BOSSY BOSS

Chapter 212 - New Home, New Hope



Chapter 212 - New Home, New Hope

0Walau ia marah, bukan berarti ia tidak peduli. Sejauh apa pun ia dari suaminya, ia tetap mencintai. Tapi terkadang, Zen tidak melihat nya sebagai seorang istri.     

Perasaan sakit dan merasa terluka itu masih ada. Baginya, membuat Zen seorang diri adalah hukuman untuknya. Setidaknya itulah yang bisa Lissa lakukan dari pada meminta cerai atau berpisah.     

Demam yang dialami Zen tak kunjung mereda. Sesekali ia mengigau nama Daisy, tapi Lissa tetap meneguhkan dirinya.     

Hubungan Zen dan Daisy sudah berlebihan baginya. Ia tidak tahu seberapa parah hubungan mereka dulu, tapi jika Zen sudah sampai seperti ini, artinya hubungan mereka sangat melebihi masa lalu mereka.     

"Jangan terlalu menyalahkan Nona Daisy," suara Tino terdengar seraya menyentuh bahu Lissa.     

Lissa menoleh dan mencebikkan bibirnya. "Kenapa kamu membelanya, Tino? Ini kan terjadi karena dia!"     

Tino menggeleng dan duduk di seberang Lissa. "Jangan tersinggung, tapi Bos lebih frustasi sejak kamu pergi dari apartemen. Dia juga sering menjengukmu dari kejauhan dan enggan mendekatimu karena melihat kamu lebih bahagia di sana," jelas Tino.     

Kali ini Lissa tercengang. Ia kemudian menatap Zen dan memegang tangannya. "Apa itu … benar?" tanyanya entah kepada Tino atau Zen.     

"Itu benar, Liss. Seharusnya kamu tetap di sisinya sejarang apa pun dia di apartemen. Bos sudah frustasi dengan Nona Daisy dan ketika kamu juga menghilang, ia semakin frustasi."     

"Aku nggak tahu akan itu. Dia sampai nggak makan dan minum seperti ini. Apa dia pernah seperti ini? Saat bersama Daisy?"     

"Nggak. Perbedaannya adalah, saat Bos bertengkar dengan Nona Daisy, maka wanita malamlah pelariannya. Tapi denganmu, ia benar-benar menahan semuanya dengan cara seperti ini."     

Lissa menutup mulutnya karena benar-benar merasa bodoh. Ia tidak tahu hal-hal apa saja yang sudah Zen alami sejak tidak ada dia.     

Tino pun pergi meninggalkan Lissa seorang diri untuk menemani Zen sampai sadar. Setidaknya, itulah yang Zen harapkan.     

Lissa menunggu Zen sampai ia ketiduran. Kadang ia terbangun dan terpaksa harus pulang untuk mandi. Lissa tidak memberitahu Neva karena Tino memberitahunya bahwa apa pun yang terjadi pada Zen, selama hanya sakit ringan, jangan sampai Neva tahu.     

Di hari berikutnya, demam Zen sudah menurun, tapi wajahnya masih pucat. Sayangnya Zen belum benar-benar sadar sampai di saat Lissa ketiduran lagi di sisinya, Zen membuka matanya perlahan-lahan.     

Ia merasakan ada seseorang di sisinya. Diam dan tak bergerak. Zen pun menatapnya dan ia senang melihat Lissa di sisinya.     

Zen tidak ingin membangunkan Lissa, jadi ia hanya diam dan berusaha menyiapkan kalimat-kalimat yang akan ia ucapkan pada Lissa.     

Baru setelah itu tak lama Lissa terbangun dan ia sedikit terkejut dengan apa yang dilihatnya. Zen sudah sadar. Bahkan ia sudah duduk dan bersandar.     

"Kamu udah bangun, aku harus panggil dokter," ucap Lissa bergerak cepat.     

Sayangnya Zen mencengkram tangannya dan menghentikan gerakannya. Ia menggeleng dengan perlahan. "Nggak usah, Lissa. Aku butuh kamu di sini. Pasti sakitku hilang."     

Bukan gombalan atau kata-kata buaian yang Zen maksudkan, tapi kenyataan bahwa ia benar-benar membutuhkan Lissa di sampingnya.     

Lissa memerah. Baginya, Zen sengaja mengirimkan kalimat itu sebagai gombalan yang membuatnya tak bisa menolak.     

"Mau minum?" tawar Lissa.     

"Ya."     

Lissa meraih segelas air mineral di samping Zen dan memberikannya pada Zen. Zen cukup menghabiskannya karena mungkin ia benar-benar kehausan.     

