BOSSY BOSS

Chapter 211 - Fever



Chapter 211 - Fever

0Bulan demi bulan Zen lewati tanpa bertemu dengan Daisy. Sepertinya alam sedang tidak memihaknya untuk bisa bertemu Daisy dengan ketidaksengajaan.     

Selama berbulan-bulan itu, Zen mencoba seperti membuat kesengajaan dengan melewati kantor atau pun daerah rumah Daisy. Ia berharap ia bisa bertemu dengan mantan istrinya. Tapi yang ia dapatkan adalah tidak ada hasil.     

Berbulan-bulan itu juga perut Lissa membesar dan hubungan mereka menjadi sedikit lebih dingin. Zen sudah kembali ke apartemen untuk menetap bersama Lissa. Kadang mereka terlibat dalam pembicaraan, tapi terkadang hanya keheningan yang melanda.     

Saat Zen melihat Lissa seakan berjuang sendiri di masa kehamilannya yang semakin membesar, ada perasaan kasihan dan ingin mendekatinya. Tapi ia tidak bisa karena terlalu banyak mengingat nama Daisy saat itu juga.     

Zen lebih banyak meninggalkan Lissa dengan segala kebutuhannya dan mengisi kebutuhannya jika sudah habis. Lalu ia akan meninggalkannya lagi untuk kesibukannya di kantor.     

Penampilannya juga cukup berubah dengan ia sengaja menumbuhkan janggutnya jadi ia terlihat sedikit lebih tua. Tapi pesona Zen tidak pernah memudar di mata wanita mana pun.     

"Saya mau semua pekerjaan untuk besok, saya selesaikan saat ini juga. Jika saya nggak capek, saya akan meminta untuk keesokannya lagi," perintah Zen pada sekretarisnya itu.     

"Baik, Pak. Ada lagi, Pak?"     

"Apa kamu sudah mencoba menghubungi Ibu Daisy?" tanya Zen.     

"Sudah, Pak. Tapi jawaban dari asistennya sama, Pak, beliau sedang tidak di tempat."     

Zen mengangguk dan menyerah, ia lalu menyuruh sekretarisnya keluar dan membiarkannya sendiri.     

Zen juga mengambil kesimpulan bahwa Daisy benar-benar menghindarinya sampai waktu benar-benar mempertemukan mereka dengan sebuah ketidaksengajaan.     

Dengan frustasi akan rasa cintanya, Zen melampiaskannya dengan bekerja sangat keras hingga ia merasa lelah. Bahkan ia jarang tidur dan kembali ke apartemen di saat dini hari.     

Pukul tiga subuh Zen baru akan meninggalkan kantornya. Ia mengendarai mobilnya hingga sampai apartemen dan menemukan kekosongan ketika ia melihat apartemennya tidak menampakkan Lissa.     

Dicarinya Lissa ke segala ruangan dan ia tidak menemukannya. Zen akhirnya menghubungi Lissa. Panggilannya tersambung dan Lissa menajwabnya.     

"Ada apa?" tanya Lissa dengan suara datar.     

"Kamu di mana sekarang?"     

"Apa kamu baru pulang? Aku pikir kamu nggak ingat rumah dan aku."     

"Kamu di mana?" tanya Zen sekali lagi dengan intonasi nada yang tinggi.     

"Di rumah sepupuku. Jangan mencariku. Aku butuh jarak darimu sampai kamu mengerti, Zen. Selamat beristirahat."     

Panggilan Zen dimatikan Lissa dengan sebelah pihak. Zen menggeram kesal dan ia memukul dindingnya yang dekat dengan dirinya.     

Pikirannya yang kalut kini semakin kalut dengan ketiadaan Lissa dan bayi yang ada di dalam perutnya.     

Ia akhirnya menyuruh Tino mencari tahu di mana sepupu Lissa tinggal dan siapa namanya. Sebab hanya Tinolah yang bisa diandalkan jika sudah menyangkut Lissa.     

Tanpa perlu mencari tahu, Tino bahkan sudah tahu. "Nama sepupunya Nita, Bos. Alamatnya sudah saya kirim ke pesan Bos. Sebaiknya tunggu beberapa hari, Bos, sampai Lissa sedikit dingin."     

"Kamu pikir saya mau berlama-lama membiarkannya di luar?" tanya Zen kesal.     

"Masalahnya, Lissa merasa seakan Anda nggak menganggapnya sebagai istri, Bos. Jadi, maaf jika saya lancang, tapi sebaiknya tunggulah beberapa hari."     

Tino langsung keluar dari apartemen Zen dan membiarkan Zen menyesali perbuatannya selama ini.     

