Cowok Hamil

Gue pengen lihat dia



Gue pengen lihat dia

0"Udah dibilangin, Gue nggak apa-apa!" murka Jamal kepada tiga orang suster yang sejak tadi dengan sangat sabar, membujuk laki-laki itu supaya bisa tenang sedikit.     

Jamal yang dari tadi usil, bergerak kesan dan kemari membuat para suster merasa kesulitan untuk memberikan perawatan pada dirinya.     

Terlihat Afkar yang sedang duduk di sofa sambil melipat kedua tangannya di perut, menatap sebal ke arah Jamal. "Manja banget sih, kak." Ceplos Afkar. Anak laki-laki itu merasa heran dengan tingkah kakak iparnya yang terlihat seperti anak kecil.     

"Aduh!"     

Afkar mengaduh, merasakan sakit saat mendapat cubitan kecil pada bagian pinggangnya. Bukan Jamal yang melakukannya, melainkan Keysa yang sedang duduk di sebelahnya. "Apaan sih kak? kok lu nyubit gue."     

"Hust, diem..." tegur Keysa sambil menutup bibirnya menggunakan jari telunjuk. "Nggak boleh ngomong gitu sama kak Jems."     

Afkar memutar bola matanya malas, memalingkan mukanya ke mana saja, seraya berkata. "Habisnya, kak Jems kayak anak kecil, manja."     

Sementara Letta yang sedang duduk di sofa berbeda, hanya tersenyum kecil melihat kelakuan Afkar yang sangat lucu dan menggemaskan, menurutnya. Kalau boleh jujur, gadis itu mendukung anak kecil itu.     

Sekedar infromasi, Letta sengaja pulang dari Luar Negeri setelah mendengar kabar tentang Rio, dan juga Jamal. Ia ingin secara langsung melihat keadaan Rio, sekaligus liburan di tempat asalnya. Namun Letta harus kecewa lantaran ibu Marta memaksanya supaya menjaga Jamal, untuk membantu menyiapkan apa saja yang diinginkan oleh sepupunya, selama di rumah sakit.     

Sedangkan Keysa dan Afkar diminta ibu Hartati untuk menemaninya agar bisa membantu Letta. Walaupun sebenarnya ketiga anak itu merasa malas menunggu Jamal, namun mereka tidak mampu menolak.     

"Bukan manja Auf, ini namanya kakak kuat. Luka segini mah enggak ada apa-apa nya." Bukan Jamal namanya kalau tidak sombong--walaupun sebenarnya ia merasakan sakit yang luar bisa di sekujur tubuhnya.     

"Nggak apa-apa gimana tuan Jamal "     

"Jems!" Sergah Jamal memperingatkan seorang suster yang baru saja memanggilnya Jamal. "Udah berapa kali gue bilang sus? Panggil gue Jems! ngerti?!" Tegas Jamal sambil menatap kesal ke arah suster tersebut.     

Mendengar itu Keysa mengrenyit, sedangkan Letta hanya memutar bola matanya jengah. Sempat-sempatnya.     

"Oh, iya maaf tuan Jems." Suster tadi meralat panggilannya kepada Jamal. "Maksudnya ini nggak kenapa-napa bagaimana? Orang badan babak belur muka bonyok begini kok." Ujar suster tersebut sambil melilitkan perban di kepala Jamal.     

"Iya tapi gue udah biasa," sahut Jamal ngeyel. Kemudian ia menolah, menatap kesal kepada selang infus yang terpasang pada punggung tangannya. Keningnya mengrenyit melihat air infus yang menetes sedikit demi sedikit, dengan sangat lambat. "Lagian luka luar kenapa harus di infus segala sih sus?"     

Tiga orang suster mendengkus, mereka sudah sangat lelah menjawab pertanyaan-pertanyaan Jamal yang tidak penting menurutnya.     

"Biar cepet sembuh tuan Jems," seorang suster menjawab seadanya.     

"Nggak sabar gue. Lama! Apa gue minum aja kali ya biar cepet."     

Ketiga suster tersebut harus menghela napas secara bersamaan. Mereka berusaha bersabar menghadapi pasien se-unik dan segalak Jamal. Untung ganteng dan orang tuanya terkenal karena kaya. Kalau tidak, mungkin Jamal sudah ditinggal begitu saja oleh para perawat tersebut.     

