Cowok Hamil

Gue mau lihat



Gue mau lihat

0Di dalam kamar, terlihat Jamal sedang terlantang menghadap langit-langit di atas ranjang, dengan kondisi tubuh yang masih memakai handuk, menutupi area pribadinya. Remaja berbadan kekar itu terlihat masih kelelahan, tenaganya banyak terkuras akbiat dua kali masturbasi yang baru saja ia lakukan di dalam kamar mandi.     

Yah, lagi-lagi Jamal harus memakai telapak tangannya untuk melampiaskan hasrat biologisnya yang selalu naik tiap kali Rio memeluk dirinya, dalam keadaan tidak sadar atau tertidur pulas.     

Tidak biasanya, pagi itu Jamal memang bangun lebih dulu daripada Rio. Pada saat membuka mata, ia melihat Rio masih dalam keadaan tertidur, sedang memeluknya erat. Anehnya, miliknya yang selalu saja ereksi, menggeliat lalu berdiri tegak, pada saat ia merasakan pelukan hangat dari Rio. Lantaran tidak ingin lagi melakukannya dengan remaja Rio, oleh sebab itu Jamal memilih menggunakan tangannya sebagai patner untuk menuntaskan syahwat nya.     

Jamal membuang napas legah, kemudian ia beranjak dari atas tempat tidur setelah tenaganya sudah terkumpul kembali.     

Bertepatan dengan itu, terlihat Rio baru saja masuk kedalam kamar, sudah memakai kaus longgar dan handuk yang melilit dibagian pinggangnya.     

Sejak menyadari perutnya sudah mulai membesar, Rio memang selalu membawa kaus longgar, satu-satunya yang ia punya, setiap kali akan mandi. Rio tidak mau siapapun melihat perutnya yang sudah mulai gendut. Apalagi Jamal.     

"Astaga... belum make seragam?" Heran Rio saat melihat Jamal masih memakai handuk saja. "Nggak tau udah siang apa?"     

"Bacot ah, telat juga bukan urusan elu," ketus Jamal. Tenaganya sudah pulih, sehingga nada bicaranya sudah kembali seperti sedia kala. Keras dan tegas. "Lu cepet amat mandinya?"     

"Iya lah, cowok ngapain lama-lama." Rio menyindir namun tidak berpengaruh apapun pada Jamal.     

Sekedar informasi, sebenarnya Rio tidak mandi. Karena waktu sudah siang, remaja itu takut terlambat ke Sekolah. Sehingga ia hanya mencuci muka dan menggosok gigi saja.     

"Eh, Mal... lu lagi pilek ya?" Rio bertanya saat ia sudah berada di samping Jamal. Ia teringat arian berbentuk seperti lendir, dan terasa lengket.     

Kedua remaja itu kini tengah berdiri berdampingan menghadap ke arah lemari, sedang mengambil seragamnya masing-masing.     

"Enggak ah, kenapa emangnya?" jawab Jamal tanpa menoleh.     

"Ingus lu, becerean di kamar mandi. Ke injek sama gue." Nada suara Rio terdengar ketus. Remaja itu kembali kesal saat kakinya menginjak cairan lengket di lantai kamar mandi.     

Mendengar itu Jamal langsung terdiam, sambil menelan ludahnya susah payah. Wajahnya juga terlihat gugup. Kemudian ia mengeluarkan suara sengguran sambil menarik hidung.     

"Oh, iya tadi. Sekarang udah enggak," bohong Jamal. Ia tidak mungkin mengatakan kalau cairan yang diinjak oleh Rio itu, sebenarnya adalah seperma yang dua kali ia keluarkan.     

"Jorok...!" Rio mencibir.     

Beberapa saat kemudian, Jamal sudah terlihat rapaih, memakai baju seragamnya. Sementara Rio masih mengenakan kaus, sambil dengan susah payah mengaitkan kancing celana abau-abu yang baru sampai di bawah pusarnya.     

Secara tidak sengaja, Jamal memutar kepalanya, melihat Rio yang sedang merunduk terlihat kesusahan mengaitkan celana seragamnya.     

Kening Jamal berkerut, menatap heran ke arah Rio. "Lama amat, katanya takut telat?"     

"Ck!" Rio berdecak. "Duh, susah ni, kayaknya celana gue udah nggak muat. Nambah empit banget..." keluh Rio putus asa. Remaja itu mencoba beberapa kalai.     

