BOSSY BOSS

Chapter 23



Chapter 23

0Di siang hari yang terik, panas dan membakar kulit. Ponsel Zen berdering. Diliriknya nama yang tertera di layarnya, Papanya sendiri meneleponnya. Alisnya bertaut karena tak biasanya Gerald menghubunginya.     

Saat sudah sampai di muka kantor, Zen pun menjawab panggilan daei Gerald. Seketika tangannya mengepal dan wajahnya menunjukkan keseriusan mendengar Gerald berbicara dari seberang. Para karyawan yang menyapanya ia abaikan lantaran fokus terhadap hal yang Gerald katakan.     

"Dia bilang begitu?" tanya Zen dengan murka.     

"Papa hanya bisa mengatakan, lebih baik kamu mempercepat pernikahanmu," nasihat Gerald.     

"Memangnya kalau saya mempercepat, apa dia bisa berhenti? Nggak, Pa. Biarkan dia melakukan hal yang dipikirnya mudah. Saya tahu apa yang harus saya perbuat juga ke depannya. Dan terima kasih untuk infonya."     

"Ya sudah, kamu yang tahu apa yang harus kamu lakukan. Papa tutup teleponnya."     

Setelah berbicara dengan Gerald, Zen masih muram. Wajahnya benar-benar murka dan ia langsung menyalakan penyadap suara Daisy. Setidaknya sejauh ini hanya itu yang bisa dia lakukan, selain menyuruh anak buahnya untuk menjaga Daisy.     

Kecemasan yang dimiliki Zen tak lantas pudar usai info yang diberikan Gerald. Ia lebih banyak diam dari pada bekerja, walau pun pekerjaannya menjadi pemilik kantor tak mengharuskannya untuk bekerja, tapi tetap Zen harus profesional.     

Wajah cemasnya hilang seketika ketika Zen melihat Daisy ada di hadapannya. Melihatnya membuatnya tenang. Sebab yang ada di hadapannya adalah calon istrinya yang ia cintai. Tapi Zen tidak tahu mengapa Daisy ke sini dan bahkan Zen tak mendengar apa pun dari penyadap suaranya.     

"Ada apa, Daisy?" tanya Zen kemudian.     

"Aku bosan... nggak apa-apa kan, kalau aku ke sini?"     

Zen menatap penampilan sederhana Daisy yang mengenakan gaun kasual zaman dulu. "Iya, nggak apa-apa. Sebentar lagi aku juga selesai, kita bisa pergi ke tempat yang kamu mau."     

"Hmm... kalau boleh, apa aku bisa ketemuan sama Ama?" tany Daisy ragu-ragu.     

Mendengar itu membuat Zen sedikit cemas. Ia memang tidak bisa selalu mengurung Daisy terus menerus. Tapi ia juga tidak ingin nantinya Devan memanfaatkan rencana.     

"Kamu bisa aku percaya nggak? Kalau ketemu Devan, tolong langsung kasih tahu aku. Oh, nggak... aku akan suruh Tino jadi pengawalmu," ujar Zen tegas.     

Daisy hanya diam tapi ia mengangguk penuh, terserah dengan apa yang diinginkan Zen. "Terserah kamu, aku cuma butuh sedikit lebih berbeda yaitu sama temanku."     

Zen mengangguk penuh dan menghubungi Tino agar mengikuti ke mana pun Daisy ingin pergi, sekaligus memberi laporan padanya.     

"Ingat ya, Daisy... jangan-"     

"Jangan macam-macam karena kamu bisa tahu apa pun yang aku lakukan? Oke. Aku cuma mau ketemu Ama, kok," sambung Daisy menghapali dialog yang sering Zen katakan.     

***     

Esoknya Zen menetap di apartemen. Ia tidak ke kantornya dan ingin berada di sisi Daisy. Kemarin juga semua baik-baik saja, tidak ada laporan yang tidak enak. Artinya Devan tidak sedang berada di sekitar Daisy. Tapi Zen juga tidak akan tinggal diam begitu saja jika Devan nekat menemui Daisy.     

"Kamu mau nggak ke rumahku? Aku mau antar bahan-bahan pokok buat Ibu," tanya Daisy pada Zen.     

"Oke. Aku siap-siap dulu."     

Tidak butuh waktu lama untuk bersiap diri, mereka pun sudah berada di dalam mobil dan akan menuju rumah Weiske. Namun rupanya Zen ketinggalan ponselnya yang harus ia ambil dulu. Mau tidak mau ia pun harus meninggalkan Daisy sebentra di mobilnya.     

