BOSSY BOSS

Chapter 21



Chapter 21

0Rasanya aneh melihat Daisy setenang ini. Apalagi ia benar-benar diam seperti yang Zen selalu perhatikan. Biasanya Daisy lebih aktif dan bersemangat dengan yang namanya belanja. Tapi sekarang, ia hanya diam. Mengambil beberapa keperluan yang habis tanpa kata-kata. Zen cukup penasaran walau ia tahu ia harus menunggu waktu yang menjawabnya. Sebenarnya, apa yang ia lewatkan semalam penuh ini? Karena memang sejak bermalam di rumahnya sendiri, Daisy benar-benar berubah.     

"Oke, aku rasa belanjanya sudah," ujar Zen yang serta merta mengambil alih troli belanjaan.     

"Eh... ada beberapa yang-"     

"Kita biss belanja kapan-kapan lagi," putus Zen. Ia menyuruh Daisy untuk lebih dulu jalan ke kasir, sementara Zen mengikutinya dari belakang dengan troli.     

Setelah sampai apartemen, Daisy berinisiatif untuk menaruh barang belanjaan ke tempat khusus. Namun Zen menyuruhnya untuk duduk saja di sofa bersamanya.     

Entah benar atau tidak, tapi Zen tidak bisa didiami Daisy seperti saat ini. "Ayo, katakan," ujar Zen.     

"Katakan apa?"     

"Katakan yang aku lewatkan semalam ini. Aku tahu kamu bertemu seseorang, Daisy. Aku cuma ingin kamu jujur padaku," katanya. Zen sendiri tidak paham apakah teknik ini berhasil pada Daisy atau tidak. Ia hanya pernah membaca sesuatu, jika seseorang mendiamkanmu setelah semalam atau beberapa hari tak bertemu denganmu, dan kamu menemukannya diam seribu bahasa secara mendadak, maka tanyakanlah apa yang terjadi dan mengatakan bahwa kamu tahu ia bertemu seseorang di belakangmu, kelak jawaban akan kamu dapatkan. Begitulah yang Zen baca. Padahal Zen sama sekali tidak tahu apakah Daisy bertemu dengan seseorang atau tidak.     

"Apa... kamu sendiri jujur padaku, Zen?" tanya Daisy sebelum menjawabnya.     

Kali ini Zen sendiri yang merasa dibodohi. Seperti disiram minyak panas, rasanya kesadarannya muncul.     

"Apa yang dia bilang padamu?" tanya Zen dengan kesal.     

"Kamu tahu, tapi kamu bertanya. Kenapa nggak lebih dulu kamu cerita ke aku? Rahasiamu?"     

Wajah Zen memerah. Bukan karena tersipu malu, tapi ia marah. Dua tangannya terkepal. Entah apa maksud Daisy, tapi ia penasaran dengan orang yang ia pancing sedari tadi.     

"Katakan. Maksudmu. Daisy." Suara Zen benar-benae mendominasinya saat ini. Di setiap katanya ada penekanan ketegasan. Hal itu cukup membuat Daisy menciut dan enggan untuk melanjutkan. Hati kecilnya benar-benar rapuh di saat Zen membentaknya.     

BRAKKK!!!     

Meja di hadapan mereka, yang menjadi pemisah antara Zen dan Daisy ia gebrak dengan tangan Zen yang besar itu. Membuat Tino, salah satu anak buahnya masuk ke dalam apartemen, untuk melihat apa yang terjadi.     

Daisy terlonjak kaget dan mulai berkaca-kaca. Ia merasa salah karena memancing emosi Zen. Padahal Daisy tahu betapa sensitifnya Zen terhadap hal yang buruk.     

Tanpa kata-kata, Zen masuk ke dalam kamarnya. Menutup pintu kamarnya dengan kasar hingga Daisy tersentak dan mulai menangis. Tapi di satu sisi Daisy sedikit lega karena setidaknya ia melihat bagaimana Zen susah payah mengontrol emosinya.     

"Nona, Anda nggak apa-apa?" tanya Tino.     

"Ya... saya, nggak apa-apa. Saya... permisi ke kamar," jawab Daisy yang juga masuk ke dalam kamar dengan tangisan.     

***     

Zen terbangun di pukul tiga pagi. Sangat jarang sekali ia terbangun di waktu itu. Ia pun memutuskan untuk mengambil minum karena tenggorokannya terasa kering. Namun hal yang membuatnya terkecoh adalah ketika melihat kamar Daisy terbuka. Zen pun segera memerika kamar Daisy.     

Kekhawatirannya muncul saat ia tidak melihat Daisy di dalam. Ia pun lantas berbalik dan terkejut ketika ternyata Daisy sedari tadi di belakangnya. Wajahnya datar dengan ekspresi mengantuk.     

