BOSSY BOSS

Chapter 31



Chapter 31

1"Lo yakin? Maksud gue serius calon model yang lo maksud ini istri lo sendiri?" tanya Gery tidak percaya.     
0

Zen menganggukkan kepalanya walau Gery tak bisa melihatnya. Sedikit susahnya adalah ketika Zen menelan ludahnya karena tidak mempercayai keinginan Daisy yang ingin menjadi model demi menghilangkan rasa stresnya. Padahal ada banyak cara lain selain menjadi model.     

"Iya, gue serius. Istri gue mau jadi model. Tapi ada syaratnya, Ger," kata Zen."     

"Katakan, Zen. Gue juga nggak mungkin nerima istri lo langsung jadi model begitu aja tanpa persetujuan dari lo."     

"Atur jadwalnya sesuai keinginan gue. Dia bisa jadi model apa pun selama saat pemotretan, gue ada di depan matanya," ujar Zen.     

"Oke. Gue ngerti, Zen. Akan gue buat jadwal pertemuan sama istri lo. Siapa? Lupa gue."     

"Daisy. CV-nya akan gue kirim lewat email."     

"Santai aja, Zen. Nama aja udah cukup, kok."     

"Gery, gue mau profesional. Biar pun lo teman gue, tapi gue nggak mau memanfaatkan relasi kita. Jadi, gue akan tetap kiri, CV-nya. Paham?"     

Gery tertawa mendengar ucapan Zen. "Well, got it, Bro. See you!"     

Zen merenungkan apa yang baru saja ia bicarakan pada Gery. Sebenarnya ia sangat tidak ingin Daisy terlibat dalam pekerjaan yang mengekspos tubuhnya atau wajahnya. Ia hanya ingin Daisy tinggal saja di apartemen, membuat sesuatu atau semacamnya. Tapi Zen tidak bisa memaksanya dalam keadaan berduka seperti ini. Kehilangan janin adalah kehilangan terbesar bagi Daisy dan juga Zen.     

"Aku udah bicara sama temanku yang bekerja di agent dunia pemotretan. Dia akan mengatur jadwal pertemuanmu dengannya," ujar Zen membuka pembicaraan saat ia keluar dari kamarnya.     

"Terima kasih, Zen. Apa kamu mau aku buatkan sesuatu?"     

Zen mengangkat satu alisnya saat mendengar Daisy menawarinya sesuatu untuk dibuatkan. Mood Daisy benar-benar cepat sekali berubah.     

"Ya, kalau kamu nggak keberatan," jawab Zen.     

Daisy berdiri dan mendekat ke arah Zen. Ia melepas dasi Zen dengan gerakan lamban, membuat nafas Zen tercekat karena Daisy tidak pernah melakukan hal ini. Ia hanya memandangnya dengan pandangan tajam.     

"Mandilah, sementara aku buatkan kamu sesuatu. Mulai detik ini, beri aku kesempatan menjadi istri yang baik untukmu, Zen," kata Daisy seraya menyentuh pipi Zen lembut. Sentuhannya benar-benar menggelenyar darah Zen hingga berdesir. Zen yang tidak mau terlihat konyol pun akhirnya bergegas menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.     

Melihat perubahan Daisy yang cepat dan tak terduga membuat Zen kepikiran. Daisy tidak seperti biasanya dan itu membuatnya bertanya-tanya apakah Daisy baik-baik saja atau tidak. Sementara di satu sisi Zen memikirkan untuk memberikan Daisy kebebasan asalkan tetap menjalankan tugasnya sebagai istri. Apalagi tidak akan ada kebohongan yang disembunyikan.     

"Kenapa lihatnya gitu, Zen?" tanya Daisy dengan senyuman.     

"Aku lagi mikirin... bagaimana kalau aku beri kamu kebebasan untuk melakukan sesuatu yang kamu suka, tapi dalam konteks positif, asal... kamu tetap menjalankan tugasmu sebagai istri?" tanya Zen memandang Daisy lekat.     

Daisy yang sedang sibuk menyiapkan makanan di piring Zen pun menghentikan aktivitasnya. Ia ikut menatap Zen dengan serius juga. "Ada apa ini? Kamu beri aku kebebasan? Sangat... bukan kamu banget."     

"Dan... nggak boleh ada kebohongan," tambah Zen tanpa menjawab pertanyaan Daisy.     

Daisy mengangguk ragu. Ia hanya diam dan konsentrasi kembali pada piring Zen.     

"Take it or leave it, Daisy?" tanya Zen meminta jawaban yang tepat.     

"Oke. Aku... setuju."     

