Cowok Hamil

Terpaksa masuk Sekolah



Terpaksa masuk Sekolah

0Sebenarnya hari ini Jamal menolak dan tidak mau berangkat ke sekolah. Selain karena beberapa luka di wajahnya masih belum sembuh, hari ini adalah tepat dimana Rio akan menjalani operasi cesar.     

Jamal cuma ingin menemani Rio. Tidak hanya itu, ia juga tidak sabar menunggu hadiah yang sudah janjikan oleh Rio, setelah operasi kelahiran anak mereka, selesai dilakukan.     

Lagipula, Jamal juga pasti tidak akan bisa tenang kalau harus memaksakan diri untuk tetap belajar. Namun karena Rio memaksa, kemudian ibu Marta, dan juga dokter Mirna meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja, sehingga Jamal terpaksa menurut, tapi dengan catatan di hatinya; semua yang ia lakukan hanya karena Rio yang memaksa sekolah. Bukan ibu Marta apalagi dokter Mirna.     

Jamal memasang wajah yang ditekuk. Dengan rasa malas ia berjalan santai menelusuri koridor sekolah, menuju ke kelas nya.     

Seperti biasa, selama dalam perjalanan Jamal selalu menjadi pusat perhatian. Namun kali ini sedikit berbeda, lantaran masih banyak luka memar di wajah cowok. Mereka--para siswi, menatap Jamal dengan tatapan yang miris.     

Walaupun sudah sering melihat Jamal penuh dengan luka, tapi tetap saja, mereka sangat menyayangkan jika wajah seganteng itu, harus dihiasi dengan luka-luka memar.     

Mengabaikan tatapan para remaja putri, Jamal terus berjalan menuju kelas, hingga akhirnya langkah kakinya berhasil membawa ia sampai di ambang pintu.     

Ruang kelas yang tadinya berisik, mendadak hening setelah Jamal melangkahkan kakinya, masuk ke dalam kelas. Tidak jauh berbeda dengan diluar, di dalam kelas pun, teman-temannya menatap miris kepada cowok itu.     

Setelah menjatuhkan pantatnya di bangku, dalam hitungan detik, beberapa anggota gank yang masih satu kelas, langsung berhamburan menghampiri Jamal.     

"Jems lu kenapa, udah berapa hari ini kok nggak masuk sekolah? Mana nggak ada kabar lagi?" Cecar salah seorang anggota ganknya yang tengah duduk di atas meja. Keningnya berkerut menatap heran pada wajah Jamal yang penuh dengan luka. "Trus muka lu itu kenapa? punya luka enggak bagi-bagi sama kita?"     

Meski Jamal dan gangnya terkenal nakal, tapi mereka sangat setia kawan. Tidak akan pernah membiarkan salah satu dari mereka mendapat luka sendiri. Apalagi yang mendapatkan luka itu seorang Jamal, yang notabenenya adalah bos atau ketua gank.     

Mereka akan merasa tidak berguna menjadi anggota gank Jamal, kalau tidak mendapat bagian dari luka-luka tersebut.     

"Gue nggak apa-apa!" Tegas Jamal. "Kalau soal luka, gue emang pantes dapet sendirian. Justru gue malah bakal bunuh kalian, kalau sampe kepingin ambil bagian dari luka gue sekarang."     

Tentu saja Jamal tidak akan membiarkan orang lain berkorban untuk Rio. Hanya Jamal yang boleh terluka demi Rio, cuma Jamal yang boleh sakit babak belur, demi menyelamatkan Rio. Tidak akan pernah ia biarkan ada orang lain merasa mempunyai jasa terhadap Rio.     

"Tapi kita kan_"     

"Nggak usah banyak protes..." sambar Jamal memotong kata-kata salah anggota ganknya. Sorot matanya menatap tajam kepada siswa tersebut.     

"Iya-iya..."     

Kalau Jamal sudah berbicara, semuanya hanya bisa mengangguk patuh.     

Took... took... took...     

"Permisi... gue mau ketemu sama Jems."     

Suara ketukan pintu dan seorang siswi, membuat Jamal beserta teman-temannya menoleh ke arah dimana sumber suara itu berasal.     

Kening mereka berkerut, menatap heran kepada Kiki yang sedang berjalan ke arah mereka, sambil menyembunyikan kedua pergelangannya di balik tubuhnya--layaknya remaja putri.     

"Ngapain lu kesini?" Tanya ketus salah seorang teman Jamal, ketika Kiki sudah berada di dekat mereka.     

"Sory, gue mau ngomong bentar sama Jems," jawab Kiki.     

"Jems nggak ada waktu buat lu, mending lu ama gue aja. Dijamin, gue selalu punya banyak waktu buat lu..."     

Gurauan salah satu anggota gank Jamal, membuat beberapa diantara mereka tergelak.     

"Oh, gitu... Yaudah deh, kalau gitu gue balik ke kelas."     

Lantaran tidak mendapat respons apapun dari Jamal, gadis itu memutar tubuh, lalu berjalan ke arah pintu.     

Teman-teman Jamal menelan ludah susah payah, melihat pergerakan pantat Kiki, yang naik turun ketika sedang berjalan.     

"Haduh... pingin gue remes dah tuh, bokong." Celetuk salah seorang dari mereka. "Mendadak demam gue, liat itu cewek."     

"Kakak kelas emang bohay-bohay."     

Jamal hanya mendesis sinis.     

"Jangan balik ke kelas dong... tapi ke pelukan gue aja..." goda yang lainya.     

