjadi istri yang baik untuk mantan suamiku," sambungnya.     

Daisy menghela nafas. Ia sendiri sudah merasa lelah berdiri di sana karena keadaannya yang hamil.     

"Apa dia laki-laki atau perempuan?" Tanya Daisy.     

"Perempuan," jawab suara laki-laki yang berada di belakang Daisy sedikit agak jauh.     

Suara itu membuat Daisy tersentak dan lantas menoleh ke arahnya. Ada perasaan malu dan canggung mendapati dirinya tertangkap basah.     

Zen mendekat dan memberikan jarak di antara mereka. Kedua tangannya dimasukkannya ke saku celananya.     

"Terima kasih sudah datang," ucap Zen. "Walau dia nggak menyukaimu."     

Daisy mengangguk. "Kalau bukan karena tahu dari pembatalan itu, aku nggak akan datang. Dan sama-sama."     

"Berapa usianya?" Tanya Zen menatap perut Daisy.     

"Enam bulan."     

Zen diam sejenak. Perbedaannya hanya beberapa bulan dari Lissa. Ia menghitung-hitung terakhir kali mereka bercinta.     

Kemungkinan itu anaknya bisa jadi. Tapi Zen perlahan menyingkirkan pikiran itu. Ia tidak ingin memikirkan hal-hal seperti itu di saat ia sendiri masih merasa berduka.     

"Aku permisi kalau begitu," pamit Daisy melangkah lebih dulu.     

"Daisy, bisakah kita ke kafe untuk berbicara?" Tanya Zen menghentikannya.     

"Maaf, Zen. Aku nggak bisa. Waktuku sangat sibuk," tolak Daisy.     

Sebelum Zen menghentikannya lagi, Daisy benar-benar meninggalkannya. Ia langsung masuk ke mobil dan menyuruh supir untuk langsung jalan.     

Daisy memejamkan matanya perlahan, lalu ia ingat kembali akan masa-masa bersama Zen saat ia masih menjadi istrinya …     

Percakapan dan momen yang pernah mereka lewati bersama …     

Masa kuliah itu -     

Saat di mal, Daisy berpisah dengan Zen. Sebab Zen sudah mengatakan bahwa ia tidak akan ikut untuk menimbrung atau mengganggu. Hanya akan memantau. Setelah itu mereka menuju kedai makan di mal yang mana makanan korea dengan bertuliskan 'all you can eat'.     

Sembari menunggu pesanan tiba, mereka pun mengambil foto bersama dengan senyum dan tawa ria.     

"Sorry, gue telat. Masih bisa gabung, kan?" Suara yang tak asing di telinga Daisy, membuatnya menoleh. Ya, siapa lagi kalau bukan Reza? Mendadak sekarang Reza menjadi sosok yang di tunggu-tunggu teman-temannya dengan julukan King of Ex-Boyfriend yang Daisy sendiri sudah tahu maksudnya.     

"Lah, kan kita juga nunggu lo. Tenang, udah kita pesanin, kok. Duduk, deh!" ujar Riko, salah satu teman dekatnya.     

King of Ex-Boyfriend. Menurut Daisy itu terlalu berlebihan. Kenapa harus menamainya seperti itu? Ya karena memang dulu Daisy dan Reza menjadi salah satu the best couple di kampus mereka. Walau bersembunyi dari orang tua Daisy, tapi mereka terkenal di kalangan kampus. Lalu, ketika mereka harus putus, Reza dijuluki seperti itu lantaran sisinya yang mirip seperti Raja yang demokratis... terhadap mantan kekasihnya, Daisy.     

Daisy menyembul poni miringnya memikirkan apa yang sudah terjadi. Teman-temannya seolah selalu menyudutkannya. Mencoba untuk menggali lubang masa lalu dan menjadikannya agar jatuh ke sana lagi. Yah, walau memang Daisy salah, tapi bukan berarti mereka harus bersikap seperti itu, terlebih Reza. Seharusnya ia membuat mereka semua berhenti.     

***     

Pulang-pulang, wajah Daisy merengut. Bibirnya mencebik. Zen hanya diam dan menahan senyumnya. Ia tahu bahwa Daisy kesal pada Reza, tapi selama Reza tidak membuatnya sakit dan terluka, bukan masalah untuk Zen.     

"Nggak usah merengut gitu, Daisy. Dia udah jadi mantanmu, buat apa nyusahin diri karena dia?" ujar Zen membuka suara.     

"Aku jadi benci dia. Padahal nggak seharusnya seperti itu, kan? Harusnya wajar aja, tapi dia yang buat aku benci."     

"Tapi baguslah kalau kamu sampai membencinya," timpal Zen.     

Daisy langsung menolehnya. "Kenapa? Kamu mendukung seseorang untuk membenci seseorang juga?"     

"Lebih tepatnya aku mendukung calon istriku membenci mantannya dari pada harus saling sayang-sayangan lagi," koreksi Zen.     

"Sama aja, Zen!"     

"Beda. Seseorang dan calon istri juga mantan kekasih calon istri, di mana letak samanya? Kamu kuliah bahasa, harus paham dong sama perbedaan kata itu," ucap Zen merasa menang.     

Daisy hanya diam dan tak ingin membalas ucapan Zen. Memang di matanya, ia selalu salah dalam hal apa pun.     

"Dari pada gitu, aku mau bawa kamu ke suatu tempat. Aku yakin kamu pasti senang," ujar Zen.     

"Yah, ucapanmu pasti nggak bisa aku ragukan lagi," balas Daisy mengedikkan bahunya.     

Tak lama, wajah mungil dan mempesona itu tersenyum melihat Zen memarkirkan mobiknya di kedai cokelat. Jendela kaca yang dialiri cokelat membuat hatinya merasa tenang. Lagi-lagi Daisy tidak bisa meragukan apa yang Zen berikan padanya.     

"Ayo masuk dan pesan yang kamu mau," ajak Zen turun.     

Tidak banyak yang mereka pesan karena tahu sesuatu yang berlebihan akan mengakibatkan keburukan. Apalagi sesuatu itu manis, tentunya keduanya paham apa yang akan terjadi jika memesan banyak menu cokelat.     

"Suka?" tanya Zen datar.     

Daisy hanya berdeham. Ia cukup enggan mengatakan 'ya', sementara sejak awal ia selalu ragu akan Zen.     

"Memang orang sepertiku pantas diragukan, Daisy. Tapi aku nggak masalah, karena aku sendiri bakal buktiin lewat tindakan."     

Seperti di skak mati, Daisy diam. Zen memang sudah tahu apa yang Daisy pikirkan. Tapi sekali pun Zen tidak pernah menampakkan wajah ketakutan akan pembuktiannya.     

"Kamu memang orang yang keras kepala, ya," ujar Daisy.     

"Laki-laki harus memiliki sifat itu. Senggaknya demi hal yang baik, bukan begitu?"     

Kali ini Daisy benar-benar setuju dengan ucapan Zen. Tanpa membantah, tanpa menolak.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.