Cowok Hamil

Gue dipanggil Jems



Gue dipanggil Jems

0"Jamal kenapa lama, Ri?" Tanya ibu Marta yang sudah tidak sabar menunggu Jamal di meja makan.     

"Nggak tau mah, tadi masih di kamarnya Cakra sama Anum." Jelas Rio.     

"Coba di panggil mah," perintah pak Tama kepada istrinya.     

"Biar aku aja mah," ucap Rio. Kemudian ia beranjak dari duduknya.     

"Eh, jangan biar mama aja."     

Rio menjatuhkan kembali pantatnya ke kursi makan, setelah ibu Marta beranjak dari duduknya, lalu melenggang pergi ke arah kamar Cakra dan Anum. Ia terdiam, menatap kosong hidangan yang tertata rapih di meja makan.     

Langkah kaki ibu Marta membawanya hingga sampai pada pintu kamar milik cucunya.     

Setelah merih handle pintu, ibu Marta memutar sambil mendorong pintu tersebut hingga terbuka.     

"Jamal... kamu kenapa?" Heran ibu Marta saat melihat putra nya tengah duduk termangu di lantai di tengah-tengah ranjang bayi milik Cakra dan Anum.     

Jamal buru-buru menyeka air matanya begitu melihat ibu Marta sedang berjalan mendekat ke arahnya. Meskipun kepada ibunya sendiri, Jamal tidak ingin kelihatan kalau ia habis menangis.     

Pantang bagi Jamal menunjukkan air matanya di hadapan orang.     

"Kamu kenapa?" Ucap Ibu Marta setelah ia berdiri di hadapan putranya. "Lho Cakra sama Anum mana?" Ibu Marta terkejut karena tidak melihat Cakra dan Anum di dalam ranjang bayi.     

"Lagi mandi sama Babysiter," jelas Jamal, dengan suara lesu.     

"Oh..." ibu Marta mengerutkan kening melihat raut wajah Jamal kelihatan murung. "Kamu kenapa sih? Kok sepertinya loyo gitu?"     

Jamal menelan ludah. "Rio ma," Jamal mendongakkan kepala, menatap ibu Marta yang masih berdiri di depannya.     

"Kenapa Rio?" Heran ibu Marta.     

"Rio manggil aku Jems."     

Pernyataan Jamal membuat ibu Marta menarik wajahnya, menatap heran pada sang anak. "Emangnya kenapa kalau dia manggil kamu Jems?" Ibu Marta terkekeh pelan sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.     

Kadang, Jamal memang suka lucu. Pikir ibu Marta. "Bukannya kamu pingin di panggil Jems sama semua orang. Ada-ada aja deh, kamu. Udah buruan kita sarapan, papa ama Rio udah nunggu kamu di ruang makan."     

Setelah menyampaikan itu, ibu Marta memutar tubuhnya, berjalan ke arah pintu, mengabaikan perasaan Jamal.     

Bagi ibu Marta, panggilan Jems dari Rio untuk Jamal mungkin biasa. Toh itu memang sudah menjadi keinginan Jamal supaya semua orang memanggilnya Jems.     

Tapi bagi Jamal, panggilan Jems dari Rio itu terasa sangat menyakitkan. Tidak hanya itu, panggilan Jems dari Rio juga seperti dinding yang akan memisahkan dirinya.     

Ibu Marta tidak akan pernah tahu, panggilan Jems dari Rio, membuat Jamal rapuh.     

Setelah melihat ibu Marta keluar sambil menutup pintu, Jamal membuang napas gusar, lantas beranjak dari duduknya. Dengan rona wajah yang masih terlihat lesu, Jamal berjalan malas keluar kamar, menuju ke ruang makan.     

~☆~     

Bapak Tama dan ibu Marta mengerutkan kening, menatap heran kepada Jamal yang sedang menarik kursi makan, lalu mendudukkan dirinya di sana.     

Begitupun dengan Rio, ia juga heran kepada Jamal. Pasalnya Jamal masih telanjang dada dan hanya memakai celana kolor. Rupanya Jamal tidak menuruti kata-kata Rio, supaya memakai baju dulu sebelum pergi ke ruang makan.     

"Nggak bisa pakai baju dulu apa Mal?" Tegur bapak Tama, menatap kesal kepada anaknya.     

Jamal sedang malas berbicara, cowok mengabaikan ayahnya, lalu memulai sarapan paginya.     

Sementara bapak Tama dan ibu Marta hanya menggeleng heran, lantaran hari ini Jamal kembali seperti dulu lagi. Cuek dan susah diatur.     

Rio hanya diam seribu bahasa, wajahnya yang datar menatap Jamal dengan tatapan yang sulit diartikan.     

"Udah Ri, ayo dimakan sarapannya," tegur ibu Marta yang membuat Rio tersentak sadar.     

Rio tersenyum senyum tipis ke arah ibu Marta, kemudian memulai sarapan paginya. Sekilas manik matanya mencuri melirik ke arah Jamal, yang terlihat cuek, tidak mempedulikan lingkungan sekitar.     

Hal itu membuat Rio semakin yakin untuk memutuskan pergi dan menjauh dari cowok itu.     

