BOSSY BOSS

Chapter 214 - Is It Zen's or Jeremy's?



Chapter 214 - Is It Zen's or Jeremy's?

0- Daisy's POV -     

Setelah memastikan Jeremy benar-benar berangkat kerja, aku jadi bingung mau melakukan apa. Nanti siang aku akan pergi jalan dengan Ama, katanya ada reunian kampus tapi khusus untuk para wanita.     

Sebenarnya aku tidak terlalu mengenal teman-teman angkatanku di kampus. Yah, hanya mengenal beberapa saja karena mungkin beberapa diantara mereka sering satu kelas denganku.     

Aku juga sebenarnya tidak ingin ikut, tapi Ama memaksaku dengan dalih temani dia saja dari pada aku hanya di rumah. Padahal aku juga punya pekerjaan yang harus aku selesaikan sejak aku tidak di kantor.     

Memang sih, pekerjaan yang kubawa ke rumah tidak terlalu banyak. Bahkan aku terkesan banyak santainya. Mungkin beginilah rasanya menjadi pemilik suatu perusahaan.     

Tadi pagi-pagi sekali manajerku, Gea, juga melaporkan perkembangan kantor sejak aku tidak datang ke kantor. Tidak terlalu buruk, malah terkesan bagus.     

Oh ya, aku tidak pernah menceritakan si Gea ini pada kalian. Dia adalah manajerku yang tentu saja mewakiliku jika aku tidak ada di tempat. Lebih tepatnya, ia adalah tangan kananku.     

Dia seorang wanita dengan karakter yang begitu kuat dan cukup dingin. Pernah sesekali atau beberapa kali aku dan Gea keluar bersama untuk sekadar ngopi. Dia ini salah satu temanku di masa SMA dan yah, yang sangat dekat denganku. Tidak ada yang tahu riwayat dia kecuali aku dan Jeremy.     

Di kantor Gea juga tidak terlalu sering mengekspos dirinya di hadapan para karyawan. Ia hanya akan turun tangan jika karyawanku tidak bisa menangani suatu masalah. Gea juga banyak disegani oelh karyawanku karena ia dikenal dengan ratu jutek. Padahal jika bersamaku, Gea sangat berbanding balik dengan apa yang sering dijuluki karyawanku.     

Sudah cukup bagian Gea, sekarang aku ingin menyirami tanaman-tanaman cantikku yang beberapa hari lalu baru saja Jeremy belikan untukku.     

Setiap hari aku menyiraminya sambil menikmati nuansa bau halaman rumah yang memiliki khas tersendiri.     

Tidak buruh menjadi Ibu rumah tangga jika menikmatinya. Perlahan aku mencintai karirku sebagai Ibu tangga di samping aku memiliki pekerjaan lainnya,     

Semalam aku juga cukup banyak mendengar pembicaraan Jeremy dengan Raka secara diam-diam. Aku sampai terkagum-kagum sendiri mendengar Jeremy berbicara sesuai pengalamannya.     

Jujur, aku memang tidak tahu bagaimana masa lalu Jeremy di kehidupan sebelum menikahiku atau mengenalku, tapi memang sejak kali pertama mengenalnya, ia baik dan sangat antusias mendekatiku.     

Bahkan dari aku menikah dengan Zen … ah, Zen, ya? Mendadak aku jadi ingat dirinya. Bagaimana kabarnya? Aku sudah tidak mendengarnya menghubungiku lagi karena memang aku mengganti nomor ponselku setelah aku berpindah rumah.     

Aku juga tidak menyimpan segala hal-hal yang berkaitan tentangnya, kecuali novel-novel yang Zen berikan padaku. Aku masih membiarkan novel itu di kantorku. Belum semua kubaca, tapi jelas sekali dari novel itu Zen sengaja menyampaikan isi hatinya padaku.     

Perasaanku dengannya sudah tidak seperti dulu. Tentu saja tidak meninggalkan efek apa pun padaku. Walau aku penasaran dengan kabarnya, tapi aku tidak berniat mencari tahu tentangnya.     

Sudah cukup rasanya berhubungan dengannya di pernikahanku yang indah ini. Aku sudah mengatakan berapa kali pun, aku tidak ingin menyakiti Jeremy lebih banyak walau kenyataannya aku memang sudah menyakitinya.     

Lamunanku terbuyar dengan ponselku yang berdering tanda seseorang meneleponku. Nomor telepon kantor tertera di layarku.     

"Ya?" sapaku.     

