BOSSY BOSS

Chapter 209 - Candle Light Dinner



Chapter 209 - Candle Light Dinner

0Setelah cukup dirasa bercinta hebat dengan suaminya, Daisy tertidur. Jeremy juga membiarkannya beristirahat sejenak sementara ia segera membersihkan diri dan memesan makanan pada kokinya.     

Keluar ruangan, ia bisa merasakan betapa sangat lelahnya dirinya namun juga merasa lega. Dilihatnya sekelilingnya, entah karyawannya mendengar apa yang mereka lakukan atau tidak, Jeremy tidak peduli.     

Ia langsung ke dapur dan memesan beberapa menu untuknya dan Daisy.     

Jeremy juga memerintahkan karyawannya membuat lilin yang menyala-nyala di meja yang ia minta.     

Saat Jeremy kembali ke ruangannya, rupanya Daisy sudah mengganti pakaiannya. Ia juga sudah kelihatan lebih segar dan benar-benar wangi.     

"Aku sudah memesan makanan, apa mau ke meja langsung?" Tanya Jeremy.     

"Iya, kita ke sana. Aku sangat lapar."     

Jeremy tersenyum dan seperti biasa, mengacak-acak rambut Daisy.     

Hal yang Jeremy suka dari karyawannya adalah, mereka selalu menyiapkan pesanan sebelum orang yang memesan datang.     

Seperti saat ini, ketika Jeremy membawa Daisy ke meja pilihannya yang menurutnya cantik, Daisy terperangah. Wajahnya benar-benar berbinar menatap susunan meja yang dipilih Jeremy.     

"For you, My Dear … " ujar Jeremy lembut.     

Tak terasa mata Daisy berkaca-kaca. Membuat pelupuk matanya tergenangi oleh air yang sebentar lagi mungkin akan terjatuh.     

Begitulah Daisy … jika ada hal yang cukup menyentuh hati dan perasaannya, ia menangis. Apalagi ia benar-benar tersentuh dengan perlakuan Jeremy yang selalu memberikan hal-hal positif padanya di saat ia bermain di belakang Jeremy.     

"Jangan menangis, Daisy," hibur Jeremy seraya menyeka air matanya.     

"Padahal cuma makan malam, tapi kamu membuatnya begitu istimewa. Terima kasih, ya." Daisy langsung memeluknya menangis dalam dekapan Jeremy. Jeremy tersenyum dengan perasaan yang masih terasa sakit. Tapi ia sangat senang membuat momen ini jadi berarti untuk Daisy.     

"Jeremy? Kamu Jeremy, kan?"     

Suara wanita yang asing di telinga Jeremy tiba-tiba menyapanya. Daisy pun ikut menoleh untuk tahu siapa wanita itu.     

Jeremy sedikit bingung karena ia tidak terlalu memiliki banyak teman wanita. Jadi ia mengerutkan keningnya. Sementara itu Daisy memandang keduanya bergantian.     

"Aku Salma. Kita pernah seminar bersama waktu masih kuliah. Beberapa kali seminar lebih tepatnya," ujar Salma memberitahu.     

Jeremy tersenyum walau ingatannya tidak terlalu baik pada hal yang tidak membuatnya tertarik.     

"Oh, ya. Salma ya … aku agak lupa sebenarnya. Kita pasti beda kampus juga, kan?" Tanya Jeremy.     

Salma mengangguk dan tersenyum. Seketika kehadiran Daisy seolah tidak dianggap di sana. Namun Jeremy tetap menggenggam tangannya walau ada wanita lain di hadapannya.     

"Nggak sangka ketemu kamu di sini. Apa kabar?" Tanya Salma.     

"Baik. Terima kasih. Kenalkan, ini istriku," ujar Jeremy seraya mengenalkan Daisy.     

Salma langsung menoleh ke arah Daisy dan tersenyum kaku begitu mendengar nama 'istri' disebut.     

"Hai, Daisy," ujar Daisy seraya mengulurkan tangannya.     

"Salma. Maaf kalau aku mengganggu."     

"It's ok. Sudah terjadi juga," balas Daisy kesal namun tetap tersenyum.     

"Wah, kalau begitu aku sangat minta maaf. Sepertinya aku juga harus pergi karena aku memang baru akan pergi, hanya saja saat melihatmu aku jadi harus memastikan apakah itu kamu atau bukan," jelas Salma.     

Jeremy tersenyum seperti biasa. "Bukan masalah, Salma."     

"Kalau begitu, nikmati malam kalian ya, aku pergi."     

Begitu Salma pergi, Daisy menghembuskan nafasnya kesal. Matanya memutar sampai ia melihat Salma tidak lagi ia lihat.     