Setelah melakukan pembicaraan kecil sebelum makan malam, rasanya sedikit lega bagi Zen. Sebab bagaimana pun ia akan tetap memantau Daisy dari kejauhan. Tentunya anak buahnya nantinya yang akan mengikuti ke mana Daisy pergi, sementara seperti biasa telinga Zen siap mendengarkan apa pun yang kalung Daisy katakan melalui penyadap suara yang ia rancang sendiri.     

Pagi-pagi sekali Daisy bangun. Tanpa membangunkan Zen yang masih tertidur di sisinya, Daisy perlahan mengganti pakaian tidurnya dengan pakaian olahraga. Hari ini ia akan memulai harinya dengan olahraga yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Salah satu bentuk melepas stres dan relaksasi yang ingin dilakukannya.     

Daisy meninggalkan catatan kecil di nakas sebelah Zen bahwa ia akan berolahraga dan akan membawa sarapan juga ketika sudah kembali nantinya.     

Awalnya Daisy hanya berjalan biasa dengan headset yang terpasang di kedua telinganya. Ia berjalan seraya mendengarkan lagu yang ia putar di playlistnya dan kemudian Daisy berlari sesuai irama lagu yang berputar di headsetnya.     

Saat tiba di taman kota, Daisy tidak menyangka bahwa taman kota akan seramai seperti yang ia lihat. Hari libur jadi banyak yang datang, pikirnya. Ia pun lalu melanjutkan larinya dengan irama kecil.     

Tiba-tiba seseorang berhenti di hadapannya. Devan. Ia pun akhirnya berhenti dan melepas kedua headsetnya dan membiarkannya menggantung di hoodie-nya. Devan tersenyum padanya sementara Daisy mengatur nafasnya agar normal.     

"Kamu ngikutin aku?" tanya Daisy bingung, awal sapaan yang memang sangat tidak sopan jika ia berhadapan dengan orang baru.     

"Nih, minum biar enakan dulu." Devan menyodorkan sebotol mineral baru untuk Daisy minum. Daisy menerimanya dan menenggaknya dengan sangat cepat. Ia lalu melihat sekeliling karena takut jika Zen melihatnya bersama Devan.     

"Zen nggak ada di sini, Daisy," ujar Devan seolah tahu apa yang baru saja Daisy pikirkan. "Dan... aku nggak ngikutin kamu. Aku memang setiap hari Minggu olahraga di sini," jawab Devan untuk pertanyaan awal Daisy.     

Daisy pun duduk di rerumputan dan meluruskan kakinya. Keringatnya masih mengucur deras di pelipis dan lehernya. Menambah keseksian siapa pun yang melihat dan menganggapnya demikian.     

"Oh... artinya aku sembarang menuduh kamu. Aku lagi ingin olahraga aja di sini," kata Daisy membalas.     

Devan memandang Daisy dengan wajah tercengang. Ia melihat Daisy seperti Zen melihatnya. Aneh. "Apa kamu baik-baik aja, Daisy?" tanya Devan.     

Daisy tertawa kecil. Ia menatap seluruh keramaian dengan tatapan sedihnya. Zen dan Devan menanyakan hal yang sama, batinnya. Tapi Daisy sudah memiliki komitmen bahwa ia akan baik-baik saja dan berubah menjadi wanita yang setidaknya tegar, egois dan baik atau berkuasa atas yang diinginkannya. Kombinasi karakter yang aneh.     

"Ya... aku baik-baik aja. Ada apa? Apa aku nggak kelihatan baik-baik aja?"     

Devan mengangguk serius. "Kamu kelihatan berbeda, Daisy."     

"Mungkin aku kelihatan lebih cantik?" tanya Daisy memegang kedua pipinya dengan menyembunyikan perasaan sedihnya. Devan menghela nafasnya dan ia mengangguk untuk menyetujui ucapan Daisy.     

"Kalau soal cantik, itu bukan dusta, Daisy. Kamu memang cantik. Tapi entah kenapa di balik kecantikanmu itu, kamu menyimpan kesedihan dan kamu nggak mau terbuka sama aku," tutur Devan.     

Daisy menelan ludahnya mendengar ucapan Devan. Ia tahu apa yang dikatakan Devan itu benar mengenai kesedihan. Daisy sendiri memang tidak ingin Devan mengetahui bahwa ia sudah keguguran. Terlalu banyak orang yang tahu tentu akan membuatnya semakin susah untuk bergerak ke tahap selanjutnya.     

"Told you, I'm fine, Devan. Jangan tanya lagi, oke?" kata Daisy akhirnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.