Cowok Hamil

Tamu tak diundang



Tamu tak diundang

0Deg!!     

Bola mata Rio melebar, jantungnya seperti akan loncat dari tempatnya, saat ia sudah mengetahui sipa pelaku yang baru saja mengetuk pintu Rumahnya. Kening Rio berkerut, manik matanya menatap heran kepada remaja yang sedang berdiri tepat di hadapannya.     

Rio menelan ludah, sebelum akhirnya ia membuaka suara. "He-Heru?" Ucap Rio seakan tidak percaya. Nada suaranya juga terdengar gugup. "Lu-lu di sini?"     

Aduh! Gawat! Rio berdiri mematung, sambil kembali menelan ludahnya susah payah. Kehadiran Heru yang tiba-tiba membuat tubuhnya mendadak lemas. Dari mana Heru tahu? Pikir Rio.     

Heru membuang napas legah, kemudian remaja itu mengulas senyum. "Syukur deh Ri, akhirnya gue bisa nemuin elu."     

"Lu-lu nyari gue?"     

"Ya iya lah Ri. Pas gue tau lu nggak sekolah gue kepikiran. Gue takut lu kenapa-napa pas habis jatoh kemaren. Makanya gue sengaja bolos buat nyariin elu?" Jelas Heru. Jangan lupakan senyum penuh arti remaja itu.     

"Kok lu bisa tau kalo gue di sini?" Tanya Rio penasaran.     

Heru mengehela napas panjang sebelum akhirnya menjawab. "Tadinya gue tanya sama Jems, cuma nggak dikasih tau sama dia. Malah gue dibentak-bentak sama tu anak. Lu tau sendiri lah, si Jems songongnya kayak apa?" Heru membuang napas kasar. "Ngeselin."     

Rio mengangguk-anggukan kepalanya, tanda bahwa ia sependapat dengan Heru yang mengatakan kalau si Jamal itu songong.     

"-untungnya gue inget, kemaren Jems kan bawa elu pake mobil gue. Trus gue ngecek riwayat perjalanana mobil gue lewat GPS, mangkanya gue bisa nemuin elu..." lanjut Heru menjelaskan kebingungan Rio. "Di sini."     

"Oh..." entahlah Rio sudah tidak mampu berkata-kata lagi.     

"Eh gue boleh masuk kan?"     

Permintaan Heru membuat Rio terdiam sambil menelan ludahnya susah payah. Setelah beberapa saat berpikir akhirnya Rio-pun mengangguk ragu. "B-boleh..."     

Senyum Heru mengembang.     

~☆~     

"Tunggu bentar Ru, gue ambilin minum," ucap Rio setelah Heru menjatuhkan pantatnya di sofa ruang tamu.     

"Udah Ri, nggak usah repot-repot."     

"Nggak apa-apa."     

Dengan wajah yang datar Rio berjalan menuju ke dapur meninggalkan Heru yang sudah duduk nyaman, sambil menebarkan pandangannya di ruang tamu.     

Meski Rio berusaha untuk bersikap tenang, tapi tidak bisa dipungkiri kalau di dalam sana, hatinya benar-benar gelisah. Lebih tepatnya tidak nyaman dengan kehadiran Heru yang tiba-tiba. Tentu saja Rio sangat khawatir kalau-kalau semua rahasianya akan terbongkar. Hal itu juga membuat Rio menjadi semakin kesal kepada Jamal.     

Yah, semua gara-gara Jamal! Seandainya Jamal tidak ceroboh dan bisa berpikir panjang, Heru tidak akan menemukan alamat rumah barunya. Selama menyiapkan minuman untuk Heru, Rio tidak henti-hentinya menyalahkan kebodohan Jamal.     

Beberapa saat kemudian, Rio sudah kembali lagi ke ruang tamu sambil membawa nampan. Di atas nampan itu ada sebotol air mineral yang baru saja ia ambil dari kulkas, berikut satu gelas kosong.     

"Lu sekarang tinggal di sini, Ri" Kepo Heru ditengah Rio sedang meletakan minuman yang diperuntukkan untuk dirinya.     

"Enggak, ini rumah sodara gue," jawab Rio terpakasa berbohong.     

Heru mengangguk-anggukan kepalanya, "oh... trus yang nganter lu ke sini, Jems?"     

"I-iya," gugup Rio. "Kebetulan rumah sodara gue lagi kosong, jadi sementara waktu gue tinggal di sini. Makanya gue minta Jamal nganter gue ke sini." Rio menelan ludah. "Gue nggak mau Jamal ke rumah gue."     

"Oh," sahut Heru. "Nggak nyangka gue, ternyata bisa baik juga tu anak." Ucap Heru yang ditanggapi dengan senyum kecut oleh Rio.     

Rio semakin merasa tidak nyaman dengan kebohongan yang ia buat sendiri. Seumur hidupnya, Rio hampir tidak pernah berkata bohong. Makanya ia terlihat sangat gugup saat menyampaikan sesuatu yang tidak benar meskipun untuk kebaikan. Selain itu ia harus berhati-berhati berbicara dengan remaja seperti Heru. Pasalnya, di sekolah, Heru adalah salah satu anak paling pintar setelah dirinya.     