"Dasar pengganggu!" Rutuk Daisy tanpa sadar.     

Jeremy tersenyum senang mendengar bagaimana Daisy terlihat cemburu. Bahkan Daisy tidak merasa malu menunjukkan betapa mengganggunya Salma tadi.     

"Sudah, Sayang. Dia juga sudah pergi, kan?"     

"Memangnya kamu ingat dia?"     

Jeremy menggelengkan kepalanya. "Sebenarnya nggak, tapi supaya waktunya cepat, jadi aku iyakan saja."     

Daisy tertawa mendengar itu. Ia pikir Jeremy benar-benar mengingatnya, nyatanya Jeremy mengiyakannya dengan sebuah alasan.     

***     

Sebuah sentuhan mengejutkan Daisy saat ia sedang memeriksa beberapa butiknya yang dijual di gerai tokonya. Daisy menoleh dan terkejut.     

"Tante Neva?" Sapa Daisy.     

"Halo, Sayang. Akhirnya Tante bertemu denganmu di sini. Tante sering belanja di sini, loh," kata Neva dengan lembut.     

"Oh, maaf Tante. Aku nggak tahu kalau Tante sering belanja di sini. Kebetulan aku lagi pengen memantau toko, jadi aku langsung ke sini. Tante apa kabar?"     

Neva tidak langsung menjawab pertanyaan Daisy. Ia tersenyum menatap Daisy. Seperti sebuah kerinduan seorang Ibu pada anak perempuannya.     

"Boleh Tante memelukmu?" Tanya Neva meminta izin.     

"Boleh, Tante."     

Neva pun memeluk Daisy dengan erat. "Tante kangen kamu. Sekarang kamu sukses, ya?"     

Daisy tersenyum. Ia akan selalu baik pada Neva dan menganggap selayaknya Ibu kandungnya. Walau sekalipun Neva adalah Ibunda dari mantan suaminya, tidak membuat Daisy lantas menjauhinya.     

"Terima kasih, Tante. Ilmu ini berkat Tante juga, kok," ucap Daisy.     

"Bukan hal yang perlu dibesarkan, Daisy. Kamu mau makan siang dengan Tante?" Tanya Neva.     

Daisy langsung mengangguk sekaligus menghubungi Jeremy untuk memberitahunya. Jika hal seperti ini, ia akan melaporkan pada Jeremy dan Jeremy tidak mempermasalahkannya.     

Hanya butuh beberapa langkah untuk Daisy dan Neva menuju restoran di deretan tokonya. Mereka hanya berjalan kaki karena memang Daisy merekomendasikan restoran itu pada Neva.     

"Tante dengar, kamu dan Zen sering bertemu akhir-akhir ini," ucap Neva di sela ia Daisy sedang makan.     

"Hmm, iya, Tante. Tapi beberapa waktu lalu, kok. Sekarang sudah nggak," balas Daisy dengan tegas.     

Neva mengangguk. "Kamu harus jaga pernikahanmu, Daisy. Kalau niatmu memang ingin menghindar dari Zen, Tante setuju. Tentu saja Tante memilih hal-hal yang baik. Kamu menikah dan begitupun Zen. Hal-hal baik tentu berat dilakukan, tapi pasti bisa jika kamu niat," kata Neva menasihati.     

Walau Neva mendukungnya, tetap saja Daisy harus berhati-hati dalam hal membicarakan tentang Zen.     

"Iya, Tante. Terima kasih. Aku masih berusaha menghindarinya," balas Daisy.     

"Oh ya, kamu juga sudah bertemu Lissa, ya?"     

Daisy mengangguk.     

"Menurutmu, dia bagaimana?" Tanya Neva meminta penilaiannya.     

"Baik, Tante. Aku hanya mengenalnya sebentar dan yah, menurutku baik."     

"Kurang membaur. Tante nggak begitu suka sebenarnya dengan Lissa. Tapi Tante menghormati pilihan Zen."     

Daisy mengerutkan dahinya. Ia tidak tahu jika ternyata Neva sama halnya seperti Lissa, sama-sama saling tidak menyukai. Padahal jika Daisy pikir, Neva merupakan mertua yang baik. Tapi yah, Daisy sedikit tidak terlalu menyukai Lissa karena satu dan lain hal.     

Tidak seperti Kanya, pikir Daisy. Walau Daisy tidak mengenal Kanya begitu dekat, tapi melihat dari cara bicara Kanya dan Lissa, terlihat sekali jika Kanya lebih di atas dari pada Lissa.     

"Zen nggak tahu tentang ini. Tante nggak mau dia merasa nggak enak sama Tante karena pilihannya. Kamu tahu sendiri, Zen selalu berbuat sesukanya ketika dia menyukai sesuatu," jelas Neva.     

