Cowok Hamil

Rio Wiratama



Rio Wiratama

0Jamal tersenyum nyengir, setelah selesai menulis daftar nama--untuk calon bayinya, di atas kertas folio. Sebelum menggunting dan menggulung nama-nama yang tertulis pada kertas tersebut, Jamal membaca kembali daftar nama yang ia dapatkan dari internet dan beberapa diantaranya, hasil dari pemikiran sendiri.     

Kertas catatan Jamal-     

Nama cewek untuk anaku sayang;     

1. Safira Anggia Nuraini     

2. Zhefania Jario Rasaqaf     

3. Olivia Riona Jamaludin     

4. Riquena Zafier     

5. Queensa Aqueela JR     

Nama cowok untuk anaku sayang;     

1. Rengganis Dewantara     

2. Abimana Cakra     

3. Nathan Putramario     

4. Riomal Putra     

5. Jamario Aksara Maheswara     

Menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya Jamal hembuskan secara perlahan. Terlihat bola mata Jamal berbinar setelah ia selesai membaca ulang daftar nama untuk calon bayinya. Ada perasaan haru muncul dalam dirinya, yang membuat bibirnya tidak berhenti mengulas senyum. Entahlah, Jamal seakan tidak percaya kalau dirinya akan menjadi seorang ayah.     

Awalnya Jamal memang menganggap itu adalah sebuah musibah--lantaran mendapatkan anak dari seorang yang berjenis kelamin laki-laki. Tapi setelah ia mengenal lebih dalam tentang laki-laki yang sedang mengandung bayinya, lambat laun ia menganggap musibah itu menjadi sebuah anugerah.     

Jamal sudah tidak perduli lagi dengan jenis kelamin dari orang tersebut. Sebab dari orang itu Jamal jadi belajar banyak hal. Ia jadi bisa belajar hidup mandiri, ia juga jadi tahu betapa pentingnya belajar, demi masa depannya. Dari orang itu juga, Jamal jadi bisa merasakan sebuah debaran, yang tidak pernah ia rasakan kepada siapapun.     

Jamal menghela napas, ia benar-benar sangat bersyukur dan berterima kasih kepada takdir yang telah memberikan ia musibah terindah dalam hidupnya. Musibah yang kini telah berubah menjadi sebuah anugerah.     

Jamal memutar kepalanya, ia melihat Rio yang juga sedang membaca nama-nama anak yang baru saja ia tulis.     

Tidak jauh berbeda dengan Jamal, Rio juga terlihat bahagia, dan tidak berhenti tersenyum saat sedang membaca tulisan tersebut.     

"Yo!" Panggil Jamal.     

"Hem," sahut Rio tanpa menoleh ke arah si pemanggil. Ia sedang asik membaca dengan teliti tulisannya.     

Ngomong-ngomong, Rio kini sudah terbiasa dengan panggilan baru yang diberikan oleh Jamal. Mau bagaimana lagi? Jamal tidak mau merubahnya, dan keukeuh memangilnya 'Yo'.     

"Gue udah beres, punya gue, namanya bagus-bagus." Ucap Jamal, sambil melihat lagi catatannya. "Jadi pingin make semua. Biar panjang, kayak kereta."     

Setelah menyampaikan itu, Jamal tersenyum nyengir. Menggunakan kedua telapak tangannya--yang masih memegang selembar kertas, Jamal menetupi keningnya yang akan mendapatkan pukulan dari Rio.     

"Jangan becanda," kesal Rio. Ia mengurungkan niatnya yang akan memukul kepala Jamal.     

"Iya sory..." ucap Jamal. Kemudian ia melihat kertas catatan nama anak, yang masih dipegang oleh Rio. Merasa penasaran, tanpa meminta ijin kepada pemiliknya, Jamal langsung merampas kertas itu dari tangan Rio. "Coba liat punya elu!"     

"Main sambar aja, Jamal!" Kesal Rio sambil mencoba merampas kembali catatannya yang sudah berpindah ke tangan Jamal. "Balikin!"     

"Pelit amat! Gue kan mau liat." Jamal menjauhkan kertas tersebut dari jangkauan Rio, ia juga mencekal pergelangan Rio, yang akan merampas kembali catatannya, sambil membaca daftar nama yang ditulis oleh Rio dengan sangat rapih.     

