BOSSY BOSS

Chapter 215 - A Girl Just Born



Chapter 215 - A Girl Just Born

0"Apa?" tanya Zen memastikan lagi informasi yang diberikan Bobi. "Kamu nggak salah dengar tentang itu?"     

Bobi mengangguk mantap. "Sama sekali nggak, Bos."     

"Ok, terima kasih, Bobi. Kamu boleh pergi."     

Informasi yang diberikan Bobi kali ini benar-benar membuat Zen merasa dilemma. Tidak masalah jika anak yang dikandung Daisy adalah anaknya. Tapi, apakah sejauh ini Daisy mengetahuinya dan diam saja, atau memang ia tidak tahu sama sekali?     

Zen lalu melihat layar ponselnya yang mana ia sedang menyentuh nomor Daisy yang masih ia simpan. Ia akhirnya mencoba menghubungi nomor Daisy dan tidak tersambung.     

Aneh, pikirnya.     

Ia memang sudah lama tidak menghubungi Daisy sejak memutuskan untuk menyudahi perasaannya. Dan sekarang, saat ia menghubunginya lagi, nomornya tidak aktif.     

Zen tidak tahu kebenaran tentang Daisy yang mengganti nomor ponselnya. Ia akhirnya menghapus nomor Daisy dan mencoba tidak memikirkannya lagi.     

Baginya, sudah cukup informasi yang ia dapatkan tentang Daisy. Ia tidak ingin membuatnya sakit lagi hanya karena Daisy     

Zen langsung kembali ke apartemennya karena ia juga sudah berjanji pada Lissa bahwa ia akan kembali secepatnya.     

Sampai apartemen, Zen menyadari ada seseorang yang mirip sekali seperti Daisy. Awalnya ia tidak berpikir itu Daisy sebenarnya. Karena yang ia tahu, Daisy tidak tahu bahwa ia sama halnya seperti Daisy yang pindah rumah, Zen pindah apartemen.     

Zen melihat Daisy bersama Ama. Ia tidak tahu apa yang dilakukan Daisy bersama Ama di apartemennya, tapi Zen bisa melihat bagaimana perut Daisy membesar.     

Perlahan Zen menghindar karena ia tidak ingin Daisy melihatnya atau setidaknya memang Zen tidak ingin bertemu dengannya di tempat seperti ini. Bisa jadi Lissa berkeliaran di apartemen dan melihat mereka.     

Zen beralih masuk ke toilet umum wanita tanpa ia perhatikan di mana ia berada. Sampai beberapa wanita berteriak begitu melihat Zen yang tak menyadari keberadaannya.     

"Aaaaaaa!!!" teriak beberapa wanita.     

Zen terkejut dan menoleh ke belakang. Lalu ia baru sadar di mana dirinya berada. Beramai-ramai wanita-wanita itu mendorongnya keluar dengan paksa dan Zen tidak bisa melawannya. Sampai insiden tertabrak itu terjadi …     

"Ouch!" teriak wanita yang Zen tabrak.     

"Dasar mesum!" seru para wanita yang mendorongnya paksa.     

Tanpa membalasnya, Zen fokus pada wanita yang tak sengaja bertabrakan dengannya.     

Daisy.     

Sial!" batin Zen.     

Pada akhirnya alam benar-benar mempertemukannya. Pertemuan yang tanpa kesengajaan ini benar-benar membuatnya berhadapan dengan Daisy.     

Daisy yang mematung karena ketidakpercayaannya dan Zen yang ikut diam dalam beberapa waktu.     

"Dai? Ayo, kita pergi aja!" ajak Ama berbisik.     

Daisy mengerjap-kerjapkan matanya dan sadar. Kemudian ia pun menarik dan menghembuskan nafasnya, lalu pergi meninggalkan Zen yang masih mematung juga.     

Zen berbalik untuk melihat Daisy. Sesekali Daisy melihat ke belakang yang mana Zen juga melihatnya. Sampai akhirnya Zen tidak punya keberanian untuk sekadar menyapanya dengan bibirnya.     

Kedua tangan Zen mengepal. Bibir yang tadinya terbuka ingin memanggil Daisy, kini terkatup rapat lagi.     

Daisy bahkan sampai menghilang dari pandangannya. Saat itu Zen berbalik dan sadar bahwa Lissa tengah berdiri di pintu masuk menatapnya.     

Bukannya merasa gugup, Zen hanya merasa ia harus mencari alasan lagi agar Lissa tidak kesal padanya.     

Zen melangkah maju ke arah pintu masuk dan berdiri di hadapan Lissa yang menatapnya dengan wajah dingin.     

