Cowok Hamil

Spesial Chap {Membujuk dia- 1}



Spesial Chap {Membujuk dia- 1}

0Menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya, Rio menghembuskan secara kasar. Tarik napas lagi, lalu Rio hembuskan lagi secara kasar. Remaja Rio terus melakukan hal itu selama berkali-kali guna mengusir rasa gelisah dan tidak nyaman.     

Namun sayang, hasilnya sia-sia. Perasaan tidak enak itu, masih bersarang, menggerogoti hatinya.     

Ternyata perasaan gelisah tidak bisa hilang hanya dengan cara menghela napas saja. Satu-satunya cara untuk menghilangkannya, cuma dengan menemukan jawaban atas apa yang membuat kegelisahan itu tercipta. Mencari solusi supaya hatinya bisa kembali nyaman.     

Kalau tidak salah ingat, sudah tiga hari resah dan gelisah itu menggerogoti hati dan perasaan Rio. Tepatnya pada saat Jamal memulai aksi diam seribu bahasa. Tidak hanya itu, Jamal juga mengabaikan dirinya selama beberapa hari.     

Rio menghela, lantas terdiam. Sepertinya remaja sudah menemukan penyebab mengapa dirinya merasakan kegelisahan terus menerus.     

Tepat, jadi artinya jawaban dari kegelisahan yang dialami oleh Rio adalah--sikap cuek dan diamnya Jamal. Sekarang remaja itu tinggal mencari tahu apa sebenarnya yang membuat ayah dari anak-anaknya itu, berubah sangat drastis. Bahkan ritual kencan sehat yang mereka lakukan setiap malam sebelum tidur, harus absen dalam kurun waktu bersama diamnya Jamal.     

Awalnya Rio berpikir; mungkin Jamal akan kembali seperti sedia kala, tanpa ia harus bertanya atau meminta penjelasan. Tapi kenyataannya, Jamal masih bertahan dengan aksi diamnya hingga saat ini, tiga hari sudah berlalu.     

Sebenarnya Rio juga ingin menanyakannya kepada Jamal. Tapi lagi-lagi gengsi lebih menguasai remaja itu. Rio ingin supaya Jamal saja yang datang padanya, membujuknya dan juga merayu dirinya seperti biasanya. Tapi sayang, cowok itu harus kecewa, lantaran Jamal tetap memilih bertahan dengan mogok bicaranya.     

Rio menghela napas panjang sebelum akhirnya ia berpikir untuk keluar kamar, lalu coba menemui Jamal dan bertanya kenapa? Demi kebaikan bersama, untuk sementara Rio membuang rasa gengsinya.     

Mau bagaimana lagi? Ternyata Rio juga tidak tahan kalau di sepertiinikan oleh cowok itu. Yang waras lebih baik mengalah--pikir Rio.     

Lagipula Rio juga sudah sangat rindu. Rindu dengan belaian sayang dari Jamal, rindu kecupan bibir Jamal di bibirnya, dan juga ia sangat merindukan dekapan hangat tubuh Jamal. Cowok itu juga ingin menidurkan kepalanya di dada bidang milik Jamal.     

Persetan dengan gengsi. Jika itu membuat tersiksa, kenapa harus dipertahankan?     

Lagi, Rio menghela napas kasar, sebelum akhirnya remaja itu merosot turun dari atas ranjang, lantas berjalan ke arah pintu kamar.     

~☆~     

Rio menghentikan langkah kakinya, cowok itu kini sudah berada di depan pintu kamar milik Afkar. Ia ingin memastikan apakah sosok Jamal sedang berada di dalam sana. Karena biasanya, pada jam-jam seperti ini Jamal masih belajar bersama adik kandungnya.     

Telapak tangan Rio meraih handle pintu kamar, lantas memutarnya. Tanpa mengetuknya terlebih dahulu, cowok itu langsung mendorong pintu kamar milik adiknya, hingga membuat pintu tersebu, setengah terbuka.     

Kening Rio berkerut saat remaja itu tidak melihat sosok yang dicari sedang berada di sana. Hanya ada Afkar seorang diri tengah bermain game.     

Rio menghela napas sebelum akhirnya, ia membuka suaranya. "Auf, kok kamu sendirian. Kak Jamal mana?" tanya Rio to the point.     

"Nggak tau kak," balas Afkar tanpa menoleh ke arah Rio. Mata anak laki-laki itu sedang sibuk bermain PS5 baru miliknya.     