Setelah mengambil ponselnya dan kembali ke dalam mobil, untunglah Daisy masih di dalam. Zen sudah cukup cemas lebih dulu, takut jika Daisy tidak ada di dalam mobilnya.     

Sayangnya ketika akan berjalan, lagi-lagi ada halangan di depan mata. Zen tidak menyangka kalau Kanya ada di hadapannya. Zen menoleh ke arah Daisy yang bertanya siapa wanita di hadapan mereka itu. Tapi Zen langsung turun dan menghadap Daisy.     

"Kanya... ada apa ini? Kenapa tiba-tiba muncul?" tanya Zen pelan namun dengan nada penekanan.     

"Aku cuma ingin memberi undangan ini, dan-"     

Tiba-tiba Kanya melihat Daisy yang terpaku di sana mendengarkan mereka. Refleks, Zen pun ikut menoleh.     

"Hai, kamu pasti Daisy, aku Kanya... mantan kekasih Zen," kata Kanya memperkenalkan diri.     

Zen memejamkan matanya kesal. Menyebutkan gelar mantan kekasih di depan Daisy adalah ide terburuk. Tapi nasi sudah menjadi bubur. Zen pun segera meraih undangan itu dan ke arah Daisy agar masuk ke dalam mobilnya lagi.     

Sekilas Daisy hanya tersenyum mengangguk, walau hati dan pikirannya merasa janggal.     

"Lain kali, jangan datang seperti ini!" kata Zen memberitahu.     

"Oh... jadi Daisy belum tahu tentang aku? Maaf, aku nggak bermaksud-" Belum sampai selesai bicara, Zen sudah meninggalkan Kanya dan keluar dari apartemennya.     

Tidak ada yang tahu diamnya Daisy. Setelah bertemu Kanya, tentunya Daisy ingin bertanya pada Zen, tapi Daisy pikir akan lebih rumit dan menimbulkan pertengkaran nantinya.     

"Tadi itu-"     

"Nggak usah dijelaskan kalau belum siap, Zen. Dia mantanmu, aku tahu. Tapi dibalik kata mantan itu apa, itu baru aku nggak tahu," potong Daisy tanpa menoleh ke arah Zen.     

Belum apa-apa, mata Daisy sudah berkaca-kaca. Ia teringat kembali akan rahasia Zen yang memiliki anak dari mantan kekasihnya. Ia berpikir bahwa wanita tadi adalah yang dimaksud. Mendadak hati Daisy merasa sakit.     

"Aku mencoba menjelaskan, Daisy. Kamu nggak mau mendengarkan sedikit pun?"     

Daisy menggeleng. Ia sedikit tidak percaya dengan penjelasan Zen nantinya. Penjelasan apa yang terlihat jujur di saat dalam perjalanan di mobil seperti ini?     

"Turunin aku bisa? Biarin aku ke rumah Ibu sendiri. Kamu nggak perlu ikut," pinta Daisy menahan isaknya.     

"Nggak, Daisy-"     

"Atau aku lompat paksa dari mobil," ancam Daisy yang mulai memegang pembuka pintu.     

Zen mengumpat kesal dan akhirnya ia menepi. Daisy langsung keluar membawa bungkusan untuk Weiske, sementara Zen ikut turun dan bergerak cepat.     

"Ayo, masuk! Aku bakal ceritain semua saat di rumahmu nanti," perintah Zen.     

"Nggak. Aku lagi nggak mau dengarin apa pun dari kamu. Kamu simpan dulu sampai kamu nggak emosi seperti ini," kata Daisy dengan rambut yang berderai-derai.     

"Daisy-" Belum sempat ucapan Zen selesai, tiba-tiba sebuah mobil berhenti di hadapan mereka.     

Pintu kaca mobil itu terbuka otomatis, menampakkan wajah Devan yang menengok ke arah Daisy dan Zen. Ia pun langsung turun dan menuju mereka.     

"Devan, kamu bisa antar aku ke rumah Ibuku?" tanya Daisy tanpa perasaan ragu. Zen mengepalkan kedua tangannya menatap Devan, ia memberikan kode pada Devan agar menolak tawaran Daisy. Namun sayangnya Devan mengabaikannya dengan senyuman penuh arti.     

"Bisa, Daisy. Ayo, biar aku antar," sahut Devan lalu membuka pintu penumpang untuk Daisy.     

Sejenak Daisy menatap Zen. Air matanya sudah terjatuh, dan Daisy meninggalkan Zen menuju mobil Devan. Sementara itu, Zen hanya diam dan mengumpat makian ketika mobil Devan sudah menjauh darinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.