Cowok Hamil

Pengakuan Rio



Pengakuan Rio

0Rasa penasaran ingin tahu apa sebenarnya yang sudah terjadi pada sahabatnya, memaksa Irawan dan juga Heru akhirnya mengikuti ajakan Rio untuk makan siang bersama, di sebuah restoran yang masih berada di dalam mall tersebut.     

Mau bagaimana lagi, Rio tidak bisa menjelaskan di tempat bermain, lantaran Anum terus merengek meminta makan. Tentu saja Jamal dan Rio tidak akan membiarkan anak- anaknya kelaparan.     

Saat ini mereka sudah berada di sebuah restoran, yang sebelumnya sudah dipesankan oleh dua orang baby siter. Sesuai permintaan Jamal, dengan kartu kredit unlimited yang dimiliki, restoran itu ditutup sementara waktu. Tidak diperbolehkan pengunjung lain masuk, selama sang pemilik kartu berwarna hitam, menyelesaikan makan siangnya.     

Dengan wajah yang datar cenderung bingung, Heru menatap Rio yang sudah duduk di hadapannya sambil memangku gadis kecil yang selalu memanggilnya moma. Ada baby siter di sebelahnya sedang menyuapi Anum.     

Masih dengan ribuan tanya, Heru mengalihkan perhatiannya pada sosok Jamal yang sedang duduk di sebelah Rio. Sama seperti Rio, Jamal juga sedang memangku anak laki-lakinya, dan ada baby siter di sebelahnya, sedang menyuapi Cakra.     

Beraneka makanan yang sudah tersaji, tidak membuat Heru dan Irawan berselera untuk menyantapnya. Penjelasan dari Rio jauh lebih penting, daripada makanan lezat yang ada di hadapan mereka.     

"Ri..." panggil Heru, setelah ia menyerah tidak berhasil berperang melawan sabarnya menunggu penjelasan Rio.     

Yang dipanggil menatapnya datar, sambil tersenyum tipis, berusaha setenang mungkin. Kalau boleh jujur, sejak tadi Rio juga merasa sangat gelisah. Remaja itu bingung, bagaimana harus menjelaskannya. Atau mungkin tidak perlu ada penjelasan apapun, karena ia juga berhak untuk tidak memberitahu siapapun.     

"-sumpah gue bingung." Ujar Heru kemudian. "Pertama, kita semua tau lu sama Jems nggak pernah akur. Gue si seneng, kalau akhirnya kalian bisa damai. Tapi..." remaja itu menjeda kalimatnya, sambil menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Tapi kok... bisa sih, anaknya Jems panggil lu moma? Udah gitu deket banget lagi. Apa Jems nikah sama sodara lu?"     

"Oh iya Jems, katanya lu ke sini sama istri lu? Trus mana dia?" Cletuk Irawan yang tengah duduk di sebelah Heru. Selain penasaran dengan penjelasan dari Rio, remaja itu juga penasaran dengan wanita yang menikah dengan Jamal.     

"Pertanyaan gue aja belum di jawab." Protes Heru kepada kekasihnya. "Lu udah nanya yang lain lagi."     

"Gue juga pengen liat istrinya Jems," bela Irawan. "Dari tadi kan, dia nggak nongol- nongol."     

"Iya, tapi gantian kek nunggu Rio jawab pertanyaan gue dulu." Heru mendengkus kesal.     

"Udah kalian nggak usah ribut."     

Jamal melerai pertengkaran dua cowok itu. Kemudian ia menoleh ke arah Rio, yang kebetulan juga sedang menatap dirinya. Melihat bagaimana wajah Rio, sepertinya Jamal tahu kalau istrinya ini sedang dilanda kebingungan. Ia menaikkan kedua alisnya, memberi kode apakah kisah mereka harus dijelaskan kepada kedua sahabatnya.     

Sesaat kemudian Jamal mengulas senyum, setelah melihat kepala Rio akhirnya mengangguk.     