"Iya, Tante. Aku paham. Tapi Zen sudah kelihatan cukup berubah menjadi sosok yang baik, Tante."     

"Benar. Dia benar-benar bisa berubah dan Tante senang melihatnya."     

***     

"Maaf, Pak. Tapi Ibu Daisy memang sedang tidak ingin diganggu. Sedari pagi beliau hanya marah-marah saja," ucap Firly berbohong. Ia melakukannya karena Daisy yang memintanya.     

"Marah-marah dengan karyawan? Saya rasa dia bukan tipikal orang yang seperti itu. Biarkan saya masuk saja."     

Firly menggelengkan kepalanya. "Siapa pun, Pak. Siapa pun tidak bisa masuk. Bahkan suaminya sendiri tidak diperbolehkan oleh Ibu."     

Zen memandang ke arah pintu ruangan Daisy. Ada pemikiran ia ingin berlari dan langsung masuk. Tapi rasanya tidak etis jika ia melakukan itu.     

"Ibu bahkan mengunci pintunya. Beliau bilang ingin menenangkan diri tanpa ada yang mengganggu," sambar Firly sekali lagi.     

Zen pergi langsung dari kantor Daisy dan mencoba menghubunginya lagi. Namun sia-sia, panggilannya tidak ia jawab, malahan Daisy mematikannya.     

Sementara itu Daisy menghela nafasnya berulang kali karena benar sesuai firasatnya, Zen jadi lebih sering menghubunginya.     

Firly pun langsung masuk dan melaporkan kejadian itu pada Daisy.     

"Kalau besok beliau ke sini lagi, beri alasan lain, Firly. Seenggaknya kamu siapkan dulu alasannya supaya kamu nggak kaget," perintah Daisy.     

"Baik, Bu. Apa nggak apa-apa, Bu, membiarkan Bapak Zen dengan alasan-alasan yang lain?"     

"Nggak apa-apa. Mungkin saya juga akan jarang ke kantor. Saya akan monitor via mobile, ok?"     

Firly mengangguk dan keluar dari ruangan Daisy.     

Ponsel Daisy yang berdering terus membuatnya cukup terganggu juga. Walau Zen sudah berubah, nyatanya sikap lainnya yang membuatnya kesal adalah Zen menjadi pengganggu.     

Daisy pun mematikan panggilan itu dan mengirim pesan pada Zen bahwa ia sedang tak ingin diganggu oleh siapa pun.     

Beberapa jam berhasil ia lewati tanpa gangguan dari Zen. Daisy benar-benar mempercepat pekerjaannya dan membawa beberapanya ke rumah agar ia tak melulu berada di kantor dengan risiko bertemu Zen.     

Sebelum jam pulang kantor, Daisy berpamitan pada Firly.     

Daisy merasa jauh lebih lega ketika ia sudah berada di rumah. Walau pun ia lebih memilih ke rumah orang tuanya lebih dulu untuk menunggu Jeremy pulang.     

Lebih banyak waktu yang bisa ia habiskan bersama Jason jika ia tidak melulu ke kantor. Setidaknya Daisy bisa mengetahui apa yang anaknya inginkan.     

"Daisy, sudah makan?" Tanya Weiske mendekatinya.     

"Sudah, Bu."     

"Kamu sehat kan, Dai? Kita udah cukup lama nggak bicara sedekat ini," ujar Weiske.     

Daisy tersenyum kaku. Ia memang tidak begitu dekat dengan Weiske sejak ia benar-benar seorang diri.     

"Sehat, Bu. Ibu juga, kan? Anak-anak bagaimana, Bu? Apa Jason sering mencariku?"     

"Jason itu mirip kamu. Dia benar-benar mandiri sampai sepertinya nggak pernah mencarimu kecuali kami membicarakanmu lebih dulu," tanggap Weiske memberi tahu.     

Ada perasaan senang dan sedih di hati Daisy. Sedih karena ternyata Jason benar-benar begitu jauh darinya. Semua memang karena dirinya sendiri yang tidak terlalu dekat dengan Jason. Daisy hanya mencukupkan kebutuhan Jason dan setelah itu seperti lepas tangan.     

"Jangan sedih, Dai. Masih ada kesempatan buat Jason menjadi anak seperti yang kamu inginkan, kok," hibur Weiske pada anaknya. Ia tahu Daisy sedang bersedih mendengar itu.     

Daish menggeleng dengan senyuman. "Ma, kalau dia sudah mandiri, aku nggak masalah. Aku senang. Aku cuma minta buat dia selalu ingat aku kapan pun itu. Aku juga akan selalu datang setelah hari ini, Bu."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.