Kertas catatan Rio-     

Nama untuk anak perempuan;     

1. Phelia     

2. Arsyla Queensa Jario     

3. Athena     

4. Shafina Anum     

5. Aurelia putri Mario     

Nama untuk anak laki-laki;     

1. Angkasa     

2. Niklas Azri Radithiya     

3. Juan Putra Jamar     

4. Fariz Alhaera Saputra     

5. Shailendra Adia Rizki     

"Nih, gue balikin." Jamal memberikan kertas tersebut kepada Rio, setelah ia selesai membacanya. Ia mendengkus kesal, lantaran nama-nama yang ditulis oleh Rio, tidak kalah bagus dengan nama yang ia tulis. "Punya lu nggak ada yang bagus. Mending punya gue." Jamal mencibir.     

Rio memutar bola matanya, jengah. "Percumah debat sama elu!" Ia sedang tidak ada mood untuk bertengkar dengan Jamal. Percumah, karena tidak akan ada ujungnya. Ia lebih memilih mengambil gunting--yang sudah ia siapkan sebelumnya, lalu memotong nama-nama yang sudah ia tulis pada kertas folio.     

"Sini, biar gue aja yang motong, lu yang gulung."     

Jamal mengambil paksa gunting dari tangan Rio, berikut kertas catatannya.     

"Jamal! Lu main rampas aja dari tadi!" Murka Rio sambil menatap marah ke arah Jamal. "Kesel gue sama lu!"     

Lantaran sedang bahagia, Jamal sama sekali tidak menanggapi kemarahan Rio. Ia malah memasang raut wajah cuek, dan menyebalkan. "Udah, nggak usah protes. Dikasih kerjaan yang enak!"     

Dengan santai dan cueknya, Jamal mulai menggunting kertas pada tiap-tiap bagian yang sudah tertulis nama untuk calon anak mereka. Ia juga terlihat mengabaikan Rio yang masih merasa kesal kepadanya.     

"Bisanya cuma bikin kesel orang aja," omel Rio sambil memungut potongan kertas yang jatuh, setelah di gunting oleh Jamal, lalu menggulungnya.     

Tidak lama kemudian, Jamal sudah menyelesaikan tugasnya, memotong semua kertas bertuliskan nama-nama untuk bayi mereka.     

Begitupun dengan Rio, ia juga sudah selesai menggulung semua kertas yang digunting oleh Jamal--lalu memasukkan kedalam gelas yang berbeda yang sudah ia siapkan sebelumnya. Setelah menutup kedua gelas tersebut dengan kertas, kemudian Rio mengikat menggunakan karet, lalu menusuk kertas penutup menggunakan bolpoin.     

"Beres," ucap Rio setelah ia memberi lubang pada kertas penutup gelas tersebut.     

"Kocok sekarang aja, ya penasaran gue." Ucap Jamal sambil mengambil satu gelas dan mulai mengocoknya.     

"Eh, jangan!"     

"Kenapa?" Heran Jamal.     

"Ntar aja, nunggu bayinya lahir. Biar sekalian tau jenis kelaminnya." Jelas Rio.     

"Halah, kelaman!" Jamal mendengkus. "Katanya sekarang."     

"Sabar Jamal, jangan buru-buru!" Ucap Rio, ia terpaksa menaikan nada suaranya--sambil melebarkan bola mata, supaya Jamal mau menuruti kemaunnya.     

Dan ternyata benar, Rio sukses membuat Jamal mengikuti kata-katanya. Dengan raut wajah yang kesal dam kecewa, Jamal meletakan kembali gelas tersebut di atas kasur.     

"Riooo.... Jamaaal....!"     

Lengkingan suara seorang wanita--berasal dari ruang tamu, yang meneriakan nama mereka, membuat Jamal dan juga Rio mengerutkan kening. Keduanya terdiam sambil mendengarkan kembali suara tersebut.     

"Sayang kalian dimana?"     

Suara itu kembali terdengar, kali ini jaraknya semakin mendekati kamar mereka. Namun mendengar dari suaranya itu Jamal dan Rio sudah bisa menebak siapa yang sudah datang ke rumah tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu.     

"Kalian lagi ngapain?"     

Tebakan Rio dan Jamal sangat tepat, saat ibu Marta sudah berdiri di ambang pintu kamar mereka. Pintu yang tidak ditutup, membuat ibu Marta bisa langsung nyelonong masuk kedalam kamar. Namun kali ini ibu Marta tidak datang bersama ibu Hartati. Melainkan bersama suaminya--bapak Wiratama, yang masih mengenakan setelan jas, dan membawa tas kerjanya. Mungkin bapak Tama baru saja pulang dari kantor.     

"Gimana kabar kamu sayang?" Tanya ibu Marta setelah ia duduk di tepi ranjang, berdampingan dengan Rio. Dengan lembut, telapak tangannya mengusap penuh kasih puncak kepala Rio.     