"Kok bisa?" heran Jamal.     

"Kok bisa pala lu peyang! lupa kalau gue lagi hamil anak lu! Gue bakal jadi gendut!" Jelas Rio dengan nada tegas. "Celana gue juga udah banyak yang nggak muat..." Rio menghela lelah.     

Jamal mendengkus kesal, lantas menyandarkan punggungnya pada lemari pakaian. Melipat kedua tangannya di perut, sorot matanya menatap lurus ke arah Rio yang masih terus berusaha mengaitkan kancing celananya. Jamal menghela napsa, "sini gue bantu." tawarnya kemudian.     

"Nggak usah." Rio mundur satu langkah, menjauhi Jamal yang sedang mendekat padanya. "Jangan pegang-pegang gue!"     

"Ge-er," ketus Jamal sambil menyandar kemabli pada lemari pakaian, menatap Rio yang masih terus berusaha.     

"Huh..." Rio mendengkus putus asa, seraya menjatuhkan kedua tangannya, lelah. Wajah remaja itu terlihat sangat frustrasi. "Gue nggak mau sekolah..." putus Rio kemudian.     

"Lho kenapa?" heran Jamal dengan kening yang berkerut.     

"Lu tanya kenapa? Yah gue malu lah... celana gue udah nggak muat. Baju seragam juga udah kekecilan. Lama-lama temen curiga. Kalau sampe mereka tau gue lagi hamil--ck!" Rio menggantukan kalimatnya, rasanya remaja tidak sanggup untuk meneruskan kalimat, yang akan membuat ia membayangkan hal mengerikan.     

Membuang napas gusar, Rio berjalan ke arah lemari lalu menyandarkan tubuhnya disana, membiarkan bagian pinggang celana yang masih menggantung di bawah perutnya.     

Sementara Jamal hanya bisa terdiam. Ia memutar kepalanya ragu-ragu, lalu memperhatikan bentuk tubuh Rio dengan intens. Yah, ternyata Jamal juga baru sadar, Rio sudah terlihat sedikit gemuk dan perutnya bertambah gendut. Remaja Jamal manatap datar ke pada perut Rio, yang masih tertutup kaus longgar. Jamal terdiam, remaja itu terlihat berpikir, sambil menatap miris wajah Rio yang terlihat sangat frustasi. Kasian juga. Pikir Jamal.     

Menarik napas dalam-dalam kemudian Jamal hembuskan secara kasar. Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya ia memutuskan untuk melepaskan celana berikut baju seragamnya.     

Ukuran tubuh Jamal memang lebih besar dari Rio, sehingga ia berpikir mungkin seragamnya akan muat, dan bisa menutupi kehamilan Rio.     

"Lu pake seragam gue," tawar Jamal sambil mengulur baju dan celana abu-abu.     

Kata-kata Jamal membuat Rio menoleh ke arahnya. Remaja itu menatap datar baju seragam yang mengantung di udara. Sedetik kemudian, remaja itu mengerutkan kening, ketika menyadari bahwa Jamal sudah telanjang, hanya memakai celana dalam, menutupi pangkal selangkangannya.     

Kapan Jamal melepaskan seragam, Rio tidak menyadarinya. Mungkin pada saat ia sedang melamun.     

"Percuma, sama aja..." ucap Rio tidak yakin. "Lagian seragam lu udah ada tulisan nama lu. Lu mau temen-temen pingsan liat gue make baju elu." Rio berdecak. "udah gue nggak mau sekolah."     

"Coba aja dulu, badan gue kan gedean pasti nutupin perut elu," ususl Jamal. Suara beratnya terdengar sangat sabar. "Soal nama ntar gue lepas."     

Rio hanya terdiam, sambil menatap ragu pada seragam milik Jamal, yang masih sabar menggantung di udara. "Trus lu... pake apa?"     

"Gue pake baju lu... nggak apa-apa kekecilan dikit. Kan perut gue nggak gendut." Ucap Jamal selembut mungkin.     

Namun sayang, Rio masih hanya terdiam. Memakai seragam Jamal? Malas sekali rasanya. Rio menghela napas gusar, ia berpikir sambil menatap ragu pada seragam Jamal yang masih terulur ke arahnya.     