"Aku... haus, jadi aku ambil minum," ujar Daisy kemudian.     

Di raihnya gelas Daisy dan ia campakkan begitu saja. Untungnya gelas itu gelas plastik. Tapi tetap saja, Daisy terkejut karena melihat ekspresi Zen saat ini.     

"Zen..." Daisy mundur saat Zen mendekatinya. Sampai akhirnya tubuhnya terkunci oleh dinding di belakangnya. Kedua tangan Zen pun semakin mengunci pergerakannya.     

Nafas Zen memburu. Ia begitu ingin sekali berada di dalam tubuh Daisy. Sesering mungkin. Membayangkannya saja sudah membuatnya menjadi gila. Apalagi setiap hari mereka bertemu. Tentu pikiran Zen tak tenang. Menatap pesona Daisy, kecantikannya, serta fisik yang juga serta merta mendukung.     

"Daisy... aku..." Kata-katanya tercekat. Ia ingin sekali bercinta pada Daisy. Butuh keberanian untuk meminta izinnya. Ia bisa saja menerjang Daisy, apalagi ketika gerakan Daisy seolah juga menginginkannya.     

Keegoisan membanjir pikiran Zen. Ia pun langsung melumat bibir Daisy. Tidak peduli sekeras apa Daisy berusaha melepaskan dirinya dari Zen. Namun pada akhirnya Daisy membalasnya. Perasaannya semakin dilema. Antara merasa dibohongi dan juga menginginkan Zen.     

Dengan lihai, Zen melepas gaun tidur Daisy. Merobeknya paksa dan membawa Daisy menuju kamarnya. Serangan ciuman Zen ke setiap jengkal tubuh Daisy berhasil membawa Daisy menuju kenikmatan yang belum pernah ia rasakan.     

Desahan Daisy membuat Zen semakin gila. Kini keduanya sama-sama tanpa sehelai benang. Ditatapnya mata Daisy yang sendu, dengan anggukan kecil, Daisy mengizinkannya.     

Akhirnya Zen bisa merasakan kenikmatan pada tubuh Daisy. Ia bergerak pelan, menyesuaikan cengkraman Daisy, lalu beberapa saat kemudian Zen mempercepatnya. Ia mendengar Daisy memohon dengan sangat.     

"Zen... aku-"     

"Aku tahu... sebentar lagi, aku juga!" Zen mengerang hingga keduanya benar-benar berada di puncak tertinggi.     

***     

Nyeri yang Daisy rasakan saat terbangun tidak bisa ia bohongi. Ia tidak terkejut sama sekali dengan paginya ketika ia bangun. Ia tahu semalam ia dan Zen bercinta. Bahkan Daisy sendiri menginginkannya.     

"Aw!" Mendadak Daisy mengerang hingga membangunkan Zen yang masih tertidur di sampingnya.     

"Daisy, kamu nggak apa-apa?" tanya Zen cepat.     

"Sakit..." rintih Daisy kemudian.     

Zen pun membantu Daisy menuju toilet. Membiarkannya membersihkan diri sementara dirinya kebingungan sendiri tentang apa yang harus ia lakukan.     

Bagi Zen, ini adalah pertama kalinya. Memerawani seorang wanita di atas ranjangnya sendiri. Parahnya lagi, Zen tidak memakai pengaman. Tapi apa pun hasilnya nanti, Zen tentu akan tanggung jawab. Ia tidak ingin seperti dirinya dan Kanya di masa lalu.     

Sambil menunggu Daisy, Zen pun membuat sarapan instan. Hanya sandwich-lah andalan menu sarapannya. Kali ini ia berhadap mood Daisy baik-baik saja.     

"Ayo, sarapan," ujar Zen.     

"Ok-oke," balas Daisy kaku.     

"Kamu nggak perlu sekaku itu, Daisy. Apa ada yang kamu takuti?"     

Daisy ragu-ragu menatap Zen. Melihat Zen membuatnya teringat akan kebohongan Zen. Tapi sebisa mungkin Daisy menepisnya. Mengatakan pada dirinya bahwa mungkin Zen memiliki alasan lain. Karena Daisy tidak ingin langsung percaya begitu saja pada Devan.     

"Apa... kamu akan... bertanggungjawab?" tanya Daisy. Rasanya agak konyol menanyakan pertanyaan itu sementara ia sendiri jelas melihat usaha Zen untuknya selama ini.     

"Setelah semua yang kulakukan sejauh ini? Bagaimana bisa aku nggak bertanggung jawab, Daisy?"     

Hati Daisy terenyuh mendengar ucapan Zen. Ia cukup yakin dengan Zen. Sekali pun ada kebohongan yang Zen sendiri tidak cerita kepadanya, tapi Daisy tahu, Zen benar-benar serius.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.