"Sabar tuan Jems, kan emang harus seperti itu." beritahu seorang suster selembut mungkin.     

"Tapi gue udah nggak sabar pingin liat dia, pingin tau keadaanya." Jamal membuang napas kasar. Wajahnya terlihat murung saat bayangan Rio melintas di benaknya. "Gue khawatir sama dia," ucapnya lembut.     

Ketiga suster tersebut mengerutkan kening, menatap heran ke arah Jamal. Heran dengan perubahan sikap Jamal yang sangat drastis, mulanya galak dan menyebalkan, tapi kenapa jadi terlihat begitu manis kalau sedang diam? dan perubahan itu terjadi setelah laki-laki itu menyebut kata 'dia'.     

Kalau sudah menyangkut soal Rio, Jamal memang selalu lemah.     

"Ngomong-ngomong, dia itu siapa sih?" Kepo salah seorang suster.     

Berarti hebat juga orang yang dimaksud 'dia' oleh Jamal. Bagaimana tidak hebat, baru teringat 'dia' saja, Jamal bisa langsung berubah menjadi lembut. Pikir suster tersebut.     

"Ya... di- dia," gugup Jamal. Ia tidak mungkin memberitahu kepada para suster kalau yang di maksud dia itu adalah laki-laki.     

"Pacarnya ya?" tebak seorang suster.     

"Bukan sus!" Sambar Afkar. "Bukan pacar tapi suami."     

Seluruh pasang mata sontak menatap heran ke arah Afkar yang sedang membuka matanya lebar-lebar, sambil menutup mulutnya menggunakan kedua telapak tangannya yang mungil.     

Sepertinya Afkar sudah keceplosan. Padahal ibu Hartati sudah wanti- wanti supaya Afkar diam saja dan jangan sampai berbicara apapun. Tapi namanya juga anak-anak, kadang suka asal, dan tidak pernah dipikir kalau bicara.     

"Maksud adek saya, istrinya sus," Keysa berusaha meralat kata-kata Afkar. Ia menggigit bibir bawahnya, takut kalau ia sudah salah bicara.     

Selama ini Afkar dan Kesya memang masih bimbang dengan status kakaknya, Rio. Yang membuat mereka bimbang adalah, lantaran jenis kelamin kakaknya itu laki-laki, artinya kalau sudah menikah Rio harus disebut suami. Tapi melihat kenyataan bahwa Rio bisa hamil, dan di buku nikah Rio juga berstatus sebagai seorang istri--walaupun Rio selalu menolak jika disebut istri. Hal itu yang membuat Afkar dan Keysa masih merasa bingung hingga saat ini.     

"Oh, tuan Jems uda nikah ternyata." Ucap seorang suster. "Padahal masih sekolah kan...?"     

"Pernikahan dini dong," suster-suster yang lain jadi ikut menggoda Jamal.     

"Udah dong, gue udah punya istri!" Sahut Jamal dengan sangat bangganya. Ia juga lebih menekankan menyebut kata 'istri'. Mumpung sedang tidak ada Rio di dekatnya, jadi ia tidak akan mendengar protes atau omelan dari Rio. "Istri gue lagi hamil. Kembar lagi."     

Entah kenapa, Jamal merasa leluasa dan sangat puas bisa menyebut Rio dengan sebutan istri.     

"Eh, Jems tante kirim pesan nih," cetus Lettta yang membuat pasang mata menatap ke arahnya. "Katanya lu nggak usah khawatir Rio baik-baik aja. Terus kata dokter Mirna, lima hari lagi Rio mau operasi buat kelahirannya."     

"Hah? Serius lu..." girang Jamal seolah tidak percaya mendengar kabar barusan.     

"Iya kata tante sih gitu," Jawab Letta.     

Jamal membuang napas lega, "jadi nggak sabar gue!" Ucapnya dengan wajah yang berbinar.     

Rio? Operasi kelahiran? Kening para suster berkerut, mereka saling pandang satu sama lain saat mendengar nama 'Rio' yang notabennya adalah nama untuk laki-laki. Tapi kenapa harus operasi kelahiran?     

"Nama istrinya Jems, Riona sus." Celetuk Letta menjawab kebingungan para suster. Letta sempat memperhatikan gelagat para suster saat dirinya menyebut nama Rio. "Cuma kita biasa manggil dia Rio." Setelah menyampaikan itu, Letta membuang napas lega. Semoga saja para suster percaya.     

