BOSSY BOSS

Chapter 15 - Kedai Cokelat...



Chapter 15 - Kedai Cokelat...

0"Lo mending pulang aja deh, kalau emang kurang tidur, Der," ujar salah satu karyawan Zen, ketika ia sedang berdiri dan berbicara dengan salah satu karyawannya juga.     

"Duh, nggak deh. Sayang banget kalau gue sampai pulang," balas Dera lemah.     

"Lagian, lo ngapain aja sih, sampai kurang tidur gitu? Nanti pas jam istirahat, tidur bentar aja."     

"Gue nungguin orang, tapi nggak datang-datang."     

"Cowok? Duh, buang aja ke laut kalau cowok kayak gitu nggak mau datang ke lo."     

Mendengar itu, Zen pun berdeham. Keduanya sedikit terkejut karena pembicaraan mereka benar-benar terdengar jelas di telinga Zen, bahkan mungkin di telinga karyawannya yang lain. Dera sendiri tidak mengira bahwa Zen ada di sana. Sebab memang posisi Zen sedang membelakangi mereka.     

"Kerja, bukan bercerita di luar job desk kalian," ujar Zen menegur.     

Saat Zen akan masuk ke dalam ruangannya, ia menatap Dera yang juga menatapnya. Lalu Zen mengembuskan nafasnya dan masuk ke dalam. Ia tak menyangka bahwa Dera akan menunggunya sampai kurang tidur seperti itu. Lagi pula, bukan salah Zen juga, sebab ia dan Dera tak memiliki janji untuk bertemu, hanya Dera-lah yang memutuskannya sendiri, dan Zen pun memiliki keputusannya.     

Dibuangnya jauh-jauh pikiran tentang Dera, ia lebiu fokus pada Daisy sekarang. Perkembangan karakter Daisy semakin meluluh di setiap hal usaha yang Zen lakukan untuknya. Hanya memang Daisy memiliki sisi yang sedikit abai dengan keadaan sekitarnya.     

Ponsel Zen berdering. Ia melihat nama Daisy di sana. Untuk kali pertamanya, Daisy menghubunginya. Membuat Zen mengulum senyumnya.     

"Ya, Sayang?" Zen menyapa, sekaligus menggoda Daisy sedikit.     

"Heh! Apaan sih, manggil-manggil sayang? Aneh!"     

"Memangnya kenapa? Kamu kan, milikku. Jadi, jangan melawan. Ada apa, Daisy?"     

"Nanti aku mau makan-makan sama beberapa temanku. Jadi kamu nggak perlu jemput aku, ya?"     

"Pergi dengan siapa kamu? Ke mana?" tanya Zen cepat.     

"Teman kampus. Beberapa aja. Aku jarang punya acara sama mereka, jadi aku mau menghabiskan waktu kuliahku senggaknya sama mereka. Di mal. Oke?"     

"Aku antar. Aku tungguin. Nggak masalah aku nggak gabung, yang penting aku antar. Jam berapa?"     

Daisy menghela nafasnya kesal. Percuma dirinya meminta izin. Bahkan tidak izin pun pasti serba salah baginya. Lagipula, ia tak bisa membantah atau menolak setiap ucapan Zen. Sampai akhirnya ia tak punya pilihan selain menurut dan menjawab segala pertanyaan Zen.     

Setelah menutup panggilan dari Daisy, Zen baru menghidupkan penyadap suara Daisy. Ia memang belum mengaktifkannya tadi, dan sekarang ia bisa mendengar jelas tanpa bertanya lagi pada Daisy.     

***     

"Ada yang mau bareng gue? Gue di antar cowok gue, nih," tawar Daisy pada beberapa teman wanitanya. Ama sudah termasuk ikut bersama Daisy. Tapi Daisy hanya menawarkan dua orang lagi.     

"Gue deh," ujar Atin.     

"Gue juga," timpal Cici.     

Daisy hanya mengangguk dan mengiyakan. Tinggal berangkat saja dan menikmati kebersamaan nanti bersama beberapa yang ikut.     

Saat di mal, Daisy berpisah dengan Zen. Sebab Zen sudah mengatakan bahwa ia tidak akan ikut untuk menimbrung atau mengganggu. Hanya akan memantau. Setelah itu mereka menuju kedai makan di mal yang mana makanan korea dengan bertuliskan 'all you can eat'.     

Sembari menunggu pesanan tiba, mereka pun mengambil foto bersama dengan senyum dan tawa ria.     