"Ck..." Jamal berdecak kesal, lantaran Rio terlalu lama berpikir. "Lama!" Ucap Jamal sambil menjatuhkan seragamnya ke lantai, lalu memangakas jarak dengan Rio.     

Lantaran tidak sabar, tanpa permisi Jamal meraih kaus yang di kenakan Rio, membuka paksa kaus berukuran jumbo tersebut.     

Hal itu tentu saja membuat Rio terentak kaget. "Jamal, lu apa-apaan?" Protes Rio sambil menarik ke bawah kausnya yang hampir terbuka. "Lepasin... gue nggak mau sekolah!"     

"Nggak sekolah gimana? Dicoba aja dulu!" paksa Jamal sambil berusaha melepaskan kaus di tubuh Rio.     

Adegan saling tarik kaus terjadi antara Jamal dengan Rio. Namun karena tenaga Jamal lebih kuat, dan kaus yang sedang dikenakan oleh Rio terlalu longgar, sehingga Jamal bisa dengan muda meloloskan kaus itu dari tubuh Rio.     

"Bangsat lu ya, Jamal... lu budeg ya?! Gue bilang ogah... gue nggak mau sekolah?!" Murka Rio setelah kausnya berhasil tubuhnya bertelanjang dada, menampilkan perut yang sudah terlihat gendut.     

Wajah Rio memerah, menatap murka kepada Jamal. Punggungnya bergerak naik turun, dan napasnya terdengar memburu, akibat emosi yang tidak bisa ia bendung. Kemarahannya pada Jamal juga membuat ia melupakan bahwa dirinya kini sudah bertelanjang dada. Sehingga perut gendut yang selama ini ia tutupi dapat terlihat jelas oleh Jamal.     

Mengabaikan amarah Rio, bola mata Jamal membulat, menatap perut gendut sambil menelan ludah. "Ah, p-perut lu beneran gendut," komentar Jamal, dengan nada gugup. Entahlah, perut gendut Rio seperti menggetarkan tubuhnha, hingga membuat remaja itu terbengong-bengong.     

Selama ini ia terlalu cuek, atau lebih tepatnya kurang perduli dengan perubahan pada bentuk tubuh Rio. Bahkan pada saat Rio memeluknya ketika tidur, Jamal tidak sadar dengan bentuk tubuh Rio yang sudah mulai berubah.     

Sadar jika sedang diperhatikan, Rio buru-buru merampas kaus miliknya yang masih dipegang oleh Jamal. Menggunkan kaus itu Ia langsung menutupi perutnya supaya tidak diperhatikan sama Jamal. Rasa marah dan malu bercampur menjadi satu, pada dirinya.     

"Sana lu, ngapain ngilatin gue," ketus Rio dengan raut wajah yang terlihat salah tingkah.     

Mengabaikan kata-kata Rio, Jamal malah berjalan mendekati remaja itu.     

"Nggak usah ditutupin, gue mau liat..." ucap Jamal, ia menyingkirkan kaus yang menutupi tubuh Rio, lalu melemparkannya ke mana saja.     

"Gue malu, bego!" Rio mendorong tubuh Jamal hingga membuatnya mundur beberapa langkah. Setelah itu ia memutar tubuhnya, memunggungi Jamal, sambil mencari handuk untuk menutupi bagian tubuh telanjangnya.     

"Kenapa malu, gue mau liat." Jamal kembali mendekati Rio, ia menarik pundak, lalu memutarnya, hingga membuat remaja gendut itu, kembali berhadapan dengannya. "Jangan pelit, gue kan pingin liat anak gue." Nada suara Jamal terdengar sangat lembut.     

Setelah menyampaikan itu, Jamal langsung menjatuhkan tubuhnya, berlutut di hadapan Rio, sambil memposisikan wajahnya tepat di depan perut gendut itu. Jamal membeku, ditatapnya perut yang sudah gendut itu secara dalam-dalam, sambil menelan ludahnya susah payah.     

Apa yang dilakukan oleh Jamal membuat Rio terdiam. Ia merunduk, melihat Jamal yang sedang tertegun memandangi perutnya.     

Sama seperti Jamal yang tertegun melihat perut gendut Rio--Rio pun tertegun melihat tingkah laku Jamal.     

"G-gue boleh pegang kan?" ucap Jamal, ragu-ragu.     