"Bu, maaf mengganggu. Mendadak ada klien yang ingin meeting dengan Ibu besok pagi. Klien ini sudah pernah membeli gaun pengantin pada kita sesuai permintaannya di desain oleh Ibu," ujar Firly menjelaskan.     

Dahiku berkerut. Aku tidak bisa menghapal berapa pembeli atau klien yang membeli gaun pengantin padaku.     

"Meeting tentang apa, Firly? Tolong beri informasi yang jelas," tanyaku.     

"Tentang permintaannya lagi untuk membuat gaun setelah melahirkan, Bu. Katanya beliau ingin menjelaskan keinginannya pada Ibu langsung."     

"Siapa namanya?" tanyaku lebih rinci.     

"Ibu Lissa, Bu."     

***     

Belum bertemu Lissa saja Daisy sudah merasakan pusing. Ia juga tidak mengatakan pada Jeremy baru ia ke kantor karena untuk bertemu dengan Lissa secara personal.     

Jika Jeremy sampai tahu, kemungkinan besar ia tidak akan diizinkan untuk pergi ke kantor. Daisy hanya menjanjikan pada Jeremy bahwa ia akan pulang sebelum jam dua belas siang.     

Sampai kantor, Daisy menarik dan menghembuskan nafasnya. Berbulan-bulan ia tidak bertemu dengan Lissa. Lissa juga mungkin akan melahirkan, sementara Lissa belum mengetahui tentang kehamilan Daisy.     

"Tunggu ya, Pak. Tolong, jangan beritahu Jeremy saya bertemu dengan siapa saja di kantor. Katakan saja saya ada meeting dengan beberapa pegawai.     

"Iya, Bu."     

Daisy turun dari mobil dan masuk ke kantor dengan langkah perlahan-lahan. Sementara itu Lissa yang tengah duduk di lobi melihat Daisy datang, sayangnya Daisy tidak melihatnya.     

Sedikit terkejut bagi Lissa karena Daisy ternyata juga hamil entah sudah berapa bulan. Yang jelas perutnya lebih kecil dari Lissa.     

"Firly, saya mau cokelat panas dua, ya," pinta Daisy.     

"Baik, Bu. Apa Ibu Lissa bisa langsung masuk, Bu?"     

"Ya."     

Daisy duduk di kursinya. Ia amati seluruh ruangannya yang mana barang-barangnya masih di tempatnya. Rasanya sejuk dan senang berada di dalam kantornya. Tapi sayangnya kesejukan itu berubah menjadi ketidaktenangannya karena sebentar lagi Lissa akan masuk ke dalam ruangannya.     

Suara pintu ruangannya berbunyi dan Lissa masuk ke dalam.     

Wajahnya tidak semuram terakhir kali Daisy melihatnya. Lissa bahkan langsung duduk tanpa Daisy menyuruhnya.     

"Bagaimana, apa kamu sudah menyiapkan desainanmu, Daisy?" tanya Lissa tanpa berbasa-basi.     

"Ya, sudah. Anda bisa melihatnya di sini," balas Daisy mengikuti permainannya dengan bicara formal. Ia juga menyerahkan hasil desainannya pada Lissa untuk dipilihnya.     

Lissa membuka lembaran demi lembaran hasil desainan Daisy. Sesekali ia melirik Daisy yang ketangkap basah oleh Daisy sendiri karena Daisy mengamatinya dengan serius.     

"Kamu nggak perlu membuat sebanyak ini untuk mengimpress klienmu, Daisy," ujar Lissa tanpa melihatnya.     

"Saya nggak mau mengimpress Anda, Lissa. Saya suka menggambar dan maka dari itu saya membuat macam desain. Jadi ketika klien minta, saya hanya tinggal memberi hasil gambaran saya," jelas Daisy dengan nada kesal.     

Lissa terlihat kalah. Ia merasa sedikit malu karena mendengar Daisy bicara begitu. Padahal tujuannya datang hanya ingin sedikit menyapanya dengan rasa kebahagiaannya sekarang.     

"Ok. Aku mau halaman pertama ini," ucap Lissa.     

"Ok. Akan saya catat."     

Daisy mencatat pesanan Lissa untuk diteruskan ke bagian yang bersangkutan. Setelah itu ia meraih tasnya dan berdiri.     

"Sudah? Hanya begitu?" tanya Lissa terdengar aneh.     

"Kenapa? Seperti baru pertama kali saja Anda membeli gaun di tempat saya, Lissa," sambar Daisy judes.     

Lissa langsung diam lagi. Ia benar-benar merasa kalah karena Daisy begitu pandai melawannya dengan kata-kata.     