Jamal kembali menatap Heru dan Irawan secara bergantian, sebelum akhirnya ia berkata. "Pertanyaan kalian itu sama. Jadi, kalian nggak usah berebut mana yang harus dijawab dulu. Gue bisa jawab sekaligus."     

"Maksud lu, Jems?" Rasa bingung membuat Heru merasa kehausan. Remaja itu mengambil orange juice di depannya lalu menyeruput perlahan menggunakan sedotan.     

Lagi, Jamal menoleh ke arah Rio. Ia menghela napas gusar sebelum akhirnya berkata. "Tadi Irawan tanya istri gue mana. Jawabannya, istri gue ada disini, di deket kita."     

Penjelasan Jamal membuat Irawan mengedarkan pandangannya di sekitar mereka duduk-- mencari sosok wanita yang dimaksud sebagai istri Jamal. Keningnya berkerut lantaran ia tidak menemukan sosok wanita selain dua baby siter, yang sedang membersihkan wajah Cakra dan Anum setelah selesai memberinya makan.     

"Yang mana Jems?" Bingung Irawan. "Apa salah satu dari baby siter it?" Jamal mendengkus. "Ngaco," ucapnya kesal. "Ya bukan lah."     

"Trus?" Irawan semakin penasaran.     

Heru tetap cuek menikmati jus jeruk nya lantaran ia tidak perduli siapa dan di mana istri Jamal. Yang ia butuhkan cuma penjelasan dari Rio.     

Jamal membuang napas kasar. "Kenapa anak gue panggil Rio moma?" menggunakan wajahnya, remaja itu menunjuk Rio yang masih terlihat tegang. Kemudian dengan sangat tenang dan santai, Jamal menjawab pertanyaannya sendiri. "Itu karena dia istri gue."     

"Uhuk... uhuk... uhku... uhuk...!"     

Pengakuan Jamal barusan sukses membuat Heru yang sedang meminum jus jeruknya sampai tersedak. Air dengan perpaduan rasa manis dan sedikit asam itu seakan menusuk tenggorokan, dan berhenti di dada dalam dadanya menghasilkan rasa sakit dan sedikit gatal.     

"Uhuk.... uhuk... ukhuk... ukhuk...!"     

Heru meletakan gelas berisi jus jeruk nya di atas meja. Punggung tangannya sedikit basah terkena tumpahan air jus dari dalam mulutnya.     

Hal itu tentu saja membuat perhatian Jamal dan yang lainnya, beralih ke arah Heru.     

"Pelan-pelan dong." Ucap Irawan. Dengan lembut telapak Tangannya mengusap punggung kekasihnya, membantu meredakan batuk nya. Walaupun sebenarnya ia juga terkejut dengan pengakuan Jamal, tapi remaja itu masih berpikir jernih. Bisa saja kan, Jamal sedang mengerjai nya?     

"Uhuk... uhkhu..." Heru memegangi dadanya yang terasa sakit. Air jeruk itu seperti masih berada di tenggorokan, membuatnya sulit menghentikan batuk. "Habis... ukhuk... uhkuk... ukhuk... bercanda nya Jems kebangetan." Ucap Heru dengan susah payah, ditengah batuk yang masih melanda.     

Heru mengambil segelas air mineral di depannya, meneguknya hingga tandas untuk menetralisir tenggorokan dari air jeruk yang membuat tenggorokannya sedikit gatal.     

"Serius dong Jems..." ucap Heru setelah batuknya sudah sedikit reda.     

"Iya Jems please jangan bercanda." Imbuh Irawan. "Gue kan nanya serius."     

Jamal memutar bola matanya. Jangan salahkan Jamal kalau ia merasa sangat kesal dengan kedua sahabatnya Rio. Bisa- bisanya mereka tidak percaya dengan pengakuan yang membutuhkan pertimbangan matang untuk bisa mengutarakan nya.     

"Gue jawabnya juga serius. Rio istri gue!" Remaja itu harus menegaskan pada kata 'istri gue' untuk meyakinkan mereka bahwa ia tidak sedang bercanda. Selain itu nada suaranya juga sangat terdengar tegas. "Kalau kalian nggak percaya, tanya aja sama orangnya."     