"Berapa lama aku nggak sadar?" tanya Zen.     

"Beberapa hari. Yang terpenting sekarang kamu sadar, Zen. Maafin aku, ya?"     

***     

Daisy melahap habis masakan Jeremy tanpa ia sadari. Padahal Jeremy baru makan sangat sedikit. Memang sejak kehamilan anak kedua, Daisy begitu banyak makan hingga kadang ia menyadarinya saat semua sudah habis dan ia merasa kenyang.     

Jeremy tidak mempermasalahkan berapa banyak makanan yang Daisy habiskan. Hanya saja berlebihan makan di saat hamil juga ada tidak baiknya. Biasanya beberapa dokter menyarankan untuk diet jika sudah berlebihan dalam mengonsumsi sesuatu.     

"Oh, maaf. Aku nggak tahu kalau aku ternyata menghabiskan semua ini," ujarnya di setiap ia sadar akan apa yang sudah ia lakukan.     

"It's ok, dear. Aku suka melihatmu makan banyak."     

"Tapi ini berlebihan! Kenapa kamu nggak mencegahku atau mengingatkanku, Jer?"     

"Ya, udah. Next time aku ingatkan kamu, ya. Sekarang nikmati dulu, ok? Aku mau anak kita sehat."     

Daisy tersenyum. Moodnya juga lebih banyak berubah menjadi senang sejak kehamilannya. Terkadang Jeremy agak sedikit merasa aneh jika melihat proses Ibu hamil berkembang. Ia merasa senang, sudah pasti. Tapi hal-hal yang tak pernah ia ketahui, jadi ia ketahui dengan melihat perkembangan Daisy.     

Setelah selesai makan, Daisy juga yang merapikan semuanya. Ia benar-benar sangat rajin, itulah yang dilihat Jeremy. Melihatnya saja membuatnya tersenyum-senyum sendiri.     

Kemudian di saat Jeremy sedang membantu Daisy, pintu rumahnya berdenting. Jeremy berinisiatif membukanya dan ia kedatangan Raka juga Reina serta mertuanya dan Jason juga Lily.     

"Oh, kalian ke sini. Kenapa nggak memberi kabar lebih dulu? Kami baru aja makan," ujar Jeremy.     

"Dadakan kok, Jer. Dari luar juga, jadi sekalian mampir."     

"Oh gitu. Masuklah."     

Jason langsung mencium tangan Jeremy dan diikuti dengan Lily. Lalu mereka berlarian mencari Daisy.     

Sementara Daisy sedang berbicara dengan anaknya juga keponakannya, Jeremy menyuguhkan minuman untuk keluarganya.     

"Maaf ya, Jer, kita nggak ajak kalian keluar bareng tadi," tutur Raka.     

"Nggak apa-apa. Lagian Daisy juga pas banget mau di rumah aja. Jadi gue masakin makanan buat dia dan dihabiskan langsung!"     

Raka terkekeh mendengar bagaimana Jeremy melaporkan hal itu padanya. Ia sudah sering sekali mendengar laporan yang sama tentang Daisy sejak kehamilannya.     

"Lo bayangin anak lo bakalan gemoi gitu nggak, sih? Emaknya makan banyak tapi yang gemoi nanti anak lo?" goda Raka dengan suara menghibur.     

Jeremy gantian tertawa. Ia jadi membayangkan hal itu tapi secepat itu juga ia menghilangkan ekspektasi apa pun. Jeremy lebih memilih anaknya sehat dan kuat, itu saja.     

"Lo nggak mau nambah?" tanya Jeremy mengalihkan topik.     

Raka lalu menatap Reina yang sedang berbincang-bincang dengan yang lainnya termasuk Daisy. "Dia nggak mau. Satu aja katanya repot, apalagi dua."     

"Padahal lo pengen?"     

"Ya nggak juga sih, Jer. Gue sendiri masih sibuk juga kerja dan pulang malam. Kita juga jarang bercinta. Jadi yah, nggak masalah kalau memang belum bisa nambah," jelas     

Jeremy mengangguk paham. Memang setiap pilihan orang berbeda. Ia sendiri tidak merencanakan apa pun mengenai memiliki anak lagi. Tapi jika diberi, maka ia siap lahir batin.     

"Btw, gue ada kabar rahasia," ucap Raka.     

Jeremy tahu kabar rahasia itu adalah kabar di mana Daisy tidak boleh tahu. "Zen sakit dan masuk rumah sakit," ujar Raka memberitahu.     

***     

Akhirnya Zen kembali ke apartemen dengan sehat. Ia bahkan tidak kelihatan seperti habis sakit. Berkat rawatan pihak rumah sakit dan kehadiran istrinya, ia cepat pulih.     