"Sorry, gue telat. Masih bisa gabung, kan?" Suara yang tak asing di telinga Daisy, membuatnya menoleh. Ya, siapa lagi kalau bukan Reza? Mendadak sekarang Reza menjadi sosok yang di tunggu-tunggu teman-temannya dengan julukan King of Ex-Boyfriend yang Daisy sendiri sudah tahu maksudnya.     

"Lah, kan kita juga nunggu lo. Tenang, udah kita pesanin, kok. Duduk, deh!" ujar Riko, salah satu teman dekatnya.     

King of Ex-Boyfriend. Menurut Daisy itu terlalu berlebihan. Kenapa harus menamainya seperti itu? Ya karena memang dulu Daisy dan Reza menjadi salah satu the best couple di kampus mereka. Walau bersembunyi dari orang tua Daisy, tapi mereka terkenal di kalangan kampus. Lalu, ketika mereka harus putus, Reza dijuluki seperti itu lantaran sisinya yang mirip seperti Raja yang demokratis... terhadap mantan kekasihnya, Daisy.     

Daisy menyembul poni miringnya memikirkan apa yang sudah terjadi. Teman-temannya seolah selalu menyudutkannya. Mencoba untuk menggali lubang masa lalu dan menjadikannya agar jatuh ke sana lagi. Yah, walau memang Daisy salah, tapi bukan berarti mereka harus bersikap seperti itu, terlebih Reza. Seharusnya ia membuat mereka semua berhenti.     

***     

Pulang-pulang, wajah Daisy merengut. Bibirnya mencebik. Zen hanya diam dan menahan senyumnya. Ia tahu bahwa Daisy kesal pada Reza, tapi selama Reza tidak membuatnya sakit dan terluka, bukan masalah untuk Zen.     

"Nggak usah merengut gitu, Daisy. Dia udah jadi mantanmu, buat apa nyusahin diri karena dia?" ujar Zen membuka suara.     

"Aku jadi benci dia. Padahal nggak seharusnya seperti itu, kan? Harusnya wajar aja, tapi dia yang buat aku benci."     

"Tapi baguslah kalau kamu sampai membencinya," timpal Zen.     

Daisy langsung menolehnya. "Kenapa? Kamu mendukung seseorang untuk membenci seseorang juga?"     

"Lebih tepatnya aku mendukung calon istriku membenci mantannya dari pada harus saling sayang-sayangan lagi," koreksi Zen.     

"Sama aja, Zen!"     

"Beda. Seseorang dan calon istri juga mantan kekasih calon istri, di mana letak samanya? Kamu kuliah bahasa, harus paham dong sama perbedaan kata itu," ucap Zen merasa menang.     

Daisy hanya diam dan tak ingin membalas ucapan Zen. Memang di matanya, ia selalu salah dalam hal apa pun.     

"Dari pada gitu, aku mau bawa kamu ke suatu tempat. Aku yakin kamu pasti senang," ujar Zen.     

"Yah, ucapanmu pasti nggak bisa aku ragukan lagi," balas Daisy mengedikkan bahunya.     

Tak lama, wajah mungil dan mempesona itu tersenyum melihat Zen memarkirkan mobiknya di kedai cokelat. Jendela kaca yang dialiri cokelat membuat hatinya merasa tenang. Lagi-lagi Daisy tidak bisa meragukan apa yang Zen berikan padanya.     

"Ayo masuk dan pesan yang kamu mau," ajak Zen turun.     

Tidak banyak yang mereka pesan karena tahu sesuatu yang berlebihan akan mengakibatkan keburukan. Apalagi sesuatu itu manis, tentunya keduanya paham apa yang akan terjadi jika memesan banyak menu cokelat.     

"Suka?" tanya Zen datar.     

Daisy hanya berdeham. Ia cukup enggan mengatakan 'ya', sementara sejak awal ia selalu ragu akan Zen.     

"Memang orang sepertiku pantas diragukan, Daisy. Tapi aku nggak masalah, karena aku sendiri bakal buktiin lewat tindakan."     

Seperti di skak mati, Daisy diam. Zen memang sudah tahu apa yang Daisy pikirkan. Tapi sekali pun Zen tidak pernah menampakkan wajah ketakutan akan pembuktiannya.     

"Kamu memang orang yang keras kepala, ya," ujar Daisy.     

"Laki-laki harus memiliki sifat itu. Senggaknya demi hal yang baik, bukan begitu?"     

Kali ini Daisy benar-benar setuju dengan ucapan Zen. Tanpa membantah, tanpa menolak.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.