Heru dan Irwan menelan ludah. Dengan wajah penuh tanya keduanya mengalihkan perhatiannya ke arah Rio.     

Meski hati dan perasaan Heru pada Rio sudah menghilang, dan tergantikan oleh cowok disebelah nya, tapi raut wajahnya seolah berharap bahwa apa yang dikatakan Jamal, cuma kebohongan. Atau lebih tepatnya hanya prank, untuk mengerjai mereka.     

"Ri..." panggil Heru menatap Rio.     

Rio menarik sedikit kedua sudut bibirnya menghasilkan senyum yang sangat tipis. Dengan wajah yang berseri, remaja itu menatap kedua sahabatnya yang sudah tidak sabar menunggu jawabannya. Sedetik kemudian ia memejamkan mata selama beberapa saat. Setelah mata kembali terbuka Rio menghela napas panjang, sebelum akhirnya ia berkata.     

"Apa yang dibilang Jamal, bener. Gu-gue istrinya."     

"Hah...?"     

Pengakuan yang sangat mengejutkan membuat Heru dan Irawan sampai terbengong- bengong. Saking terkejutnya hingga membuat tubuh keduanya terasa sangat lemas. Untung saja mereka sedang dalam posisi duduk, karena kalau tidak, mereka pasti akan terjatuh pingsan.     

"Lu-lu serius Ri?" Tanya Heru meyakinkan.     

Lagi, Rio tersenyum simpul seraya mengangguk. "Iya... gue serius. Gue udah nikah sama Jamal." Menggunakan telapak tangannya dengan lembut Rio mengusap puncak kepala Anum. "Dan mereka, anak-anak kita."     

Kali ini tubuh Heru tidak hanya lemas. Pengakuan Rio yang terlihat begitu jujur membuat sekujur tubuhnya menjadi merinding. Sulit dipercaya, sosok cowok yang selama ini ia idam- idamkan sebagai laki-laki cool, pintar dan sama sekali tidak ada kesan feminin, namun kali ini cowok itu terlihat begitu santai tanpa beban, mengakui jati dirinya sebagai seorang istri. Itu artinya Rio sebagai pihak bawah yang di dominasi oleh pasangannya, Jamal.     

Yah Jamal, dan satu lagi yang membuat Heru semakin tidak mengerti adalah, kenapa harus dengan Jamal? Bukankah selama ini mereka adalah musuh bebuyutan? Entahlah, memikirkan itu membuat kepalanya menjadi pusing dan dadanya terasa sesak.     

"Sekarang kalian percaya kan kalau dia itu istri gue?" Ucap Jamal yang membuat Heru dan Irawan menatap dirinya dengan wajah yang masih menyisakan terkejut, bahkan shock.     

Irawan menelan ludah. "I-iya, gue percaya." Menggunakan telapak tangan, ia membersihkan kening dari keringat yang membasahinya.     

"Tapi, kok bisa si kalian nikah?" Tanya Heru dengan nada suara yang terdengar lemah. "Gimana ceritanya?"     

"Kalian nggak perlu tahu kenapa kita bisa nikah." Sambar Jamal. "Intinya, sekarang Rio istri gue, dan gue suaminya. Enggak ada yang bisa ngerubah itu. Jelas?"     

Lantaran takut sifat Jamal kembali seperti dulu, Heru terpaksa mengangguk gugup. "I-iya, gue ngerti." Heru tidak ingin memaksa meminta penjelasan. Selain takut, remaja itu juga sadar bahwa tidak semuanya harus diceritakan.     

Karena ada hal yang memang pantas untuk dipublikasikan, dan juga ada hal yang memang cukup orang bersangkutan saja yang mengetahui. Kita tidak boleh masuk terlalu jauh, mengorek lebih dalam privasi seseorang, meskipun orang itu adalah teman dekat, atau bahkan saudara kita. Kecuali orang yang bersangkutan memang bersedia, dan ikhlas memberitahu sendiri privasi nya.     