Zen bahkan tidak melepaskan genggamannya pada Lissa sampai ia sampai di apartemen. "Jangan pergi lagi," pinta Zen memeluknya dari belakang.     

Ada perasaan senang dalam diri Lissa ketika Zen mendekapnya seperti itu. Ia merindukan belaian Zen yang begitu membuatnya candu dan kesakitan.     

"Iya, nggak. Tapi berjanjilah sesuatu, Zen."     

"Apa pun, Lissa."     

"Jangan lakukan hal yang sama lagi. Aku nggak masalah jika kamu-"     

"Sssttt!" Zen menutup bibir Lissa dengan bibirnya. Ia sengaja mengulum bibirku sebentar dan melepaskannya dengan pelan.     

"Nggak akan. Aku janji. Aku nggak mau kehilangan orang yang sangat aku cintai," ujar Zen memeluknya lagi.     

Zen bisa merasakan perut besar Lissa menyentuhnya. Kemudian untuk kali pertamanya, ia merasakan sebuah gerakan dari perut Lissa.     

"Apa itu tadi?" tanya Zen penasaran. Ia membungkuk dan memegang perut istrinya.     

Lissa mengusap-usap perutnya dengan senyuman. "Respons dari anakmu, Zen. Sepertinya dia senang dengan sentuhan yang nggak disengaja olehmu," jawab Lissa memberitahu."     

Wajah Zen terlihat senang. Ia menyentuh lagi perut Lissa dan merasakan gerakan itu lebih kuat. Lissa sampai terkekeh merasakannya juga.     

"Benarkah? Apa kalau dia senang seperti itu?" tanya Zen     

"Hmm. Jadi, apa kamu sudah siap menjadi seorang Ayah?"     

Zen menengadahkan kepalanya ke Lissa dan ia pun berdiri. Kedua tangannya merangkul pinggang Lissa.     

"Sangat siap. Aku menanti jagoanku datang, nggak peduli cewek atau cowok, aku sangat mengingingkan anak dari orang yang kucinta."     

Lissa tersenyum sampai ia merasakan dua tangan Zen mulai nakal. Ia menurunkan restleting dress Lissa hingga akhirnya terbuka sudah dress itu.     

Betapa indahnya penampakan Ibu hamil itu, batin Zen memujinya. Ia meraba setiap lekukan tubuh Lissa yang sudah telanjang itu. Lissa merasa tubuhnya mengejang dengan sentuhan yang menghantarkannya menjadi sangat ingin lebih.     

Matanya terpejam sesekali hingga ia membuka dan menatap Zen yang masih menatap tubuhnya. Kemudian Lissa pun bergantian melepas pakaian Zen hingga tanpa sisa.     

"Apa bisa?" tanya Zen seraya menelan ludahnya.     

"Hmm … lebih baik dari belakang, Zen."     

Zen lalu membalikkan tubuh Lissa. Ia masih ingin menciumi tubuh Lissa dengan liar. Menyentuhnya hingga membuat sengatan pada tubuh Lissa. Darahnya berdesir karena bagian bawahnya sudah menegang sejak awal.     

Sudah lama Zen tidak memuaskan dirinya. Ini adalah pertama kalinya ia menyentuh Lissa sejak mereka saling berjauhan.     

"Aku merindukanmu, Lissa," bisik Zen di telinganya.     

"Aku lebih merindukanmu, Zen."     

"Bagaimana bisa aku nggak melihatmu, sementara kamu begitu indah untuk dilihat. Bahkan disentuh."     

"Zen … lakukanlah saja!" pinta Lissa.     

Perlahan Zen mencobanya dengan hati-hati. Sampai milik Lissa memenuhinya, Zen bergerak pelan. Ia tidak ingin melakukannya dengan kasar. Ia masih memikirkan perut Lissa yang sudah membesar itu. Namun rupanya Lissa menginginkan lebih cepat dari biasanya.     

"Diam, Lissa. Biar aku yang melakukannya!" ujar Zen dengan geram.     

"Cepat! Aku ingin yang lebih cepat!"     

Zen berusaha mengontrol dirinya agar tidak mengikuti apa yang Lissa inginkan walau itu sangat menggiurkannya.     

"Aku nggak akan apa-apa! Lakukanlah yang cepat!" rintih Lissa dengan merengek.     

Akhirnya Zen mempercepat gerakannya dan membuat dirinya juga Lissa sama-sama mendapatkan apa yang mereka mau. Dengan nafas tersengal-sengal dan keringat yang membasahi tubuh, keduanya merasa puas setelah sekian lama menahan rindu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.