"Sejak kapan kamu di sini?" tanya Zen.     

"Sejak aku cukup tahu kamu nggak memberanikan dirimu untuk menyapanya," balas Lissa dengan senyuman senangnya.     

***     

"Dia di sana? Apa kamu tahu, Ama?" tanya Daisy.     

Ama menggelengkan kepalanya. "Semenjak aku di apartemen itu, baru kali ini aku melihatnya. Jadi, aku nggak tahu sama sekali, Dai."     

Daisy menghela nafasnya. Jantungnya berpacu cepat lagi setelah ia melihat Zen. Bahkan mereka tidak saling berbicara satu sama lain.     

"Rasanya aneh melihatnya lagi," ucap Daisy pada Ama.     

Ama berdeham menyetujui ucapan Daisy. "Harus aku akui, dia tambah tampan."     

Daisy terkekeh dan berdecak. Ketampanan Zen baginya selalu ada. Bertambah setiap hari dan tidak tahu diri. Maksudnya, bagaimana bisa Zen setampan itu dan ia menceraikannya? Padahal bisa saja ia bertahan dan memulai semua dari awal.     

"Apa dia pindah ke apartemenmu? Tapi kenapa?" tanya Daisy lagi penasaran.     

Ama melihat wajah Daisy yang benar-benar ingin tahu sekali tentang Zen. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya karena ternyata Daisy masih mempedulikannya.     

"Sudahlah, Dai. Dia pindah apartemen atau nggak kan, yang penting nggak membuat hidupmu kacau lagi," ujar Ama.     

"Benar sih. Aku cuma penasaran saja sebenarnya. Artinya kan, kalau aku main ke apartemenmu, akan ada hal-hal semacam tadi terjadi lagi, bukan?"     

"Ya, tinggal dihindari aja, Dai. Jangan mempersulit dirimu sendiri, deh."     

Daisy tahu, Ama sangat kesal pada dirinya yang begitu mudahnya terombang-ambing dengan perasaannya. Apalagi seperti bertemu dengan mantan suami. Bagaimana tidak? Daisy selalu mengingat hal-hal yang pernah ia dan Zen lakukan di masa lalu. Kejadian baik atau buruk, keduanya masih begitu membekas dan jelas diingatnya.     

Seperjalanan pulang, Daisy lebih banyak tidur di mobil sampai mobil Am berhenti tepat di depan rumah Daisy.     

Ama membangunkan Daisy yang terlelap dengan terpaksa. Ia lalu turun dalam keadaan setengah nyawa yang belum terkumpul.     

Daisy kemudian muntah-muntah di kamar mandi karena mendadak ia merasa mual. Padahal biasanya ia tidak semual ini hingga harus muntah.     

"Kamu baik-baik aja, Dai?" tanya Ama khawatir.     

Daisy mengangguk lemah. "Ya, tapi bisakah aku minta tolong untuk membuatkan jahe hangat?"     

"Iya, aku buatin. Kamu duduklah di sofa panjang sambil rebahan, ok?"     

Daisy merebahkan dirinya di sofa setelah membersihkan mulutnya. Ia menghubungi Jeremy untuk memberitahunya bahwa ia sudah di rumah dan mengatakan apa yang ia rasakan saat ini.     

Tak lama Jeremy meneleponnya dan Daisy langsung menjawabnya. "Apa yang terjadi? Ama di sana, kan?"     

"Iya. Ama masih di sini. Aku nggak tahu, mual-mual sampai muntah, itu saja. Tapi kelihatannya nggak begitu buruk, Jer."     

"Aku akan pulang secepatnya setelah pekerjaan di restoran selesai, ok?"     

"Jangan buru-buru. Lagi pula aku rasa Ama akan di sini sampai kamu datang," balas Daisy dengan lemah.     

"Aku mencintaimu, Daisy."     

"Aku juga."     

Setelah mematikan panggilan itu, Ama datang dengan gelas berisikan air jahe. Ia tidak tahu apakah air jahe baik untuk Ibu hamil atau tidak, tapi ini adalah kali pertama untuk Daisy meminumnya.     

"Terima kasih. Kamu mau di sini sampai Jeremy pulang?" tanya Ama menawari.     

"Iya, aku di sini sampai dia pulang, Dai. Kamu tidurlah dulu kalau begitu."     

Daisy mengangguk karena bersyukur memiliki sahabat seperti Ama yang mau menolongnya di saat ia seperti ini.     