Rio hanya terdiam sambil tersenyum simpul, ia bisa merasakan apa yang sedang dirasakan oleh kedua sahabatnya. Mungkin, jika berada di posisi mereka, ia juga akan sama terkejutnya.     

"Oke... jadi, selama ini kalian udah nikah, terus ngadopsi anak, gitu?" Tanya Irawan setelahnya. Menatap Cakra dan Anum, bibir Irawan tersenyum gemes. "Lucu ya mereka. Tapi... ngomong- ngomong, kalian kok pinter ya milih adopsi anak, bisa mirip gitu sama kalian."     

Penuturan Irawan membuat Jamal dan Rio kembali bersitatap. Namun kali ini raut wajah Jamal tidak memberikan ekspresi atau kode apapun untuk meminta ijin. Walau sebenarnya Jamal tidak rela anaknya dianggap sebagai anak pungut, tapi laki-laki itu sudah berjanji tidak akan memberitahu siapa pun, kalau Rio yang notabene nya adalah laki-laki, ternyata bisa hamil atau mengandung.     

Namun ternyata tidak dengan Rio. Sepertinya ia sudah benar-benar ikhlas.     

Remaja itu merasa sudah terlanjur basah, jadi tidak ada salahnya kalau harus memberitahu semuanya. Lagipula, jiwanya merasa sangat tidak ikhlas kalau anak yang sudah ia kandung selama sembilan bulan, dianggap sebagai anak pungut. Entahlah, hatinya sakit kalau anak-anaknya dianggap sebagai anak adopsi. Oleh sebab itu dengan senang hati dan sangat ikhlas, Rio ingin memberitahu yang sebenarnya kepada mereka.     

"Wan..." panggil Rio membuat yang dipanggil lantas menoleh ke arahnya, menatapnya fokus.     

"Ru..." sama seperti Irawan, Heru juga menatapnya fokus.     

"Mereka bukan anak adopsi. Mereka anak kandung gue dan Jamal."     

Irawan dan Heru menelan ludah. Keduanya menatap bingung ke arah sahabat lamanya.     

"Maksud lu gimana Ri? Gue nggak ngerti?" Bingung Heru, dengan wajah berkerutnya.     

Menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya Rio hembuskan secara perlahan. Manik matanya menatap Irawan dan Heru secara bergantian, sebelum akhirnya ia menjawab. "Dua anak kembar ini, anak kandung gue." Rio menelan ludah, sambil mengumpulkan sisa- sisa keberanian agar bisa berkata yang sebenarnya. "Jadi... gu- gue..."     

"Kalau lu nggak sanggup, lu nggak perlu kasih tau mereka." Sambar Jamal memotong kalimat Rio. Laki-laki itu tidak ingin membuat Rio menjadi terbebani karena harus menceritakan yang sebenarnya. "Lagian, lu punya hak buat nggak kasih tau mereka. Biar kita, sama keluarga kita aja yang tau."     

Rio mengulas senyum. "Nggak apa-apa, gue siap kok. Lagian, gue nggak mau anak kandung gue dibilang anak pungut. Gue sayang sama mereka."     

Pengakuan Rio membuat Jamal mengulas senyum. Sorot matanya menatap bangga pada cowok itu. Tidak disangka, ternyata Rio juga mempunyai pikiran yang sama dengan dirinya. Hatinya berdesir, ia seperti sedang merasakan jatuh cinta kembali, kepada orang yang sama.     

Sesaat kemudian, Jamal menganggukkan kepala. "Yaudah," ucapnya.     

"Sebenarnya ada apa si, Ri?" Tanya Heru yang membuat Rio dan Jamal menoleh ke arahnya.     

Lagi, Rio menghela napas panjang sebelum akhirnya ia berkata. "Jadi... anak kembar ini gue yang ngandung mereka."     

"Hah?"     

"What?"     

Prak...!     