"Ooh... Riona..." ucap para suster dengan serempak.     

Terlihat Jamal tersenyum nyengir, sambil menatap para suster tersebut secara bergantian.     

~☆~     

Jamal menatap jam yang menempel pada dinding, di kamar dimana ia sedang dirawat. Ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 23.00 waktu Indonesia bagian barat. Sudah hampir tengah malam, tapi bola matanya masih terlihat segar bugar. Tidak ada tanda-tanda bahwa ia sudah mengantuk.     

Ia sama sekali tidak bisa tidur, bahkan tidak ingin tidur sebelum ia bisa melihat keadaan Rio. Setelah membuang napas kasar, dengan susah payah Jamal menggunakan sikutnya untuk menopang tubuh, membantunya beranjak dari tidurnya.     

"Aduh," Jamal mengadu, saat merasakan nyeri pada bagian perut dan juga pinggang nya.     

Mengabaikan sakit yang tengah dirasakannya, Jamal melanjutkan niatnya yang akan duduk menyandar pada sandaran tempat tidur.     

Akhirnya, meski dengan susah payah dan sambil menahan rasa sakit, laki-laki berbalut perban di kepalanya itu, berhasil mendudukkan dirinya. Ia mengedarkan pandangan di sekitar ruangan sambil memikirkan cara agar bisa kabur dari rumah sakit, untuk segera bertemu dengan Rio.     

Senyumnya menyeringai saat melihat Afkar sedang tidur di tempat tidur, bersama dengan Keysa dan juga Letta. Mungkin saja Afkar bisa membantunya keluar dari rumah sakit itu. Pikir Jamal.     

Setelah terdiam sambil berpikir sesaat, dengan sangat hati-hati Jamal turun dari tempat tidurnya. Sambil membawa tiang infus, Jamal berjalan tertatih, mendekati Afkar sedang tertidur nyenyak. Rasa perih pada perutnya membuat ia meringis, dan sedikit kesulitan saat berjalan.     

Namun bukan Jamal namanya kalau ia harus menyerah. Tekad nya sudah bulat. Malam ini juga, ia harus bertemu dengan Rio.     

Akhirnya perjuangan Jamal tidak sia-sia. Langkah lambatnya berhasil membawa ia sampai pada tempat di mana Afkar sedang tertidur.     

"Auf... Afkar," panggil Jamal dengan suara berbisik, ketika ia sudah berada di dekat anak laki-laki itu. Ia menggunakan besi atau tiang infus untuk memukul pelan betis Afkar supaya terbangun. "Afkar bangun..."     

Ternyata tidak sulit membangunkan Afkar. Buktinya, baru beberapa di panggil saja Afkar sudah menggeliat, sambil mengucek matanya.     

"Apaan sih kak?" kesal Afkar dengan suara parau nya. Meski sudah terbangun, tapi wajahnya masih terlihat mengantuk.     

"Pst... jangan keras-keras." Ucap Jamal dengan suara tertahan. Laki-laki itu tidak mau kalau Letta dan Keysa terbangun, karena itu akan menggagalkan rencananya.     

Ibu Marta dan ibu Hartati sudah mewanti-wanti Letta dan Keysa supaya menjaga Jamal dengan baik. Mereka para ibu tidak ingin Jamal keluar dari rumah sakit lantaran kondisinya masih sangat parah, menurut mereka.     

"Kakak mau ngapain, minta di temenin pipis? apa mau di pegangin pipisnya," ucap Afkar polos. "Ogah..." Afkar menguap, kemudian ia menghamburkan tubuhnya kembali di atas kasur. "Ngantuk gue kak, pipis aja sendiri sono..." ucap Afkar dengan mata terpejam, meski belum terlelap.     

Sabar. Hanya itu yang Jamal butuhkan untuk menghadapi anak setengil Afkar. Kalau bukan adik iparnya, mungkin Jamal sudah mengikat Afkar di kamar mandi.     

"Eh, malah tidur. Kakak nggak pingin pipis. Kakak butuh bantuan elu." Jamal kembali memukul-mukul pelan betis Afkar, masih menggunakan tiang infus. "Ayo Afkar bangun..."     

"Tolong apa sih kak?" Tanya Afkar dengan malas, dan mata yang sengaja ia pejamkan.     

"Bantuin kakak ketemu sama kak Rio," jawab Jamal tanpa basa-basi.     