Sementara bapak Tama duduk di kursi, yang baru saja diambilkan oleh Jamal. Pak Tama sempat mengerenyit heran, saat Jamal mengambilkan kursi untuk dirinya. Ternyata Jamal memang sudah banyak berubah.     

"Baik mah," Jawab Rio. Kemudian ia menoleh ke arah bapak Tama--sudah Jamal sedang berdiri di belakanya, sambil memegang sandaran kursi yang sedang di duduki oleh bapak Wiratama. "Tumben papa ikut?" Tanya Rio, yang secara tidak langsung mewakili Jamal.     

"Kebetulan papa lagi nggak sibuk, sekalian ada yang pingin kami sampaikan sama kamu, Ri." Sorot mata pak Tama lurus menatap perut Rio yang sudah semakin gendut. Melihat perut gendut itu pak Tama benar-benar tidak menyangka, ternyata Rio benar-benar Hamil. "Gimana kandungan kamu Ri? Apa bayinya sehat?"     

Rio tersenyum simpul, secara reflek ia mengusap perutnya seraya berkata, "sehat kok, pah."     

"Baguslah kalau begitu." bapak Tama mengangguk-anggukan kepalanya.     

"Tadi papa mau nyampein apa sama Rio?" Celetuk Jamal. Ternyata sejak tadi ia menyimak pembicaraan ayahnya. Tiba-tiba saja ia menjadi penasaran.     

"Ohiya." Bapak Tama mengambil tas kerja yang ia taruh di lantai. Setelah membuka tas tersebut, bapak Tama mengambil beberapa map file dari dalam tasnya, lalu ia berikan kepada ibu Marta. "Mama aja yang menjelaskan." Ucapnya.     

Jamal dan Rio hanya menatap nya bingung.     

"Apaan tu ma?" Tanya Jamal penasaran.     

Senyum keibuan terbit dari bibir bergincu milik ibu Marta. Sorot matanya menatap teduh ke arah Rio, yang sedang menatapnya datar.     

"Rio..." ucap ibu Marta dengan lembut. "Mama kan udah pernah janji sama kamu, kalau kalian sudah menikah, mama akan kasih dua puluh lima persen dari harta kami ke kamu." Ibu Marta meletakan map tersebut di atas paha Rio--membuat cowok hamil itu semakin bingung dan tidak mengerti.     

Tiba-tiba saja kening Rio berkerut saat ia membaca tulisan 'RIO WIRATAMA' yang ditulis dengan huruf timbul pada sampul map tersebut.     

"Itu map berisi dokumen, Ri?" Ucap ibu Marta menjawab kebingungan Rio. "Pengacara papa udah selesai memindah atas nama kepemilikan beberapa perusahaan kami. Hotel bintang lima dan restoran yang ada di kota wisata, udah resmi jadi milik kamu sekarang." Jelas ibu Marta. Setelah itu ia kembali tersenyum simpul.     

"Satu lagi, salah satu stasiun TV swasta yang ada di kota ini juga jadi milik kamu," imbuh bapak Tama. "Jangan bingung sama nama belakang kamu sekarang." Ucap bapak Wiratama saat ia melihat telapak tangan Rio merabah tulisan 'RIO WIRATAMA' pada map yang ada di pangkuan cowok itu.     

"-bagaimanapun juga kamu sudah jadi bagian dari keluarga kami, jadi kamu berhak menyandang nama Wiratama di nama belakang kamu. Pengacara papa udah mengurus semuanya." Imbuh pak Tama menjelaskan.     

Wajah datar Rio menatap satu persatu pak Tama dan ibu Marta secara bergantian. Meskipun ia tersenyum, tapi sangat tipis, dan hampir tidak terlihat. Entahlah, mendapatkan harta begitu banyak, tapi Rio tidak terlihat begitu bahagia.     

"Makasih pah... mah... tapi apa tidak terlalu berlebihan?" Rio juga tidak menyangka, dua puluh lima persen dari harta kekayaan keluarga Jamal ternyata sebanyak itu.     

Ibu Marta mengehela napas lembut sebelum akhirnya ia menjelaskan. "Kamu berhak Rio. Kamu udah kasih keluarga kami cucu yang nantinya juga akan meneruskan perusahaan kita. Kamu juga udah bikin Jamal jadi bisa berubah-"     

"Tadinya sebelum kamu datang ke rumah, mama udah punya rencana buat nyariin jodoh buat Jamal. Mama pingin Jamal berubah, dia butuh orang yang bisa menuntun dia. Soalnya mama ama papa juga udah angkat tangan."     