Untuk ke sekian kalinya Irawan dan Heru dibuat terkejut, bahkan sangat shock, hingga tanpa sengaja pergelangan tangan Heru menyenggol gelas, sampai terjatuh ke lantai, dan berakhir hancur berkeping- keping.     

"Maksudnya lu hamil?" Mengabaikan pecahan gelas itu, Heru menelan ludah, menatap tidak percaya kepada sahabatnya. "Please Ri, jangan bercanda."     

"Lu kan cowok, mana bisa hamil?" Imbuh Irawan.     

"Dia emang cowok," sahut Jamal. "Punya dia juga lebih gede dari punya gue. Tapi dia bisa hamil, dan itu anak gue..." ucapnya dengan tegas.     

Kata gede yang meluncur mulus dari mulut Jamal membuat Heru menelan ludah. Tapi, setelah mengingat pengakuannya sebagai seorang istri, bahkan bisa hamil, membuat remaja itu menatap miris kepada Rio.     

"Percaya atau enggak kalian, itu enggak penting buat kita." Lanjut Jamal. "Toh, itu nggak akan ngerubah kenyataan kalau Rio istri gue, dan bisa hamil anak- anak gue."     

Sepertinya hari ini adalah hari yang bersejarah bagi Irawan dan juga Heru. Pertama mereka dikejutkan oleh pertemuan tak disangka dengan salah satu sahabat yang selama ini mereka cari. Lalu setelah pertemuan itu, mereka mendapatkan banyak kejutan- kejutan lain yang lebih tidak terduga, bahkan diluar nalar.     

Sebenarnya Irawan dan Heru sangat tidak ingin mempercayai perihal kehamilan Rio. Tapi melihat bagaimana Jamal dan Rio terlihat begitu serius, mau tidak mau, mereka akhirnya percaya.     

"Jadi... selama ini lu bisa hamil, Ri?" Nada suara Heru terdengar sangat lemah. Berbagai macam kejutan yang ia terima membuat tubuhnya mendadak tidak bertenaga. Bahkan, raut wajahnya sudah berubah menjadi pucat-- sangat pucat.     

Rio mengangguk. "Kalian boleh kok nggak percaya. Mungkin bukan cuma kalian aja yang nggak percaya, orang-orang juga pasti akan sama." Rio menghela napas sebelum akhirnya ia melanjutkan. "Awalnya gue juga nggak percaya, tapi nyatanya gue beneran hamil, anaknya Jamal. Trus, kenapa gue bisa hamil ama Jamal, kalian nggak perlu tau dan gue nggak bisa cerita."     

"Iya Ri... nggak usah dikasih tau." Sahut Heru, nada suaranya terdengar semakain lemah. "Kita juga nggak pengen denger. Udah, cukup gue sama Irawan terkejutnya. Jangan tambah lagi..." setelah mengatakan itu, remaja Heru menghela napas pasrah. Menggunakan punggung tangan Heru menyeka air yang menggenang di pelupuk matanya. Entahlah, ia juga tidak mengerti, kenapa tiba-tiba saja bola matanya menjadi berkaca-kaca.     

Suara isakan singkat yang kemudian terdengar dari mulut Heru, membuat kening Rio berkerut menatapnya heran. "Ru... kok lu nangis?"     

"Nggak apa-apa." Heru mengambil tisue dari tangan Irawan yang sudah terulur kepadanya. Ia membuka ke atas kacamata, untuk memudahkan membersihkan air yang merembes di pelupuk mata. "Gue terharu. Gue seneng akhirnya bisa ketemu lu lagi. Dan semua cerita elu..." Heru menjedah kalimatnya, ia terdiam sambil menelan ludah. "Udah lah, intinya gue seneng ketemu lu lagi, dan yang paling penting, elu baik- baik aja..." jangan salahkan Heru kalau remaja itu tidak mampu melanjutkan kalimatnya. Ia benar- benar bingung mau berkata apa.     

"Oh iya Ri, terus sekolah lu gimana?" Celetuk Irawan kemudian. "Apa lu berenti? Sayang banget, padahal lu kan pinter."     