Biasanya Zen mencari wanita malam untuk memuaskannya di saat ia frustasi, tapi sekarang Zen benar-benar tidak mau melakukan itu. Baginya, dirinya yang lama itu sudah mati. Sekarang ia harus belajar menerima kenyataan dan mencari solusi untuk setiap masalahnya.     

***     

"Senang tinggal di sini?" tanya Jeremy pada Daisy.     

Daisy mengangguk dengan senyuman. "Senang banget. Terima kasih ya, Jer. Kamu juga nggak menyuruhku menjual rumah peninggalan Raja," ucap Daisy.     

"Aku nggak akan menyuruh siapa pun untuk menjual peninggalan seseorang, Daisy. Tapi langkah kamu menyewakan rumah itu sudah bagus. Senggaknya kamu juga dapat hasil dari itu, kan?"     

"Iya. Aku nggak mau Zen atau siapa pun selain keluarga kita tahu rumah ini, Jer," pinta Daisy.     

Jeremy mengacak-acak rambut Daisy. "Tenanglah, semua udah kuatur."     

Jeremy membiarkan Daisy berkeliling rumah rumah baru mereka. Ia memperhatikan betapa Daisy saat ini terlihat jauh lebih cantik sejak kehamilan pertamanya bersamanya.     

Jason akan memiliki seorang adik. Pada akhirnya Jeremy bahagia karena ia memiliki keturunan dari Daisy.     

Sambil membiarkan Daisy berkeliling, Jeremy menginstruksi tukang-tukang yang menggiring barangnya untuk ditaruh di tempat yang ia inginkan. Ia juga memandang seisi rumahnya dengan bahagia.     

Rumah yang sudah ia bangun sesuai desain yang inginkan, jauh sebelum menikahi Daisy, akhirnya jadi juga. Jeremy sudah mempersiapkan kehidupan yang layak untuk Daisy di rumah ini.     

Hanya saja ada satu yang kurang, Jason lebih memilih tinggal bersama Kakek, Neneknya, juga Tante dan Omnya. Kadang satu hal itu membuat Daisy sedih karena ia terus menerus menyalahkan dirinya, sebab memang sejak kecil sudah menjadi kebiasaan Jason tinggal bersama mereka.     

Menjadi tugas bagi Jeremy untuk membuat Daisy selalu tersenyum saat ia masih saja menyalahkan dirinya sendiri.     

Daisy kembali dan memeluk Jeremy dari belakang. "Belum semalam di sini saja aku sudah betah, Zen. Kolam renangnya sangat … eksotis," lirih Daisy dengan suara terdengar nakal.     

Jeremy tahu apa yang di maksud Daisy. Ia mengerlingkan satu matanya pada Daisy dan melepaskan pelukannya.     

"Nanti. Ok? Sekarang aku harus memesan makanan dulu untuk para tukang. Kamu beristirahatlah di kamar, lagi pula kamu juga harus memeriksa pekerjaan karyawan, kan?" kata Jeremy.     

Daisy mengangguk dan mengecup pipi Jeremy dengan cepat setelah itu ia meninggalkan Jeremy dengan senyuman penuh arti.     

Jeremy tersenyum senang menatap Daisy yang begitu bersemangat. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya seraya menatap layar ponselnya untuk menelepon restorannya.     

"Kirimkan paket makanan untuk lima orang ke alamat rumah baru saya," perintah Zen pada kasirnya melalui telepon.     

"Baik, Pak. Ada lagi?" tanyanya.     

"Itu saja."     

Setelah itu Jeremy menyuruh mereka beristirahat sambil menunggu makanan yang dipesannya datang. Jeremy juga mendatangi Daisy ke kamarnya untuk melakukan sesuatu yang cepat dengannya.     

Rupanya Jeremy sedikit terpancing dengan tatapan nakal yang Daisy tadi berikan. Ia lalu mencium Daisy dengan cepat hingga menyuruhnya duduk sementara Daisy sudah tahu apa yang harus ia lakukan.     

Daisy lalu melepaskan celana Jeremy dan mulai memberikan pelayanannya sebagai istri untuk suaminya. Jeremy menikmati sensasi itu dengan mata terpejam dan menggerak-gerakkan kepala Daisy maju mundur.     

"Cepatlah, Daisy. Waktu kita nggak banyak," pinta Jeremy.     

Daisy hanya menggumam dan mempercepatnya hingga Jeremy mendapatkan kepuasan itu. Senyuman nakal masih Daisy tunjukkan pada Jeremy seraya ia membersihkan mulutnya dengan tisu.     

"Aku belum mendapatkannya, Jer. Jadi, lakukanlah setelah mereka semua pergi dan kita bisa sepuasnya," kata Daisy memperingatkan Jeremy.     