"Saya harus pergi. Meeting kita juga sudah selesai. Permisi," ucap Daisy berpamitan.     

"Daisy!" Lissa menghentikan Daisy ketika ia akan meraih gagang pintu. Daisy hanya diam tanpa menoleh ke arahnya.     

"Anak itu … apakah anak itu anak Zen atau Jeremy?"     

***     

Setelah sekian lama bertemu dan kemudian berakhir dengan pertanyaan seperti itu membuat Daisy jadi berpikir keras.     

Ia sendiri jadi memikirkan identitas anak yang ia kandung. Apakah itu hasil bercintanya dengan Zen atau memang anak Jeremy.     

Ia tidak pernah memikirkannya sampai sana. Kemudian Lissa datang dengan pertanyaan yang akhirnya membuatnya mau tak mau berpikir juga.     

Durasi waktu ia bercinta dengan Zen dan Jeremy terbilang cepat. Ia pikir, selama ini adalah anak Jeremy. Tapi sekarang ia juga berpikir bisa jadi itu anak Zen.     

"Nggak! Bukan anak Zen! Ini pasti anak Jeremy. Ya, ini pasti anak Jeremy!" ujar Daisy panik.     

Ia tidak bisa melihat bagaimana reaksi Jeremy nantinya jika ternyata anak yang dikandung istrinya sendiri adalah anak dari mantan suami istrinya.     

Daisy akhirnya membatalkan reunian itu pada Ama karena ia tidak bisa sesantai itu sejak mendengar Lissa. Setidaknya saat ini Daisy harus mencari tahu apakah tes DNA bisa dilakukan dalam masa kehamilan     

***     

Lissa mondar-mandir di balkon apartemennya. Setelah ia mengajukan pertanyaan itu ke Daisy dan Daisy tidak menjawanya, Lissa jadi curiga jika itu adalah anak Zen.     

Zen tidak boleh tahu, pikir Lissa.     

Zen sudah benar-benar kembali padanya tanpa merasa harus kembali atau frustasi karena Daisy. Zen yang sekarang benar-benar begitu menjadikannya ratu dan menyayanginya.     

Lissa tidak ingin kehilangan Zen. Ia hampir kehilangan Zen karena keeogisannya. Sekarang, setidaknya ia harus berpikir seolah ia tidak tahu apa-apa tentang Daisy yang saat ini hamil.     

"Lissa? Ayo, makan. Sedang apa kamu di balkon?" panggil Zen mengajaknya makan.     

Lissa langsung kembali masuk ke dalam dan duduk di kursi. Menu hidangan yang Zen janjikan untuknya.     

"Hmm, baunya enak!" puji Lissa.     

"Kamu dari mana tadi?" tanya Zen tanpa membalas pujiannya.     

"Aku dari rumah Nita."     

Zen mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara itu ia sendiri tahu ke mana Lissa pergi. Tapi Zen tidak ingin membahasnya karena ia sudah berjanji tidak akan membahas tentang Daisy di hadapannya.     

Ponsel Zen berbunyi dan ia pun menyalakan air pod bluetoothnya tanpa harus memegang ponselnya.     

"Ya?" sapa Zen.     

Zen berdeham-deham dan sibuk mengambil lauk pauk di piringnya.     

"Ok. Terima kasih."     

"Siapa?" tanya Lissa ingin tahu.     

"Dari kantor. Dua jam lagi meeting jadi aku harus meninggalkanmu sebentar, ya."     

"Ok. Nggak masalah, Zen."     

Mereka pun makan bersama dalam keheningan. Zen memperhatikan cara Lissa makan tanpa merasa menutup-nutupi sesuatu yang baru saja ia lakukan.     

Zen tidak marah pada Lissa, hanya saja ia penasaran untuk apa Lissa menemui Daisy dengan alasan memesan gaun pasca melahirkan.     

Dua jam kemudian Zen sudah di kantor. Ia lalu mulai membicarakan tentang pergerakan apa saja yang Lissa lakukan tadi. Tentu saja Zen tidak ingin Tino mengetahui ini karena bisa saja Tino melaporkannya pada Lissa.     

"Jadi, apa yang lebih penting?" tanya Zen.     

"Ibu Daisy hamil, Bos," ujar Bobi.     

Zen terkejut. Berbulan-bulan tidak melihatnya dan sekarang Daisy hamil kemudian pindah rumah. "Lalu apa?" tanyanya lagi.     

"Ibu Lissa sempat bertanya, apakah anak yang dikandung Ibu Daisy anak Bos atau Bapak Jeremy."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.