Namun belum mendapat ijin dari sang pemilik perut, secara perlahan, dengan ragu-ragu, Jamal mengulurkan kedua telapak tangannya ke perut Rio. Sedikit demi sedikit hingga akhirnya kedua telapak tangan Jamal mendarat dengan lembut tepat di perut itu.     

Rio hanya diam dan mematung. Ia seperti tertotok, tidak mampu bergerak. Bahkan untuk sekedar mundur satu langkah, rasanya remaja itu tidak mampu. Entahlah.     

"-anak gue, ada di dalem sana..." setelah menyampaikan itu, bibir Jamal sedikit-demi sedikit mulai melengkung, hingga akhirnya membentuk senyum yang mengembang.     

Tidak puas hanya dengan menyentuh perut Rio, kemudian Jamal mendekatkan telinganya, lalu menempelkannya tepat dibagian puser. "Lagi ngapain ya mereka?" Jangan lupakan keadaan Jamal yang hanya memakai celana dalam saja.     

Sejak Rio tidak pernah lagi mencibir milik Jamal yang katanya kecil, Jamal sudah tidak malu lagi meski hanya memakai celana dalam di hadapan Rio.     

Mendengar itu kening Rio berkerut, menatap heran ke pada Jamal. Tanpa sadar, kedua ujung bibirnya tertarik, membentuk sebuah senyuman.     

Jamal ini manusia macam apa sih? Labil! Kadang bikin kesal, kadang bikin ketawa, tapi kadang bisa juga bikin baper. Eh, bikin bingung. Rio meralat pikirannya barusan yang mengatakan 'bikin baper'.     

"Baik-baik di sana ya... jangan nakal sama mamah__"     

Plak...!!     

"Aduh..."     

Tamparan kecil dari telapak tangan Rio mendarat di pipi Jamal. Membuatnya tersentak kaget, dan langsung mendongak, menatap kesal ke arah Rio.     

"Kok, lu mukul gue si?" Protes Jamal sambil memegangi pipinya yang bekas di tampar oleh Rio.     

"Kan gue udah pernah bilang, gue nggak mau dipanggil mama!" Tegas Rio mengingatkan.     

Jamal tersenyum nyengir, "sory lupa..." setelah itu Jamal kembali fokus menatap perut Rio seraya berkata, "jangan nakal sama simbok..."     

Jamal sukses menyulut emosi Rio, hingga membuat matanya menyipit dan rahangnya mengeras. Mengumpulkan semua tenaganya, kemudian Rio mendorong Jamal hingga jatuh terjengkang di lantai.     

"Aduh... sakit... bego." umpat Jamal.     

"Mampus!" Balas Rio, menatap kesal remaja yang hanya memakai celana dalam itu. "Makanya enggak usah mancing emosi."     

Mengabaikan penderitaan Jamal, Rio membungkuk, memengut baju seragam Jamal yang tercecer di lantai. Melilitkan handuk dibagian pinggang, kemudian Rio memutar tubuh, berdiri membelakangi Jamal.     

"Duh," ringis Jamal sambil memegangi pinggangnya yang terasa pegal, akbiat benturan dengan lantai. Namun beberapa detik selanjutnya ringisannya berubah menjadi sebuah senyuman saat melihat Rio melepas celana, lalu mengganti dengan celana miliknya.     

"Ekhem." Jamal berdehem sambil berdiri dari dengan susah payah. Ia mengehela napas legah, setelah berhasil berdiri dari jatuhnya. "Sini, name tag nya gue lepasin." ucap Jamal. Remaja itu sudah berdiri di belakang Rio.     

Rio menghentikan kegiatannya mengaitkan kancing celana milik Jamal yang sudah ia pakai. Remaja itu terdiam selama beberapa saat. Setelah menghela napas berat, remaja itu meraih baju seragam Jamal yang tersampir di pundaknya. Tanpa berkata apapun, remaja Rio melempar baju itu kebelakang, tepat mengenai wajah remaja yang tengah berdiri di belakangnya.     

Jamal tersenyum nyengir, sambil menatap bajunya sendiri.     

"Buruan tar telat," ucap Rio. Akhirnya remaja itu bisa bernapas legah, setelah berhasil mengaitkan celana abu-abu.     

"Sabar!" balas Jamal.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.