Pagi ini suasana sarapan pagi berjalan sangat tenang. Tidak ada suara apapun yang keluar dari mulut mereka. Semua tampak terlihat begitu menikmati sarapannya masing-masing. Lebih tepatnya hanya pak Tama dan Bu Marta.     

Jamal dan Rio hanya terpaksa tenang, terpaksa menikmati sarapan pagi mereka.     

Beberapa saat kemudian terlihat bapak Tama menyudahi sarapan paginya. Setelah membersihkan ujung bibirnya menggunakan tisue, pak Tama menoleh ke arah Rio yang baru saja meminum segelas air mineral.     

Rio dan ibu Marta juga sudah menyelesaikan sarapan paginya. Hanya Jamal yang belum selesai.     

"Gimana Ri, apa kamu sudah bener-bener pikirkan masak-masak tawaran papa."     

Jamal menghentikan mengunyah makanan di dalam mulutnya. Cowok itu menatap heran ke arah pak Tama, lalu berganti menoleh ke arah Rio.     

Tawaran apa lagi? Kenapa tidak ada yang memberitahu dirinya?--batin Jamal.     

"Sudah pah," balas Rio. "Aku udah putusin buat terima tawaran dari papa."     

"Baguslah kalau gitu? Soal Cakra ama Anum, kamu nggak usah khawatir. Mereka akan baik-baik saja. Papa ama mama akan menjamin itu."     

Bola mata Jamal melebar, ia menatap bingung ke arah orang di sekitar secara bergantian. Ia merasa seperti tidak dianggap lantaran tidak diberitahu tentang tawaran itu.     

Rio tersenyum simpul, "iya pah."     

Ibu Marta menghela napas lembut saat mendengar keputusan Rio barusan. Wajahnya berubah menjadi murung. "Sebenarnya, mama pingin kamu disini aja. Kenapa sih harus jauh-jauh sekolah ke luar negeri?"     

Deg!     

Bola mata Jamal semakin melebar, kemudian ia buru-buru mengambil segelas air mineral di hadapan nya, lalu meneguknya hingga tandas. Kata-kata luar negeri hampir membuat dirinya tersedak.     

Sumpah demi apa, Jamal tidak tahu soal luar negeri.     

"Pada ngomongin apa sih? Kok nggak ada yang ngasih tau?"     

Sebenarnya tidak ada yang bermaksud menyembunyikan itu dari Jamal. Rio yang meminta supaya tidak buru-buru memberi tahunya. Rio akan memberi tahu Jamal, dan akan menjadikannya sebagai hadiah kedua, sebelum hadiah ke tiga ia berikan. Dan menurut Rio hari ini adalah momen yang tepat, lantaran Jamal sudah terlanjur menagih janji, perihal hadiah itu.     

"Bukan nggak dikasih tau, tapi belum," jelas bapak Tama. "Rio yang minta supaya jangan kasih tau kamu dulu."     

Jamal memutar kepalanya, menoleh ke arah Rio yang juga sedang menatap dirinya. "Lu beneran mau sekolah ke luar negeri?!" Tegas Jamal. Cowok itu berbicara dengan nada yang membentak.     

"Gue nggak mungkin balik lagi ke sekolah yang lama." Jelas Rio.     

"Iya Mal, sementara Rio nanti tinggal di rumah Letta," pak Tama memperjelas.     

Jamal terdiam, sorot matanya menatap tajam ke arah Rio. Deru napas yang memburu lantaran emosi, membuat punggungnya bergerak naik turun. Rahang tegasnya yang mengeras, menunjukkan bahwa ia benar-benar sedang marah.     

Yah, Jamal marah dengan keputusan Rio. Apa Rio belum puas menyiksa batin nya tadi? Sehingga harus ditambah lagi dengan acara pergi ke luar negeri.     

"Gue juga udah siapin jauh-jauh hari. Kalau gue bakal ninggalin Cakra sama Anum. Gue percaya kalau mamah lebih bisa ngurus mereka," beritahu Rio kemudian.     

Brak...!!     

Menggunakan kedua telapak tangannya Jamal menggebrak meja makan dengan sangat kuat--menghasilkan suara keras hingga membuat Rio dan kedua orang tuanya tersentak kaget.     

"Jamal! Apa-apaan kamu ini?" Tegur bapak Tama.     

Mengabaikan bapak Tama, Jamal beranjak dari duduknya sambil meraih pergelangan Rio. "IKUT GUE!"     

Rio hanya pasrah, mengikuti tarikan tangan Jamal yang akan membawanya entah ke mana.     

"Udah pah, biarin."     

Ibu Marta mencegah suaminya yang akan beranjak dari duduknya. Wanita itu tau, kalau pak Tama akan mengejar Jamal dan juga Rio.     

"Itu urusan rumah tangga mereka, kita jangan terlalu ikut campur," ucap ibu Marta mengingatkan. "Kalau mereka salah, baru kita ingatkan."     

"Tapi papa khawatir mereka berantem. Gimana pun juga Rio itu laki-laki. Kalau sampe adu jotos gimana?"     

"Nggak mungkin," sergah ibu Marta. "Buktinya udah hampir sembilan bulan tinggal bareng, mereka baik-baik aja tuh."     

Bapak Tama terdiam, pria memikirkan kata-kata istrinya barusan. Ternyata ibu Marta ada benarnya juga. Menghela napas panjang, pak Tama kembali duduk santai di kursinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.