Jamal memutar bola matanya malas saat mendengar kata-kata ibunya barusan.     

"-dan mama enggak nyangka, ternyata orang yang dibutuhkan sama Jamal itu kamu."     

Wajah Rio berkerut, mendengar kalimat ibu Marta. Rasanya terdengar aneh. Secara tidak sengaja ia menoleh ke arah Jamal yang kebetulan sedang menatap dirinya--membuat pandangan mereka bertemu selama beberapa saat.     

Namun sayang, Jamal harus memalingkan wajahnya kemana saja untuk menghindari mata Rio yang sedang menatapnya-dalam. Mau bagaiman lagi? Ia selalu tidak tahan dengan debaran dan juga desiran, tiap kali Rio menatap dirinya.     

"Yah, walaupun kamu laki-laki, tapi nyatanya kamu bisa hamil. Mama enggak perduli soal itu. Mama seneng, bahkan sangat ikhas," lanjut ibu Marta.     

"Lagi pula Ri, kami juga sudah mempertimbangkan semuanya dengan matang. Mama sama papa udah liat catatan kamu di sekolah. Makanya, mama sama papa sudah enggak ragu lagi ngasih ini semua buat kamu." Bapak Tama mengimbuhi.     

"-Jangan khawatir, untuk sementara perusahan itu masih dikelolah sama orang-orang kepercayaan. Nanti kalau kamu sudah selesai kuliah, papa mau, kamu yang mengendalikan perusahaan itu. Tapi tetep pendapatan dari perusahaan itu masuk ke rekening kamu yang sudah dibuat kan sama pengacara papa."     

Rio menghela napas panjang setelah mendengar penjelasan dari ayah mertuanya. Entahla, Rio merasa kalau itu terlalu mudah untuk ia dapatkan. Rio hanya ingin sukses dengan cara sendiri, hasil kerja kerasnya, bukan hasil dari pemberian. Ia terdiam, dan bingung bagaimana cara menolak pemberian itu.     

"Kamu terima ya?" Ucap ibu Marta ditengah kebingungan Rio.     

"Tapi Mah__"     

"Udah deh, nggak usah banyak protes!" Jamal memotong kalimat Rio. Beberapa bulan tinggal bersama Rio, tentu saja bisa membuat Jamal paham akan sifat Rio. Melihat dari raut wajahnya, Jamal sudah bisa membaca kalau Rio akan menolak semua itu. "Terima aja!"     

Ibu Marta tersenyum simpul, kemudian ia mengulurkan telapak tangan, menyentuh pelipis Rio, lalu mengusapnya lembut. "Mama sama papa yakin, kamu bisa."     

Setelah menyampaikan itu, secara tidak sengaja ibu Marta melihat dua buah gelas yang sudah dibuat seperti kocokan arisan. Merasa penasaran, kemudian ibu Marta mengambil benda tersebut.     

"Ini apa, Ri? Kalian mau arisan?" Heran ibu Marta, sambil melihat dua buah gelas yang sudah berada di tangannya.     

"Oh, anu mah," gugup Rio sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Itu buat nentuin nama."     

Kening ibu Marta berkerut menatap dua benda di tangannya.     

Rio menjelaskan kronologi kenapa mereka sampai harus membuat kocokan arisan, untuk menentukan nama calon bayi mereka.     

"Kalian ada-ada aja deh," komentar Ibu Marta, setelah Rio selesai menjelaskan tentang gelas arisan tersebut. Ia sempat terkekeh melihat tingkah kelakuan anak dan menantunya.     

Ibu Marta membuang napas lembut, sambil menatap Jamal dan Rio secara bergantian. Walaupun sudah bisa dikatakan mandiri, tapi usia mereka masih belasan tahun. Jadi sifat kekanakan masih melekat pada diri mereka. Ibu Marta bisa memaklumi.     

"Kenapa enggak USG aja, Ri?" Celetuk pak Tama memberi ide. "Jadi bisa sekalian tahu jenis kelamin anak kalian."     

"Aku setuju sama papa," serga Jamal penuh semangat. "Penasaran banget soalnya. Jadi nggak harus nunggu lahir dulu buat nentuin nama."     

"Kalau gitu, besok mama yang telfon dokter Mirna, biar dia siapin semuanya," Usul ibu Marta. Kemudian ia menoleh ke arah Rio. "Gimana Ri? Kamu setuju kan?"     

"Em... yaudah deh, mah." Rio mengangguk patuh.     

"Yes!" Girang Jamal di dalam hatinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.