Menjadi Istri Sang Bintang Film

Ayah, Ning Ning Berdarah



Ayah, Ning Ning Berdarah

0Gu Yanzhi sudah menasihati ibunya berkali-kali, tapi dalam hatinya ia juga paham dengan risiko pekerjaan ibunya. Jadi, percuma saja ia terus menasihatinya.     

Hanya saja, setiap kali Gu Yanzhi akhirnya bisa pulang, ia selalu melihat ibunya kelelahan. Bagaimana mungkin ia tidak merasa tertekan sebagai seorang putra?     

"Ibu bersandar saja, istirahatlah dulu."     

"Hm. Kalau Xu Xu dan lainnya sudah datang, segera bangunkan aku."     

"Iya."     

Sekitar lima belas menit kemudian, dari kejauhan terlihat rombongan tim mobil mewah yang berbaris di jalan. Seketika Gu Yanzhi mengerutkan kening saat melihatnya.     

Benar saja, rombongan mobil itu berhenti di dekatnya.     

"Selamat pagi, Kakak Ipar."     

Gu Yanzhi sudah sering melihat wajah yang tidak menyenangkan itu tapi tetap ingin memukulnya.     

Jangan tanyakan alasan kenapa Gu Yanzhi ingin memukul pria itu. Begitu tatapannya beralih ke arah tengah mobil, terlihat kaca jendela mobil sudah terbuka, "Uncle, Uncle, selamat pagi ~"     

"Xiao Ning Ning, selamat pagi."     

Padahal mereka berdua adalah ayah dan anak, tapi Gu Yanzhi memperlakukan kedua orang itu dengan sangat berbeda. Saat ia melihat wajah imut keponakannya, ia menunjukkan senyuman lebar di wajahnya.     

Jiang Tingxu turun dari mobil dan menghampirinya, "Selamat pagi, Kakak."     

"Pagi."     

Jiang Tingxu melihat ke dalam mobil melalui jendela. Tentu saja ia melihat Wen Jie yang sudah tertidur di dalam, "Bibi Wen ada shift tadi malam?"     

Gu Yanzhi tidak berdaya, "Aku benar-benar tidak bisa membujuknya."     

"Yah, kecuali Bibi Wen pensiun. Jika tidak, selamanya juga tidak akan mau kamu bujuk."     

Ini sama sekali bukan masalah bisa membujuk atau tidak. Sebagai dokter, kita tentu memiliki pemahaman yang lebih baik tentang situasi di rumah sakit. Tapi, sepertinya akan sulit bagi Bibi Wen untuk pensiun.     

Jiang Tingxu memberi isyarat ke mobil di belakangnya, kemudian ia langsung naik ke mobil Gu Yanzhi. Sementara ayah dan anak yang masih berada di dalam mobil terkejut melihat tindakannya.     

Si Kecil langsung bersandar di belakang kursi pengemudi, "Ayah, Jiang Tingxu naik ke mobil Uncle."     

Mo Boyuan menghembuskan napas dingin beberapa kali, "Aku juga melihatnya."     

"Kalau begitu bagaimana?"     

Pria itu melirik si Kecil yang kini duduk di sampingnya, "Mo Zhining, kamu sangat tidak berguna! Kamu bahkan tidak bisa menjaga ibumu, bagaimana bisa kamu berguna?"     

Memangnya masalah ini bisa dilimpahkan kepada anak kecil?      

Ayah, bisa tidak pikirannya lebih masuk akal?     

"Heh, Ayah sendiri tidak bisa menjaga istrimu?"     

Benar saja, orang dari keluarga Mo adalah orang-orang licik. Si Kecil juga sama liciknya.     

Mo Boyuan sedikit terkejut mendengar kata-kata putranya, ia benar-benar ingin mengusir bocah nakal ini. Kemudian ia berpikir, Ini anak kandungku, anak kandungku, bukan memungutnya dari tong sampah.     

"Kembalilah ke tempat dudukmu, duduk dengan benar."     

"Baiklah."     

Setelah kembali ke belakang, si Kecil dengan cekatan mengencangkan sabuk pengamannya. Kemudian, mobil mulai berjalan.     

Bagaimanapun, jarak Jincheng cukup jauh dengan Yuncheng. Setidaknya butuh tiga hingga empat jam menggunakan mobil.     

Sepanjang jalan, mereka tidak berbicara sama sekali. Si Kecil merasa sangat bosan dan hanya bisa bermain dengan jari-jarinya sendiri.     

Saat bermain-main dengan jarinya, secara tidak sengaja pinggiran kukunya terkelupas. Setelah itu langsung mengeluarkan darah.     

"Huaaa!"     

Tangisan putranya tiba-tiba terdengar dari kursi belakang yang membuat Mo Boyuan juga terkejut, "Ada apa denganmu?"     

Si Kecil mengangkat jarinya yang berdarah dan berkata, "Huaaa... tangan Ning Ning sakit dan berdarah."     

Mo Boyuan dengan cepat melaju ke jalur darurat dan berhenti. Tiga mobil yang mengikutinya juga ikut berhenti.     

Setelah mobil berhenti, Mo Boyuan turun dari mobil dan langsung menuju pintu belakang. Kemudian, ia membuka pintu dari luar, "Ulurkan tanganmu."     

Si Kecil sedang menangis. Ketika melihat ayahnya berdiri di sampingnya, ia dengan cepat mengulurkan tangannya untuk meminta gendong.     

Mo Boyuan sama sekali tidak menuruti kemauan putranya, "Mana yang berdarah? Kenapa bisa berdarah? Tunjukkan dulu lukanya."     

Bocah ini, masih belum mengerti mana yang harus diutamakan terlebih dulu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.