Ngomong-ngomong PS5 milik Afkar adalah pemberian hadiah dari kakak iparnya. Jamal sengaja membelikan itu sebagai ganti kalau ternyata, ia tidak bisa memberikan Afkar hadiah keponakan kembar cowok.     

Mau bagaimana lagi? Jamal butuh patner untuk memberi hadia yang diminta oleh Afkar. Sementara orang yang akan ia jadikan sebagai patner, tidak bisa diajak bekerjasama.     

"-di kamar Cakra ama Anum kali," lanjut Afkar masih menatap serius pada layar monitor-- menampilkan game yang tengah dimainkan olehnya.     

Rio mendengkus, menatap datar sang adik. "Emang lu nggak belajar ama dia?" tanya cowok itu.     

"Nggak," sahut Afkar. "Gue belajarnya ama mamah."     

Rio menghela napas, masih menatap adiknya yang sedang asik bermain game. Setelah berpikir selama beberapa detik, cowok itu kembali membuka suaranya. "Eh, Auf... kakak mau nanya, beberapa hari ini, kak Jamal sering ngomongin gue nggak? cerita-cerita apa gitu soal, gue."     

Rio mencoba menyelidik, dan berharap Jamal masih suka membicarakan tentang dirinya kepada Afkar. Kalau iya, itu artinya Jamal tidak marah padanya--pikir Rio.     

Afkar terdiam, anak laki-laki itu sedang memutar memory otaknya, mengingat-ingat selama ia bersama kakak iparnya, beberapa hari ini. Beberapa detik berikutnya, Afkar menggeleng kan kepala seraya berkata. "Enggak kak," ucap Afkar setelah ia yakain, bahwa Jamal tidak pernah membicarakan soal Rio padanya.     

"-kak Jems nggak pernah nanyain kakak," lanjut Afjar, membuat wajah Rio berubah masam.     

"Huft..." Rio membuang napas gusar. Lantas cowok itu melampiaskan kekesalannya kepada sang adik yang tidak tahu apa-apa. "Dasar bego, buruan tidur. Jangan game mulu!"     

Setelah menyampaikan itu, Rio menutup kembali pintu kamar adiknya, kemudian cowok itu berjalan menuju kamar kedua anaknya, dengan membawa rasa kecewa karena mendengar jawaban dari Afkar.     

~☆~     

Rio mendengkus kesal, lagi-lagi cowok itu harus kecewa, saat dirinya tengah mengintip dari balik pintu kamar Cakra dan juga Anum, namun ia tidak juga mendapati sosok Jamal berada di dalam sana.     

Cowok itu hanya melihat empat orang Baby siter yang sedang mendapatkan shift, bertugas untuk menjaga kedua bayinya tidur di malam hari.     

Lantaran tidak ingin Cakra dan Anum terbangun, Rio kembali menutup pintu kamar dengan sangat pelan dan hati-hati. Remaja itu kembali menghela napas, lantas menyandarkan punggungnya pada tembok, sambil mendongakkan kepalanya ke atas. Ia terdiam dan terlihat sedang berpikir.     

Di kamar Afkar, Jamal tidak ada. Di kamar Cakra dan Anum, Rio juga tidak melihat keberadaan Jamal. Tempat terakhir yang belum ia lihat adalah kamar Jamal sendiri. Rio merasa yakin kalau Jamal pasti sedang berada di dalam kamarnya.     

Sebenarnya awalnya Rio ingin langsung memeriksa Jamal di kamarnya. Namun karena biasanya pada jam-jam seperti ini Jamal belum masuk ke kamar, oleh sebab itu Rio mencoba mengechek dulu di kamar adik, dan kedua anaknya. Tapi sekarang setelah ia yakin Jamal berada di kamarnya sendiri, cowok itu jadi ragu untuk menemuinya disana.     

Lagi, Rio terdiam sambil menimbang, apakah ia harus menemui Jamal di kamarnya. Cowok itu merasa malas, karena apa yang akan ia lakukan nanti bisa membuat Jamal menjadi besar kepala. Tidak Rio tidak ingin itu terjadi.     

"Dasar bego," Rio misuh-misuh di dalam hatinya. "Ngapain sih pakai acara diem segala? Kayak anak kecil aja, kesel gue."     

Rio membuang napas gusar. Cowok itu kembali terdiam sambil berpikir, apakah ia akan menemui Jamal di kamarnya, atau mempertahankan lagi gengsi yang sempat ia buang tadi.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.