"Mau ngapain? Lu kan masih sakit kak. Ntar gue di marahin ibu sama mama." Afkar terpaksa membuka matanya. Dengan rasa malas anak itu kembali duduk bersila di atas kasur. "Lagian udah malem kak. Ngantuk gue."     

"Ayo dong plis, ntar gue kasih hadiah deh." Bujuk Jamal, tidak mau menyerah.     

"Hadiah? Apaan?" Mendengar kata hadiah, wajah Afkar mendadak segar bugar. Rasa kantuknya mendadak hilang entah kemana.     

"Eum..." Jamal terdiam sambil memikirkan imbalan apa yang pas untuk adik iparnya. "Apa aja deh, lu mau, gue beliin." Ucapnya setelah ia tidak bisa memikirkan sesuatu untuk anak kecil itu.     

Afkar terdiam, ia juga sedang memikirkan sesuatu yang sedang ia inginkan--layaknya anak-anak yang sedang berpikir. "Serius apa aja?"     

"Kakak nggak pernah bohong. Udah ngomong lu mau apa?" Ucap Jamal meyakinkan Afkar.     

"Gue mau dibikinin keponakan lagi, kembar, tapi cowok semua." putus Afkar dengan raut wajah yang seolah memberi tantangan kepada Jamal.     

Permintaan Afkar tentu saja membuat kening Jamal berkerut. Ada-ada saja anak kecil. Tapi demi bisa bertemu dengan Rio malam ini, Jamal menuruti permintaan Afkar. "Oke, ntar kakak bikinin sama kak Rio. Yang penting lu bantu gue."     

"Oke," Afkar memberi acungan jempol kepada Jamal. "Trus gue musti ngapain?"     

"Lu awasin di depan, kalau sepi lu kasih kode ke gue. Terus ntar kalau udah di luar rumah sakit, lu cariin taksi buat kakak. Gimana? Paham?"     

Setelah berpikir selama beberapa saat, akhirnya Afkar menganggukkan kepala, sebagai tanda kalau ia sudah paham. Meski masih sekolah SD tapi otak Afkar sangat encer, sama seperti Rio.     

Setelah terjadi kesepakatan antara Jamal dan Afkar, dengan sangat hati- hati mereka berjalan keluar ruangan dengan Afkar berada di depan, untuk mengintai terlebih dahulu.     

Hingga akhirnya, dengan perjuangan yang cukup merepotkan, Afkar berhasil membawa Jamal keluar dari rumah sakit, sekaligus memesankan taksi untuknya.     

Saat ini keduanya sudah berada di luar rumah sakit, berdiri di dekat taksi yang sedang menunggu Jamal.     

"Lu bisa di andelin juga," puji Jamal, sambil mengacak-acak puncak kepala Afkar. "Pantes jadi adik ipar gue."     

"Gitu doang mah, kecil." Sombong Afkar. "Tapi awas kalau lupa sama hadiahnya. Ponakan kembar cowok semua." Ucapnya mengingatkan.     

Jamal tersenyum nyengir, sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iya ntar gue bikinin." Bagi Jamal urusan hadiah untuk Afkar itu soal gampang. Yang penting, bagimana ia bisa bertemu dengan Rio dulu, malam ini.     

"Udah buruan sono lu balik lagi. Awas jangan ada yang tau kalau gue keluar rumah sakit. Kakak cuma bentar kok nggak sampe dua jam." ucapnya mengingatkan.     

Afkar mengangguk patuh. Tanpa menunggu Jamal pergi menggunakan taksi, anak laki-laki polos itu langsung berlari kembali ke rumah sakit, menyisakan Jamal yang sedang tersenyum bangga, menatap dirinya.     

Sedangkan Jamal baru masuk ke dalam taksi setelah Afkar sudah menjauh dari pandangan, menghilang tertelan oleh jarak. Tidak lama setelah itu bersama taksinya, ia pun pergi ke klinik dokter Mirna untuk menemui Rio. Jangan lupa dengan infus yang masih dibawa oleh nya. Laki-laki itu sudah lupa dengan kata-katanya yang ingin meminum air infus tersebut.     

Jamal menghela napas legah, sambil menyandarkan punggungnya pada jok taksi bagian belakang. Remaja itu mengulas senyum, wajah Rio yang tiba-tiba melintas dibenaknya, membuatnya semakin tidak sabar untuk melihat Rio.     

Entahlah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.