***     

Sudah tiga hari Zen membiarkan Lissa berada di rumah sepupunya yang bernama Nita itu. Ia juga sudah menyelidiki tempat tinggal Nita. Sesekali Zen melihat Lissa keluar dari rumah Nita bersamaan dengan sepupunya untuk keluar.     

Sayangnya Zen masih enggan untuk menjemput Lissa. Padahal sejak di apartemen ia bertekad untuk menjemputnya. Tapi melihat Lissa bisa tersenyum puas selama Zen tidak di sampingnya, Zen enggan.     

Terpaksa Zen memutar kembali mobilnya untuk kembali ke arah kantornya. Ia juga sengaja melewati rumah Daisy untuk memastikan apakah ada Daisy di sana.     

Saat ia mendekati rumah Daisy, yang keluar dari gerbang rumah itu bukanlah Daisy, melainkan seorang wanita lain. Merasa penasaran, Zen pun turun dan melangkah mendekati gerbang rumah Daisy.     

"Maaf, boleh saya tanya?" sapa Zen bertanya pada wanita itu.     

"Ya, silakan."     

"Apa ini rumahnya Daisy?" tanya Zen berpura-pura tidak tahu.     

"Oh, Bu Daisy … benar, ini rumahnya Bu Daisy, tapi beliau mengontrakannya pada saya, jadi sekarang beliau nggak tinggal di sini."     

"Oh? Boleh tahu pindahnya ke mana sekarang?"     

"Maaf, saya kurang tahu, Mas."     

"Ok, kalau begitu terima kasih, ya."     

Zen berbalik dengan perasaan yang semakin bercampur aduk. Ia baru tahu Daisy sudah tidak tinggal di sini. Bagaimana bisa ia ketinggalan berita semacam ini? Padahal ia sudah mengerahkan anak buahnya untuk memantau rumah Daisy.     

Seperti setengah hidupnya sudah mati, Zen akhirnya benar-benar kembali ke kantornya tanpa mampir-mampir. Ia bahkan melupakan jam makannya dan memilih melampiaskan frustasinya pada pekerjaannya.     

Kesibukannya akan pekerjaannya benar-benar membuatnya lupa akan Daisy. Ia sama sekali tidak memikirkan Daisy saat begitu banyak pekerjaan di masa yang akan datang, ia kerjakan saat itu juga.     

Segela kontrak kerja sama dan macam-macam pembangunan gedung, Zen selesaikan tanda tangan itu di hari itu juga. Karyawannya sampai heran dan bingung dengan Zen yang secara tiba-tiba terlalu rajin.     

"Sasya!" teriak Zen pada sekretarisnya.     

"Iya, Pak?"     

"Apa … uhuk, uhuk, uhuk … ada lagi?" tanya Zen dengan tiba-tiba ia terbatuk-batuk.     

"Pak, sebaiknya Bapak pulang dan istirahat. Wajah Anda pucat, Pak. Lalu, tidak ada lagi dokumen yang harus Anda tanda tangani," jawab Sasya memberi saran.     

Zen langsung mengusir sekretarisnya dengan isyarat tangan yang menyuruhnya keluar segera. Sasya akhirnya benar-benar keluar dan berinisiatif menghubungi Lissa.     

"Halo?" sapa Lissa.     

"Maaf Bu, mengganggu malam-malam. Jika bukan karena kondisi Bapak, saya nggak berani menghubungi Anda, Bu. Saya hanya ingin memberitahu, Bapak sepertinya sakit. Wajah beliau pucat dan terbatuk-batuk," jelas Sasya.     

Lissa menghela nafasnya. Ia tentu saja khawatir dengan kondisi Zen setelah mendengar laporan Sasya.     

"Apa kamu pernah melihat dia makan?" tanya Lissa ingin memastikan lagi.     

"Setahu saya Bapak terlalu lama di kantor dan nggak memakan atau meminum sesuatu. Bibirnya juga pecah-pecah, Bu," jawab Lissa lengkap.     

"Pulanglah, Lissa. Biar saya yang datang ke kantor. Ini juga sudah jam waktumu pulang, bukan?"     

Sasya mengangguk dan berterima kasih pada Lissa. Ia pun menutup teleponnya dan bersiap-siap pulang dengan perasaan lega.     

Satu jam kemudian Lissa sampai di kantor Zen. Ia masuk ke dalam dan menuju ruangan Zen. Dibukanya pintu ruangan Zen tanpa mengetuk dan menampakkan sosok Zen yang tertidur di atas mejanya.     

Lissa menyentuh kening Zen dan ia terkejut karena tubuhnya panas dan wajah Zen begitu pucat. Segera ia menghubungi sekuriti dan memintanya memindahkan Zen ke dalam mobilnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.