Cowok Hamil

Malaikat kecil



Malaikat kecil

0"Papa.... papa... papa...!!"     

"Papa... papa...!!"     

Cakra dan Anum merosot turun dari pangkuan nenek-nenek mereka begitu melihat sosok remaja, masih mengenakan seragam putih abu-abu, sedang berjalan tergesa ke arah mereka. Bayi kembar pengantin yang usianya belum genap dua tahun itu berlari kecil khas anak-anak, mendekati sosok remaja yang mereka panggil papa barusan.     

Langkah mungil Cakra dan Anum, membawa mereka hingga sampai tepat di hadapan Jamal yang sudah berjongkok sambil merentangkan kedua tangannya menyambut kedatangan buah hatinya.     

Setelah meraih tubuh mungil kedua anaknya dalam dekapan, Jamal berdiri sambil menggendong Cakra di tubuh sebalah kiri, sedangkan Anum di gendongan sebelah kanan nya. "Jangan lari-lari dong sayang, nanti jatuh." Cowok itu mencium pipi mulus Anum dan Cakra secara bergantian.     

Mengabaikan nasehat dari Jamal, telapak tangan mungil Cakra dan Anum menunjuk pada pintu ruangan dimana ada Rio sedang menjalani operasi caesar di dalam sana.     

"Papa-papa, moma..." rengek Anum dengan gaya khas anak balita, memberi tahu keberadaan Rio yang sedang berada di ruangan tersebut.     

"Papa-papa...!! papi..." Cakra melakukan hal serupa yang dilakukan Anum. Berbeda dengan Anum yang selalu memanggil Rio dengan sebutan moma, sementara Cakra selalu memanggil nya Rio papi.     

"Iya kita kesana."     

Jamal merapikan posisi gendonganan nya. Setelah merasa nyaman, cowok itu berjalan menuju kursi tunggu dimana sudah ada ibu Marta, ibu Hartati, Afkar, Keysa dan beberapa baby sitter disana.     

"Anum... sini gendong uti kacian papa belat cayang." Ibu Hartati berdiri dari duduknya, setelah Jamal dan kedua anaknya sudah berada di dekat mereka. Wanita itu mengulurkan kedua tangan untuk kemudain meraih tubuh mungil Anum.     

"No.. no.. no..." tolak Anum. Tangan mungilnya menyingkirkan tangan ibu Hartati yang sudah bersiap menggendong nya.     

Ibu Hartati mendengkus kecewa. Kemudian ia mengalihkan perhatiannya pada gendongan sebelahnya, lalu mencoba meraih tubuh mungil Cakra. "Yaudah Cakra aja yuk sama uti." Bujuk ibu Hartati dengan lembut.     

"No..." Cakra menggeleng pelan, tangan mungilnya memeluk erat leher kekar Jamal, lalu menyembunyikan wajahnya di sana.     

"Kasian papanya, berat sayang." Bujuk ibu Hartati. Wanita itu merasa kasihan melihat menantunya kerepotan menggendong dua cucunya sekaligus. "Papa capek sayang, kan baru pulang cekolah."     

"Noooo!"     

"No!"     

Tolak Cakra dan Anum dengan suara cadelnya. Ibu Hartati menyerah. Lantas mendengkus sambil menjatuhkan kedua tangannya setelah mendengar teriakan penolakan dari mulut Cakra dan Anum.     

Jamal mengangkat tubuh mungil Cakra dan Anum membenarkan gendongan yang sedikit merosot. "Nggak apa-apa bu. Mereka uda biasa kayak gini. Ibu duduk aja." Cowok itu menoleh ke arah pintu ruangan dimana ada Rio di dalam sana. "Operasinya belum selesai bu?" Tanyanya kemudian.     

"Kayaknya sih udah, tadi udah kedengeran suara bayi nangis," jelas ibu Hartati yang langsung membuat senyum Jamal mengembang, bahagia. "Tapi dokter Mirna sama dokter yang lain belum keluar ruangan, dari tadi. Ibu udah nggak sabar."     

"Udah jenk sini duduk," Celetuk ibu Marta sambil memukul kursi stenlis di dekat ia duduk. "Aku mah udah biasa ditolak Cakra sama Anum. Biarin nanti kalau papa nya pas nggak ada, kita jangan mau gendong mereka."     

Seolah tahu bahwa hal itu tidak akan pernah terjadi dua bayi mungil itu mengabaikan ancaman neneknya. Anum malah tertawa menggemaskan sambil menarik hidung mancung ayahnya. Sementara Cakra masih menyandar nyaman di pundak Jamal sambil mengenyot jempol mungilnya.     