"Kalian nggak usah khawatir," sambar Jamal. "Walaupun dia enggak sekolah, masa depan dia cerah. Gue juga nggak akan bikin dia sengsara. Bokap gue udah kasih dua perusahaan buat dia."     

Meski terdengar sombong, tapi Jamal berbicara berdasarkan fakta. Stasiun TV dan hotel berbintang yang diberikan untuk Rio, akan tetap menjadi miliknya. Jamal menolak dengan keras, pada saat Rio akan memberikan itu kepadanya.     

"Jangan dimasukin ke hati ya," ucap Rio. "Lu taukan gimana Jamal."     

Irawan tersenyum tipis, dan hampir tidak terlihat. "Gue percaya kok. Semua juga tahu siapa Jems." Sekilas manik matanya melirik pada jaket yang sedang dikenakan oleh Rio. Mengetahui nama merek jaket tersebut, ia tahu kalau harga jaket itu mencapai belasan juta.     

Dari situ, tentu saja Irawan sudah bisa membayangkan, seperti apa kehidupan Rio sekarang.     

"Sebenarnya gue pernah sekolah lagi," ucap Rio yang membuat Irwan dan Heru menatap ke arahnya. "Tapi, gue terpaksa berhenti pas menjelang ujian akhir semester, kelas sebelas. Gue hamil lagi."     

"Hah! Apa? Lu..."     

Rio tidak bermaksud menyiksa kedua sahabatnya dengan memberikan berbagai kejutan bertubi-tubi. Cowok itu hanya ingin memberitahu kalau anaknya bukan cuma Cakra dan Anum.     

Rio mengangguk, ia bisa menebak pertanyaan yang sepertinya tidak mampu diteruskan oleh Irawan.     

Sementara Heru hanya bisa bengong. Ia sudah sangat lelah dengan banyak kejutan yang diberikan oleh sahabatnya, hari ini.     

"...iya... anak kita bukan cuma mereka," lanjut Rio. "Di rumah masih ada lagi. Kembar juga, tapi cowok semua. Yang satu namanya Nathan Riomal putra, satunya Ethan Putra Riomal."     

"Hah... kembar lagi?" Ucap Irawan seolah tidak percaya.     

Heru, masih dengan ekspresinya. Malah, terlihat semakin bengong. Cowok itu benar-benar membisu.     

"Sementara ini, gue putusin buat ngerawat anak-anak. Kalau mereka udah besar, mungkin gue mau belajar ilmu bisnis. Soalnya, gue juga harus ngurus perusahaan yang dikasih sama mertua gue. Pastinya, gue nggak mau bikin mereka kecewa." Rio tersenyum nyengir sambil menatap ke arah Jamal. "Tapi walaupun enggak kerja, gue percaya kok sama Jamal, dia pasti nggak akan bikin gue dan anak- anaknya menderita."     

Kata-kata Rio membuat senyum Jamal mengembang. Cowok itu sangat tertegun mendengarnya. Jangan salahkan Jamal kalau ia menjadi semakin besar kepala. Ia benar-benar bangga, karena ini adalah kali pertama, seorang Rio memuji dirinya, bahkan di hadapan teman- temannya.     

"Oh... gitu."     

Jangan salahkan Heru juga kalau ia hanya mampu berkata seperti itu. Mau bagaimana lagi? Remaja itu benar-benar tidak tahu lagi, harus seperti apa berekspresi.     

Seiring berjalannya detik waktu, obrolan mereka mulai terlihat santai. Lambat laun Irawan dan Heru sudah mulai bisa menerima kenyataan, dari kejutan-kejutan yang baru saja menyerang mereka. Namun sayang, obrolan mereka terpaksa harus berakhir, pada saat Rio menyadari bahwa gadis kecilnya sudah tertidur pulas dalam pangkuannya.     

"Pah..." panggil Rio. Tentu saja ia tujukan untuk Jamal.     

Mendengar itu Irawan tersenyum, menatapnya dengan tatapan bengong.     