Selain itu Rio juga sering dipasangkan dengan Heru kalau ada olimpiade antar sekolah. Karena itu, Rio tahu persis bagaimana cermat dan detailnya Heru. Makanya ia merasa khawatir kalau Heru akan menyaring semua pembicaraannya.     

"-ohiya minum dulu, Ru." Rio berusaha mengalihkan pembicaraan supaya Heru tidak mengorek lebih dalam lagi tentang rumah yang ia tempati sekarang. "Ngomong-ngomong kok tumben sih, lu berani bolos?" Tanya Rio ditengah Heru sedang menuangkan sebotol air mineral ke dalam gelas.     

Heru menghembuskan napas legah, setelah ia berhasil menghabiskan satu gelas air mineral. Setelah meletakan gelas tersebut di atas meja, tatapannya kembali fokus menatap wajah Rio--remaja yang ia kagumi dalam diam. Baik dari segi wajah, fisik, dan juga otaknya yang cerdas.     

"Kan gue udah bilang, gue khawatir sama elu," jawab Heru mengingatkan. Ia berbicara dengan nada yang sangat lembut dan penuh perasaan. "Gue kira lu kenapa-napa. Soalnya lu nggak masuk sekolah gara-gara jatuh kemaren."     

"Oh, iya s-sory gue lupa." Heru sukses membuat Rio mendadak pikun, bahkan terlihat bodoh. "Gue nggak apa-apa, jatuh dikit doang." Rio sempat terharu saat mendengar Heru terlalu mengkhawatirkan dirinya. "Tapi thank's ya, lu emang temen baik gue."     

Heru mengangguk-anggukan kepala, sambil tersenyum tipis. Kata teman yang diucapkan sama Rio juga membuat wajahnya menjadi datar. Ia terdiam, sorot matanya lurus menatap wajah Rio selama beberapa saat-membuat yang ditatap mengerenyit heran.     

"Ri, perasaan lu beda sekarang." komentar Heru kumdian.     

"Beda apanaya?" Heran Rio.     

"Gue peratiin lu makin gemukan."     

Deg!     

"Em." Komentar sarkas Heru membuat Rio harus menelan ludahnya susah payah. Secara diam-diam telapak tangannya menarik kedepan kaus longgar yang ia kenakan, untuk menutupi perut supaya tidak terlihat gendutnya.     

"Ah, masak? Emang sih banyak yang bilang gitu. Lagi doyan makan gue." Rio menjawab sewajarnya supaya Heru tidak terlalu berpikir yang macam-macam. Remaja itu juga berusaha mati-matian supaya tidak terlihat gugup dipenglihatan Heru.     

"Tapi tetep cakep kok," celetuk Heru tiba-tiba.     

"Apa?" Hal itu sontak membuat Rio terkejut, hingga membuat ia mengerutkan kening. Menatap bingung remaja itu.     

"M-maksud gue, biar gemuk juga lu tetep jadi idola sekolah. Kata anak-anak cewek lu kan cakep." Jelas Heru. Ia terlihat salah tingkah setelah menyampaikan itu.     

"Oh... bisa aja lu." Jangan salahkan kalau rona wajah Rio menjadi bersemu merah. Siapa sih yang tahan dengan pujian?     

Beberapa saat kemudian, terlihat Heru melihat arloji yang melingkar di pergelangannya. "Ri, gue balik dulu ya solanya gue mau ke toko buku."     

Sebenarnya Heru cuma beralasan saja sih. Heru buru-buru pamit akibat salah tingkah yang melanda, membuat ia jadi merasa tidak nyaman. Selain itu, hanya berdua saja dengan Rio juga membuat perasaannya menjadi tidak menentu.     

Akhirnya kata yang ditunggu-tunggu oleh Rio meluncur juga dari mulut Heru. Bukan bermaksud mengusir, tapi karena keadaanlah yang memaksa Rio harus bersikap demikian.     

Dalam diam, Rio menghembuskan napas legah. "Lha... kenapa buru-buru?" Ucap Rio basa-basi.     

"Nggak apa-apa, yang penting gue udah tau kalau lu baik-baik aja," ucap Heru. Setalahnya, remaja itu beranjak dari duduknya.     

"Iya gue nggak kenap-napa. Thank's ya lu udah nengokin gue." Dengan sangat hati-hati Rio beranjak dari duduknya sambil berusaha susah payah melonggarkan kaus bagian depan--supaya perutnya tidak terlihat menonjol. Sangat merepotkan sekali. "Ohiya, kalo temen-temen nanya, bilang gue nggak apa-apa."     

"Oke sip, tapi lu besok sekolah kan?"     

Pertanyaan Heru membuat Rio kembali tersenyum kecut. Setelah beberapa saat terdiam, kemudian Rio menganggukan kepalanya, ragu. "Iya, gue sekolah." Rio terpaksa berbohong kembali, supaya Heru tidak semakin kepo dan cepat keluar dari rumahnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.