Cakra dan Anum memang seperti itu. Mereka mau digendong nenek-nenek nya kalau sedang tidak ada Jamal atau Rio. Tapi jika Jamal pulang sekolah atau sedang berada di dekatnya, mereka tidak akan mau di sentuh oleh siapapun, termasuk para baby sitter. Mereka seolah seperti memanfaatkan waktu mumpung orang tuanya sedang berada di dekat mereka.     

"Udah ibu duduk aja!" Celetuk Afkar tiba-tiba. "Kak Jems kan kuat. Tuh udah nambah lagi dua. Ntar dedek yang satu depan, yang satunya lagi taru belakang. Trus trus ada lagi deh di perut kak Rio."     

"Afkar!" Keysa memberikan cubitan kecil pada adiknya yang semakin hari semakin menunjukan kenakalan nya. Yang dicubit hanya tersenyum nyengir ke arah Jamal.     

"Afkar nggak boleh ngomong gitu. Nggak sopan sama kak Jems." Tegur ibu Hartati setelah ia duduk di dekat besannya.     

"Nggak apa-apa jeng, namanya juga anak-anak," bela ibu Marta.     

Merasa lelah berdiri sambil menggendong kedua anaknya, Jamal berjalan ke arah Afkar, lalu duduk di kursi sebelah Afkar yang masih terlihat kosong.     

"Huuuft..." Jamal menghela napas sambil menjatuhkan pantatnya pada kursi stenlis tersebut. Sementara Cakra dan Anum masih merasa nyaman digendongannya. Mereka seperti tidak peduli kalau kedua tangan sang papa mulai merasa pegal.     

"Woy..." menggunakan ujung sepatunya, Jamal menyenggol betis Afkar yang tengah duduk di sebelahnya. Hal itu membuat Afkar, refleks menoleh ke arahnya.     

Afkar hanya mendongakkan wajahnya singkat, sambil menyipitkan kedua mata untuk menanyakan maksud sang kakak ipar menyenggol kaki nya.     

"Hari ini, berapa anak yang udah dibikin nangis sama lu?" Tanya Jamal setengah berbisik.     

Afkar tersenyum nyengir setelah menggaruk kepalanya yang tidak gatal, kemudian Afkar dengan malu-malu menunjukan telunjuknya. Artinya hanya satu saja teman yang sudah di buat menangis olehnya.     

"Yaaah satu doang." Jamal mencibir, membuat Afkar mengembungkan kedua pipinya. "Cemen, bikin malu gue aja lu. Minimal tu lima."     

"Habisnya, cuma si mata empat aja yang paling cengeng. Makanya gue seneng kalau dia yang nangis"     

Grek!!     

Suara pintu yang berasal dari ruangan Rio mengalihkan perhatian Jamal, dan yang lainnya. Mereka buru-buru beranjak dari duduknya masing lalu berjalan tergesa mendekati dokter Mirna yang sudah berdiri di ambang pintu.     

"Gimana dok mantu sama cucuku? mereka baik-baik aja kan? Lama amat sih kayaknya udah kedengaran dari tadi suara nangis bayinya." Ibu Marta mengomel lantaran wanita itu sudah tidak sabar.     

Dokter Mirna hanya tersenyum simpul sebelum akhirnya ia menjawab. "Iya maaf bu, kan sekalian kami bersihkan bayi dan Rio nya nunggu sampai dia baikan dulu."     

"Iya ni mama buru-buru amat," omel Jamal kepada ibu Marta. "Ntar kalau operasinya nggak sempurna, kan kasian Rio mah."     

"Ah mama udah nggak sabar." Ibu Marta membela diri.     

"Tapi semua sehat kan dok?" Sela ibu Hartati.     

"Semunya sehat. Dua bayi laki-laki nya juga sehat."     

"Hero...!" Girang Afkar yang membuat semua menoleh ke arah nya. "Laki-laki semua bisa bikin geng."     

"Kita udah boleh masuk kan dok?" tanya Jamal kemudian. Belum sempat dokter Mirna mengangguk, ia langsung nyelonong masuk sambil menggendong Cakra dan Anum diikuti yang lain mengekor di belakangnya.     

Dokter Mirna hanya mematung, sambil menggelang heran.     

"Papi... papi..."     

"Moma... moma..."     

Rengek Cakra dan Anum begitu masuk ke dalam ruangan lalu melihat sosok cowok yang sudah mengandung nya, sedang berbaring di atas tempat tidur.     

