BOSSY BOSS

Chapter 24



Chapter 24

0Emosi yang dimikinya nyatanya belum bisa hilang juga. Sekeras ia menahannya, nyatanya ekspresi buruk lainnya muncul begitu saja.     
0

Zen menyuruh Tino mengikuti ke mana pun Devan pergi. Sebab Devan bersama Daisy, tentu Zen tidak akan membiarkan Daisy lepas begitu saja. Sementara Zen sendiri butuh pelmapiasan. Club dan alkohol.     

Keramaian clubbing dengan suara musik yang membahana sedikit membuat Zen tersentak karena ia cukup lama tidak berkunjung ke club. Entah apa yang dipikirkan Daisy nanti, Zen tidak ingin tahu. Sekarang dirinya masih terbalut emosi.     

Dito, menemani Zen. Zen memang menghubunginya untuk menemaninya karena tidak mungkin Zen seorang diri di club nantinya ketika ia sudah sangat mabuk. Tapi Dito juga melarang Zen keras untuk berhenti atau mengurangi alkohol.     

Seakan waktu berjalan begitu cepat, Zen sudah dikuasi alkohol. Ia benar-benar hampir tak sadarkan diri. Mulutnya terus berbicara san menyebut-nyebut nama Daisy. Dito yang mendengarkan itu sudah merasakan bahwa sahabatnya itu memang ada masalah dengan wanitanya. Maka dari itu, Dito pun menghubungi Daisy.     

Setelah menghubungi Daisy, Dito pun segera membawa Zen kembali ke apartemennya dengan susah payah. Setidaknya Daisy memang sudah pulang ke apartemen sebelum ia menghubunginya.     

"Aduh, Mas Dito, maaf ya... merepotkan kamu," ujar Daisy agak kesal melihat Zen.     

"It's okay. Untung aku di samping, kalau nggak mungkin wanita malam di sama udah di ranjang sama dia." Sedikit tercekat nafas Daisy mendengar itu. Ia tahu memang dari awal ia yang salah. Menyebabkan Zen marah hingga melampiaskan kekesalannya di clubbing.     

"Kamu urus dia, ya. Aku harus kembali juga. Dan next time, kalau ada masalah lebih baik selesaikan baik-baik, Daisy," nasihat Dito.     

Daisy menganggukan kepalanya dan membiarkan Dito pergi setelah ia berterima kasih padanya.     

Sekarang Daisy hanya memandang Zen. Ia bingung harus melakukan apa dulu karena ini kedua kalinya Zen mabuk berat. Dan tentu saja semua berkat Dito yang selalu di sisinya.     

"Kenapa sih, kamu harus mabuk?" tanya Daisy seraya melepaskan sepatu dan kaus kaki Zen.     

"Kalau kayak gini, siapa yang khawatir? Siapa yang merawat kamu? Kalau nggak ada aku, gimana?" Daisy mengembuskan nafasnya kesal. Setelah ia mengurus Zen, barulah ia bergerak menuju kamarnya untuk tidur. Diliriknya Zen yang sampai saat ini tertidur tanpa terbangun, lalu menutup pintu kamar Zen setelah mengucap kata selamat malam.     

***     

Seperti biasa, Daisy bangun lebih awal. Ia berniat berolahraga di balkon dengan iringan video daring yang ia selalu lihat di ponselnya. Daisy butuh kesehatannya terjaga benar karena tinggal bersama Zen sangat menguras pikirannya.     

Namun rupanya suara dari video daring itu membuat Zen terbangun juga. Sejenak Zen hanya memandangnya sampai Daisy sadar bahwa Zen memperhatikannya entah sejak kapan.     

"Aku bikin air jahe. Ada di meja makan, minumlah," ujar Daisy tanpa menatap Zen. Sejujurnya Daisy tidak ingin menegurnya kalau bukan karena Zen mabuk. Ia belum siap juga untuk melanjutkan pertengkaran kemarin.     

Bukannya mengarah ke meja makan, Zen meraih ponsel Daisy dan mematikan video tersebut. Daisy mengatur ritme nafasnya, berusaha menahan emosi.     

"Apa yang kamu dan Devan lakukan saat nggak bersamaku?" tanya Zen mengintimidasi.     

"Kamu kan, suruh Tino mgikutin aku. Kenapa nggak tanya dia aja?" tanya Daisy balik mengabaikannya.     

Pergelangan tangan Daisy dikunci Zen. Membuatnya harus berhadapan Zen dengan wajah tampan yang luar biasa. Jantungnya berdetak cepat saat jaraknya dan Daisy sangat begitu dekat.     

"Apa yang kamu lakukan bersamanya?" tanya Zen lagi.     

"Nggak ada. Dia cuma anter aku ke rumah Ibu, lalu sorenya dia mengantar aku balik ke sini," jawab Daisy menyerah.     

"Alasan apa yang buat kamu balik lagi?"     

