BOSSY BOSS

Chapter 30



Chapter 30

0Beberapa bulan setelah pernikahan mereka, Zen merasa perut Daisy tidak berkembang seperti Ibu-Ibu hamil pada umumnya. Ia berniat membawa Daisy ke rumah sakit untuk memeriksanya. Namun sebelum memeriksa, Zen harus bertanya dulu pada Daisy. Apakah ia merasakan hal yang sama atau tidak.     

Saat Zen akan masuk ke kamar, ia melihat Daisu sedang berkaca. Memandang perut telanjangnya dan mengelusnya. Pandangannya mengerut dan Daisy menangkap setengah tubuh Zen yang mengintipnya.     

"Masuklah," ujar Daisy.     

"Apa kamu merasakannya juga?" tanya Zen.     

"Merasakan apa?"     

"Perutmu nggak membesar?"     

Daisy mengangguk ragu dan ia tetap mamandang perutnya. "Apa sebaiknya kita ke dokter?"     

"Ayo, siap-siap!" Zen langsung meraih kunci mobilnya sebelum Daisy mengajukan pertanyaan itu. Ia sangat sigap dan memikirkan hal-hal negatif yang ada di benaknya.     

Sementara itu, Daisy sibuk dengan pikirannya sendiri. Ia memang tidak merasakan gerakan. Atau hal-hal berbau kehamilannya. Yang ia rasakan hanya merasa lemas terus menerus. Aneh, pikirnya. Semua sibuk menyendiri dengan pikiran masing-masing sampai mobil berhenti di parkiran rumah sakit, Daisy pun menoleh pada Zen.     

"Ba-bagaimana kalau bayi kita ternyata meninggal di dalam?" tanya Daisy bergetar.     

"Sssttt... Daisy, sebentar lagi kita akan tahu jawabannya. Jangan berspekulasi yang macam-macam, oke?" Daisy mengangguk pasrah walau pun instingnya menuju ke arah sana.     

Saat tiba giliran mereka dipanggil, jantung Daisy berdetak lebih cepat. Tibalah saatnya perut Daisy harus di USG. Dokter Erwin mengerutkan keningnya ketika ia menatap layar di hadapannya. Sesekali ia melirik Zen dan Daisy bergantian hingga akhirnya mereka pindah duduk di meja hadapan dokter Erwin.     

"Bagaimana, dokter?" tanya Daisy tak sabar.     

Terlihat dokter Erwin menghela nafasnya. "Maaf sebelumnya Bu Daisy, Pak Zen... janin yang ada dalam perut Anda tidak berkembang. Artinya, Anda keguguran," jelas dokter Erwin dengan suara paraunya.     

Tanpa respons apa pun, tiba-tiba Daisy pingsan di bahu Zen. Zen langsung sigap membawa Daisy ke ruang IGD sesuai anjuran dokter Erwin. Pun begitu dokter Erwin tetap menangani Daisy dan menunda jadwal pertemuannya satu jam mendatang dengan para pasien lainnya.     

Setelah memastikan Daisy baik-baik saja, dokter Erwin berbicara pada Zen dengan serius. "Ini di mulai sejak kehamilannya melemah, Pak Zen. Saya sudah tidak yakin dengan kondisi Bu Daisy sampai pada hari ini kalian datang ke saya," kata dokter Erwin.     

"Apa yang harus dilakukan, dok kalau gitu?"     

"Kami harus melakukan kuret pada rahimnya. Sebaiknya dilakukan saat ini ketika Bu Daisy pingsan. Bius total pada beliau agar mengurangi efek lemahnya juga."     

Zen tampak memikirkan kata-kata dokter Erwin. Keduanya memandang Daisy secara bersamaan. Zen tahu kesakitan yang Daisy rasakan. Awalnya yang tak diinginkan oleh Daisy dan menjadi sangat ingin melahirkan seorang anak, sampai akhirnya berita buruk ini tersampaikan.     

Sama halnya, Zen merasakan stres. Ia pikir ia bisa mendapatkan anak yang bisa ia besarkan dengan kedua tangannya bersama Daisy lantaran ia tak bisa melakukannya pada Vista. Nyatanya harapan itu menjadi pupus begitu saja.     

"Baiklah, dok. Lakukan yang terbaik untuk Daisy. Saya menyetujuinya untuk melakukannya sekarang," kata Zen tegas dengan anggukan kepalanya.     

"Baik Pak, saya akan menyiapkan beberapa hal dulu, saya permisi."     

"Tunggu, dok. Satu pertanyaan," ucap Zen menghentikan dokter Erwin.     

Dokter Erwin mengangguk menatap Zen. "Silakan, Pak."     

"Apa dengan begitu ia bisa hamil lagi?"     

"Bisa, Pak Zen. Tapi sebaiknya menunggu tiga sampai enam bulan lagi untuk mempersiapkan organ reproduksi secara marang setelah keguguran," jelas dokter Erwin.     