Meski wajahnya terlihat lesu, namun Rio tetap memberikan senyum hangat menyambut kedatangan dua anak yang sedang digendong oleh remaja cowok yang sudah ikhlas ia sebut sebagai suami dan dirinya sebagai istri namun di dalam hati.     

"Moma.... moma... moma... moma..."     

"Papi... papi... papi... papi..."     

Cakra dan Anum kembali merengek setelah Jamal berhasil membawa mereka berada di dekat Rio berbaring. Hal itu tentu saja membuat ia sedikit kerepotan.     

"Aduh... Cakra, Anum diem dong sayang papa berat nih?"     

Mengabaikan papanya, Cakra dan Anum terus merengek. Kedua tangan mungilnya seolah ingin meraih Rio yang sedang berbaring.     

"Moma.... moma... moma...!"     

"Papi... papi...!"     

"Iya bentar papi, moma lagi sakit."     

"Udah nggak apa-apa, Cakra sama Anum tidurin aja deket Rio. Dari pada rewel." Saran ibu Hartati setelah ia berdiri di samping tempat tidur.     

Sedangkan ibu Marta, Keysa dan Afkar mereka langsung mendekati ranjang bayi dimana ada dua bayi kembar cowok, yang baru saja dilahirkan oleh Rio melalui jalur operasi caesar.     

"Nggak apa-apa emang?" Jamal ragu.     

"Nggak apa-apa, tarok sini aja." Ucap Rio suaranya masih terdengar lemah. "Dari pada lu nya capek." Rio menggeser sedikit tubuhnya, memberikan tempat untuk Anum dan Cakra supaya tidur di sebelahnya.     

"Yaudah."     

Dengan sangat hati-hati, secara perlahan Jamal menurunkan kedua anaknya di samping Rio yang sedang berbaring. Mereka Cakra dan Anum langsung memeluk erat leher Rio sambil menghujani ciuman di pipinya.     

"Cakra... Anum... pelan," tegur Jamal. Kemudian ia mendudukan dirinya di tepi tempat tidur di samping Rio sambil menjaga Cakra dan Anum supaya tidak banyak bergerak. Jamal dan Rio tersenyum simpul setelah pandangan mereka bertemu, dan saling bersitatap.     

"Kebiasan lu. Mau lahiran nggak ngasih kode dulu." Omel Jamal sambil mengusap penuh kasih kening Rio, menggunakan telapak tangannya. "Gue kan jadi nggak bisa jagain elu."     

"Lu aneh-aneh aja. Mana gue tau kalau mereka mau lahir sekarang." Protes Rio. "Lagian,ada elu apa enggak, mereka tetep lahir kok."     

"Tapi gue kan pingin nungguin lu dari awal sampe akhir." protes Jamal masih belum menerima kenyataan bahwa ia tidak bisa menjaga Rio saat sedang operasi caesar. "Ulangi deh... hamil lagi ntar, lu... yak?"     

Rio melebarkan bola matanya.     

"Udah-udah yang penting semua selamat." Ibu Hartati melerai pertengkaran kecil yang terjadi antara Jamal dengan Rio. "Ri..." panggil ibu Hartati kemudian. "Kamu jangan di biasain manggil nak Jems elu-elu. Dia kan suami kamu, manggilnya yang sopan. Kakak, abang... atau panggil papa gitu lho. Nggak baik kalau nanti anak kalian denger bisa ikut-ikutan."     

Nasehat dari ibu Hartati yang diperuntukkan untuk Rio, membuat senyum Jamal mengambang. Cowok merasa sangat bangga mempunyai sosok mertua seperti ibu Hartati.     

"Bener tuh kata ibu. Mulai sekarang lu panggil gue papa, atau sayang juga nggak apa-apa..."     

Rio memutar bola matanya, jengah. "Ogah... ntar lu makin besar kepala." Ucapnya.     

Jamal mendengkus kesal. Kemudian ia menurunkan kepalanya mendekatkan mulutnya di telinga Rio. "Kalau lu nggak nurut, ntar gue buntingin lagi." Cup! Setelah mencium pipi Rio-- Jamal tersenyum nyengir melihat wajah Rio yang sedang mengerutkan keningnya. "Biar enggak gede, tapi tokcer ya? Udah empat lho..." lanjut Jamal berbisik.     

Rio semakin jengah mendengarkannya.     

"Wah dedek nya cakep-cakep. Ganteng kayak gue banget!" Cetus Afkar tiba tiba.     

Seluruh pasang mata kini menatapnya, tersenyum nyengir seraya menggeleng heran.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.