Sedangkan Heru bergidik merinding.     

Lebih tepatnya kalimat itu yang ada di kepala Irawan dan Heru.     

"Anum udah tidur, kita pulang sekarang aja yuk." Ajak Rio.     

"Oh... yaudah. Cakra kayaknya juga udah ngantuk."     

Rio mengalihkan perhatiannya kepada dua sahabat yang juga sedang menatap dirinya. "Sorry ya, kita harus pulang sekarang. Anak-anak udah pada tidur. Gue juga ke pikiran sama yang di rumah."     

"Ah, iya Ri... nggak apa-apa kasian mereka pasti kecapean." Sahut Heru.     

"Ngomong-ngomong, gue seneng bisa ketemu kalian lagi. Sorry kalau pertemuan kita bikin kalian terkejut." Rio beranjak dari duduknya sambil menggendong Anum yang sudah tertidur pulas.     

Menyusul setelahnya, Jamal juga berdiri dari kursinya sambil menggendong Cakra. Lantaran anak laki-lakinya sudah terlihat mengantuk, Jamal menidurkan kepala Cakra di pundaknya.     

"Hati-hati Ri," Pesan Heru. Ia dan Irawan juga sudah berdiri dari duduknya. "Kita seneng bisa liat lu lagi."     

"Gue harap ini bukan pertemuan terakhir ya Ri," imbuh Irawan.     

"Iya pasti kita ketemu lagi," balas Rio. Cowok itu menoleh ke arah dua baby siter yang sudah duduk di meja berbeda. "Suster... kita pulang sekarang. Bawa tasnya anak-anak."     

"Baik tuan...!" Sahut salah satu tersebut.     

Jamal dan Rio keluar dari kursinya seraya berkata, "kita duluan." Keduanya berpamitan secara kompak.     

"Thanks ya, Jems gue juga seneng bisa ketemu sama lu." Sahut Irawan.     

Jamal hanya tersenyum.     

Sesaat kemudian Jamal dan Rio berjalan ke arah pintu keluar, sambil menggendong anak- anaknya yang sudah tertidur pulas. Dua orang Baby siter mengekor di belakang, dengan membawa tas milik Anum dan juga Cakra.     

Irawan dan Heru masih mematung. Tatapan keduanya tidak berpaling dari punggung kedua sahabatnya. Keduanya tersenyum simpul melihat kepala Cakra dan Anum yang terlihat begitu nyaman tidur di pundak orang tuanya.     

"Lucu ya, anak-anaknya." Celetuk Irawan.     

Herus tersenyum simpul seraya mendesis singkat. "Tapi gue nggak nyangka... kok bisa ya Rio..." kalimatnya menggantung, enggan melanjutkannya.     

"Namanya juga takdir, kita nggak ada yang tahu." Sahut Irawan. "Kejadian aneh, dan diluar nalar kan emang sering ada. Dan mungkin, Rio salah satu yang mengalami kejadian itu."     

"Iya..." sahut Heru, kemudian ia menghela. "Gue bener-bener lega bisa liat Rio lagi."     

"Lu belum bisa move on dari dia?" Cetus Irawan yang membuat Heru sontak menoleh ke arahnya.     

"Enak aja, gue kan udah punya elu." Protesnya. "Perasaan gue ke dia udah lama ilang, sejak gue sayang sama elu."     

Dan kini perasaan itu sudah benar-benar hilang setelah mengetahui ternyata cowok yang ia harap bisa menjadi pihak atas untuknya, ternyata sudah menjadi pihak bawah. Terlebih, dengan keadaannya yang bisa hamil, membuat Heru yakin bahwa ia sama sekali tidak menginginkan Rio lagi.     

"Kirain..." ucap Irawan. "Oh iya, walaupun gue nggak se kaya Jems, tapi gue akan berusaha bikin lu seneng."     

"Apaan sih, gue nggak kaya gitu." Protes Heru. "Buat gue, yang penting bisa deket terus sama lu. Gue nggak liat harta.     

Irawan tersenyum nyengir.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.