Zen mengangguk paham dan dokter Erwin meninggalkannya untuk menyiapkan segalanya.     

Sembari menunggu proses kuret selesai, Zen menghubungi Neva dan Weiske. Setelah mereka bertemu, tampak kesedihan menyelimuti mereka karena mendengar Daisy keguguran. Terutama Weiske yang sangat terpukul dengan kabar itu. Ia menangis tidak henti-henti.     

"Selesai Pak, Bu Daisy akan dipindahkan ke ruang inap lima belas menit lagi. Saat ini beliau belum sadar. Saya minta tolong untuk siapa pun, menghiburnya nanti. Saya permisi," ujar dokter Erwin yan keluar dari ruangan kuret dan meninggalkan mereka.     

Saat Daisy sudah dipindahkan ke ruang inap, Zen tetap duduk di sisinya. Memegang satu tangan Daisy yang bebas dari infus sementara Neva dan Weiske duduk di sofa yang tersedia dengan pandangan nanar menatap Daisy.     

Beberapa jam setelah kuret, Daisy siuman. Ia tak langsung berbicara namun hanya diam seraya menjatuhkan air mata dari kedua matanya di sudut. Zen mengelus-elus punggung tangan Daisy dan mengecupnya beberapa kali.     

"Mungkin aku terlalu lemah untuk bisa hamil," ujar Daisy di saat dirinya berhenti bergetar dengan tangisan.     

"Sssttt... bukan takdir kita sekarang buat punya anak. Cepat atau lambat kita pasti akan diberikan," kata Zen menghibur.     

***     

Setelah pulang dari rumah sakit, Daisy hanya diam di sofa. Duduk menatap televisi yang tidak menyala. Tubuhnya kurus dan wajahnya terlihat sangat pucat. Apalagi dua kantong matanya menunjukkan warna hitam.     

Zen yang menatap pandangan kesedihan itu, ia pun punya ide untuk membuat suasana hati Daisy kembali damai.     

"Ayo, Daisy. Ikut aku," ajak Zen yang sudah rapi dengan pakaiannya.     

"Mau ke mana?" tanya Daisy lirih.     

"Refreshing. Ayo!" Daisy hanya melirik tangan Zen yang mengambang untuk mengajaknya keluar. Namun Daisy menggelengkan kepalanya dengan lemah.     

"Zen... apa kamu punya kenalan agensi foto model atau semacamnya? Tolong ikutsertakan aku ke dalamnya. Aku... butuh pelepasan stresku," pinta Daisy tiba-tiba.     

Zen hanya diam membatu. Tubuhnya mengeras dan kedua tangannya mengepal. Ia memang memiliki relasi yang cukup signifikan, termasuk agensi foto model. Tapi melihat istrinya menjadi model? Rasanya tidak mungkin.     

"Nggak. Kamu nggak harus jadi model, Daisy. Aku bisa carikan sesuatu yang lain," tolak Zen keras.     

"Aku mohon. Hanya sampai ketika aku merasa stres itu hilang. Aku perlu sesuatu yang sibuk."     

"Dan mengabaikan aku? Nggak!" Zen berkeras menolaknya karena ia lebih takut Daisy mengabaikannya.     

Daisy berdiri dan menatap Zen dengan lembut. Kedua matanya sayu dan terlihat lelah. Tapi kecantikannya tidak pernah hilang. "Aku nggak akan mengabaikan kamu. Please. Kamu bisa menjadwal pemotretan itu nantinya sesuai waktu yang kamu miliki. Jadi, kamu bisa tetap memantau aku," jelas Daisy menghibur kemarahan Zen. Kedua tangan Daisy menyentuh dua pipi Zen, menjalarkan kehangatan yang menyengatnya sampai Zen merasa tenang.     

"Aku butuh waktu untuk berpikir. Tapi di sela itu, aku mohon kamu jaga kesehatan. Buat aku percaya bahwa kamu akan tetap sehat dengan cara apa pun," kata Zen lalu menuju kamar dan menutup pintunya.     

Di kamar, Zen mengutak atik ponselnya dan mencari kontak agensi foto model yang pernah memakainya untuk iklan suatu produk laki-laki.     

Nama Gery tertera di layarnya dan ia pun langsung menghubunginya. Tak lama sambungan itu berhasil hingga suara Gery terdengar.     

"Ada angin apa, Zen?" tanya Gery dengan suara cerianya.     

"Lo lagi butuh model cewek atau nggak?" tanya Zen tanpa hati-hati.     

"Well, kebetulan lagi butuh banget. Kenapa? Lo punya calon?"     

Awalnya Zen ragu, akankah ia benar mengambil langkah? Tapi ia lakukan untuk membuat Daisy tidak stres. Lagipula ia bisa mengikuti saran Daisy tadi.     

"Ada, istri gue. Daisy," jawab Zen parau.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.