Dalam matanya yang terpejam, Daisy tak benar-benar langsung tidur. Yang ia pikirkan sebelum alam benar-benar membawanya ke dalam mimpi adalah rasa penasaran akan siapa sebenarnya Ayah dari anak yang dikandungnya.     

***     

"Aku pikir tadi kamu akan marah padaku, Lissa," ucap Zen.     

"Kenapa? Kamu takut?"     

Zen menggelengkan kepalanya. "Nggak. Aku sama sekali nggak takut sama siapa pun, Lissa. Aku tadinya mau menyiapkan alasan agar kamu nggak marah. Aku lebih takut kehilanganmu dari pada sekadar di marahimu."     

Lissa terkekeh geli. "Dasar, merasa Bos jadi nggak takut akan apa pun, ya?"     

"Yah, konteksnya kalau seperti tadi kan, aku nggak salah. Mana aku tahu kalau akan bertemu dengan dia? Bahkan tadi aku aslinya sembunyi, Lissa."     

Lissa sangat tertarik pada bagian Zen bersembunyi. Ia pun menyuruh Zen bercerita bagian itu hingga terlihat pada wajah Lissa merasa terhibur dengan ceritanya.     

"Padahal kamu tampan, kenapa dari mereka nggak ada satu pun yang melirikmu atau mungkin menggodamu?" tanya Lissa.     

"Siapa juga yang mau dengan laki-laki yang tiba-tiba masuk toilet wanita? Ketampanan kan, bukan berarti menguntungkan segalanya, Lissa."     

"Hmm ya, kamu benar juga. Eh … aduh!"     

Tibet-tiba Lissa mengaduh memegang perutnya. Zen langsung sigap membawa Lissa keluar dari apartemennya.     

"Sa … kit," rintih Lissa.     

"Aku akan segera membawamu ke dokter, ok?"     

Zen langsung mengemudikan mobilnya ke rumah sakit yang biasa ia dan Lissa kunjungi untuk pemeriksaan kehamilan.     

Ada kepanikan dan kekhawatiran pada wajahnya saat mendengar rintihan Lissa. Menyakitkan baginya dan ia tidak tahu jika hari kelahiran itu ternyata tiba lebih cepat dari yang ia perkirakan.     

Dengan mempercepat lajunya, Zen sambil menghubungi pihak rumah sakit agar mereka bersiap-siap ketika Zen sampai sana.     

Lissa langsung ditangani oleh dokter kandungannya beserta para perawat di ruang persalinan. Sementara itu Zen menunggu di depan dengan mondar-mandir.     

Tak lama Neva dan keluarga Lissa pun datang. Mereka sibuk menunggu perkembangan Lissa yang cukup lama selesai.     

"Dia pasti berhasil melewatinya, Zen," ucap Neva memberi semangat.     

Zen hanya mengangguk. Sejujurnya entah kenapa ia tidak bisa berpikir positif. Hal-hal buruk dalam pikirannya mendadak muncul.     

Selama masa kehamilan Lissa, ia terlihat sehat. Tapi sekarang, Zen tidak cukup yakin karena dokter kandungannya pernah mengatakan padanya bahwa kemungkinan Lissa bertahan setelah melahirkan itu kecil. Tentu saja Zen tidak menceritakan bagian itu pada Lissa karena tidak mau Lissa merasa sedih atau ketakutan.     

Suara seorang anak terdengar.     

Zen menitikkan air matanya dan bersyukur. Ia tidak tahu apakah itu perempuan atau laki-laki. Lalu tak lama dokter keluar dari ruang persalinan. "Selamat, Pak. Anak Anda perempuan. Tapi istri Anda mengalami pendarahan yang cukup banyak, sehingga saat ini beliau tidak sadarkan diri," terang dokter.     

Tanpa bersikap lembut, Zen meraih kerah dokter itu yang langsung ditahan oleh orang tua LIssa yang laki-laki. "Lakukan yang Anda bisa untuk menyelamatkannya! Kalau nggak-"     

"Zen … cukup! Biarkan dokter itu berusaha. Dokter, berusahalah untuk anak kami," ujar Ayah Lissa sambil memisahkan Zen dari dokter itu.     

"Maaf, saya nggak bisa menjanjikan, tapi saya akan berusaha yang terbaik. Ibu Lissa akan kami pindahkan ke ruang ICU setelah ini," jelas dokter.     

Zen lalu memukul dinding rumah sakit dengan perasaan kesal. Ia tidak mungkin menyalahkan dokter itu. Sejak pemeriksaan Lissa terakhir kalinya, memang dokter itu sudah mengatakan semuanya. Dan sekarang, pikiran-pikiran buruknya seakan benar-benar terjadi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.