Kiki mendengkus kesal, melanjutkan perjalanannya menuju pintu kelas, mengabaikan kata-kata berbau modus dari para adik kelasnya.     

"Mau ngomong apa, Ki?"     

Kiki baru menghentikan langkah kakinya, ketika suara lantang dan tegas milik Jamal, keluar dari mulutnya. Gadis itu memutar tubuh, lalu menatap ke arah sang pemilik suara tersebut.     

"Kalau lu sibuk, nanti aja nggak apa-apa."     

"Gue nggak sibuk!" Tegas Jamal.     

Jamal menatap satu persatu anggota gangnya--sebagai isyarat, supaya mereka segera menjauh dari tempat dimana mereka sedang berkumpul.     

Paham dengan bahasa mata Jamal, tanpa melakukan protes apapun, mereka--anggota gank Jamal, satu persatu menjauh dari tempat duduk ketua ganknya.     

Dalam kurun waktu yang bersamaan, terlihat Kiki sedang berjalan mendekati Jamal.     

"Ada apa?" Tanya Jamal setelah Kiki menjatuhkan pantatnya di bangku sebelahnya.     

"Gue mau kasih tau sesuatu. Mudah-mudahan ini bisa jadi kabar baik buat elu." Jelas Kiki.     

"Soal apa?" sahut Jamal ketus.     

Kiki menghela napas. "Katanya Tegar sama teman-temannya bakal dipenjara selama sepuluh tahun."     

"Oh..." Jamal menarik sebelah ujung bibirnya, tersenyum menceng seraya mendesis. "Bagus deh," ucapnya. Wajahnya terlihat sangat cuek seperti tidak peduli dengan berita baik yang disampaikan oleh gadis di sebelahnya.     

Melihat ekspresi wajah Jamal yang datar, Kiki hanya menghela napas lembut sambil tersenyum tipis, hampir tidak terlihat.     

Kiki mengedarkan pandangannya di ruang kelas, lalu kembali berhenti pada sosok Jamal. "Ohiya Jems, bukannya hari ini dia mau operasi ya? Kok lu sekolah sih?" Tanya Kiki, merubah topik pembicaraan.     

"Iya, sore operasinya." Hati Jamal kembali gelisah saat mendengar kata operasi.     

Cowok itu menghela napas, lantas menyandarkan tengkuknya pada sandaran kursi. Jamal terdiam menatap kosong langit-langit di ruang kelas.     

"Jangan khawatir, dia pasti baik-baik aja kok." Cetus Kiki yang membuat Jamal tersentak kaget.     

Melihat expresi wajah Jamal yang mendadak murung, Kiki sudah bisa membaca, kalau cowok itu sedang memikirkan keadaan Rio. Lebih tepatnya Jamal terlihat sedang cemas.     

Jamal buru-buru merubah ekspresi wajah, cowok itu tidak mau tertangkap basah kalau sedang mengkhawatirkan Rio.     

"Apa? Gue khawatir sama dia?" Jamal mendesis. "Ada-ada lu." Cowok itu berusaha memungkiri perasaannya di hadapan Kiki. Ia tidak ingin siappun tahu kalau sebenarnya hatinya itu sudah mentok, bersandar pada Rio.     

"Ah," wajah Kiki berkerut, menatap heran kepada Jamal. "Gue kira lu khawatir sama dia. Tapi lu suka kan sama dia? Lu cinta kan?"     

Pertanyaan Kiki yang to the ponint, sukses membuat Jamal tertohok. Cowok terdiam sambil menelan ludahnya susah payah. Entahlah, rasanya begitu berat mengakui yang sebenarnya.     

"Lu gila ya? Walaupun dia bisa hamil, tapi dia cowok. Mikir aja, masak gue suka sama cowok." Jamal harus menekan nada suaranya--namun tegas, agar teman-teman diruangan yang sama, tidak dapat mendengarnya     

Namun perasaan bersalah muncul dalam diri Jamal, setelah ia menyampaikan kalimat itu. Tapi mau bagaimana lagi? Tidak mungkin bagi Jamal mengakui perasaannya. Gengsi masih menguasai dirinya.     

Kiki mengangguk ragu. "Oh gitu." Sebenarnya ingin sekali gadis itu menanyakan, bagaimana Rio bisa sampai hamil, kalau ternyata tidak ada cinta di hati Jamal? Tapi sayang Kiki tidak punya cukup keberanian untuk bertanya seperti itu. Ia sadar sebatas mana kapasitasnya, dan ia juga cukup tahu diri, agar tidak lebih jauh menanyakan soal itu kepada Jamal.     

Karena hal itu, lantas membuat Kiki mengambil kesimpulan; Jamal tetaplah Jamal. Cowok brengsek yang tidak mempunyai hati, tidak ada perasaan, apalagi cinta.     

Kasihan Rio. Pikir Kiki.     

Kriiii....ng... !!     

Suara bel yang sangat nyaring--menandakan jam masuk sekolah, membuat Kiki harus beranjak dari tempat duduknya.     

"Yaudah Jems, gue kelas dulu," pamit Kiki yang hanya ditanggapi anggukan kepala oleh Jamal.     

Beberapa detik kemudian Kiki melenggang keluar kelas, sementara Jamal menidurkan kepalanya di atas meja-- menggunakan pergelangan yang ia lipat, untuk bantalan.     

Jamal menghela napas saat pikirannya tentang Rio, kembali hinggap.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.