Sejenak Daisy diam. Ia tidak tahu apa yang membuatnya kembali. Semuanya hanya refleks begitu saja. Diamnya sampai Zen memperhatikannya begitu seksama. Membuatnya bingung harus menjawab apa.     

"Daisy?" panggil Zen membuyarkan diamnya.     

"Aku... nggak tahu. Biar aku siapin makan, kamu sebaiknya membersihkan diri," jawab Daisy kaku lalu melepaskan diri dari Zen.     

"Devan adalah orang ketiga dalam hubunganku bersama Kanya, wanita yang kemarin kamu temui, mantan kekasihku," kata Zen mulai membuka sedikit rahasianya. Daisy hanya diam namun tak berbalik menghadapnya.     

"Aku nggak bisa membiarkan Devan berulah lagi pada hubunganku yang sekarang. Sampai kapan pun aku nggak akan membiarkannya. Itulah kenapa aku membencinya," jelasnya lagi.     

Daisy menahan bibirnya untuk bertanya lebih jauh. Bagian di mana Zen memiliki anak tidak dijelaskan. Padahal, itu juga merupakan hal yang penting bagi Daisy.     

"Dan seperti yang kamu lihat kemarin, undangan dari Kanya adalah undangan pernikahannya dengan cowok pilihannya."     

Semua masih gamblang. Devan mungkin orang ketiga dalam hubungan Zen dan Kanya, tapi putusnya mereka saja Zen tidak memberitahu. Entah bagian mana yang menjelaskan semuanya, bagi Daisy sekarang semua tidak penting.     

Hanya itu yang Daisy dengarkan tanpa respons yang ia berikan pada Zen. Ia lalu meninggalkan Zen ke dapur untuk menyiapkan makanan baginya.     

Hal-hal yang Zen sembunyikan rupanya perlahan membuatnya stres. Daisy pernah merasakan ini, dan biasanya perutnya akan menimbulkan reaksi. Kram dan mules. Dan saat ini, sedikit demi sedikit rasa itu muncul lagi.     

Sebisa mungkin Daisy menahan gejolak stresnya. Tidak ia perlihatkan pada Zen. Namun rupanya nasib buruk memang sedang menimpanya, Daisy terjatuh di dapur. Piring kosong yang ia bawa pecah hingga menimbulkan suara yang membuat Zen lantas menilik ke arah dapur.     

"Daisy!" pekik Zen yang mulai meraih tubuh Daisy yang sudah lemas. Tanpa banyak kata, Zen langsung membopong Daisy ke mobil dan membawanya ke rumah sakit.     

Zen khawatir, saking khawatirnya, ia belum siap menghubungi orang tuanya mau pun Weiske. Ia membiarkannya dulu hingga Daisy benar-benar sadar. Melihatnya terkapar lemas tak berdaya di ranjang rumah sakit rupanya membuatnya begitu merasakan sakit.     

Apalagi ketika dokter mengatakan bahwa Daisy mengalami gejala stres yang berlebihan, ditambah ternyata selama ini Daisy sedang hamil yang sudah berjalan dua minggu.     

Entah perasaan mana yang harus Zen rasakan, ia benar-benar tidak bisa begitu senang dengan sakitnya Daisy, tapi juga merasa ada kesenangan saat tahu Daisy hamil. Artinya, Zen harus segera menikahinya.     

"Lebih baik jangan membuatnya begitu stres, Pak Zen. Saya rasa Bu Daisy terlalu banyak menahan emosionalnya," nasihat dokter Erwin.     

Zen hanya mengangguk penuh dan dokter Erwin pergi meninggalkan kamar rawat Daisy.     

Direngkuhnya tangan Daisy yang tidak dipasang infus, bahkan sesekali Zen mengecup tangannya. Ia tak membiarkan matanya lepas dari Daisy. Zen ingin melihat Daisy sadar di hadapannya.     

Tiba-tiba tangan Daisy bergerak, matanya mengerjap perlahan dan Zen bereaksi bahagia bercampur sedih. Ia menunggu hingga Daisy benar-benar bisa melihatnya.     

"Zen?" tanya Daisy menatapnya bingung.     

"Kamu di rumah sakit. Istirahatlah dulu, Daisy."     

"A-aku kenapa?"     

"Sakit. Kamu mau minum?"     

Daisy mengangguk dan Zen meraih air mineral yang tersedia di meja sebelah Daisy. Zen sengaja tidak memberitahukan perihal kehamilan Daisy. Setidaknya tidak sekarang, tapi menunggu Daisy benar-benar pulih.     

"Maaf, aku pasti nyusahin kamu," ujar Daisy.     

Zen tercengang. Bagaimana pun di saat seperti ini, Daisy meminta maaf? Padahal ini bukan salahnya. Seseorang sakit bahkan tanpa di minta. Sangat jahat sekali jika Zen memperlakukannya dengan kasar.     

"Kamu nggak salah. Nggak perlu minta maaf. Aku yang seharusnya minta maaf karena membuatmu sakit, Daisy. Maafin aku..."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.