Ingin Kukatakan Sesuatu

Kembali Lagi ke Rumah Keluarga Wangsa!



Kembali Lagi ke Rumah Keluarga Wangsa!

0Semua orang di keluarga Wangsa tiba-tiba mendapatkan pencerahan. Barulah sesudah itu mereka mengerti maksud dari perbuatan Nenek Wangsa.     

Dalam tiga tahun terakhir, Sean sudah menghabiskan waktu paling lama bersama anjing pudel ini. Ada yang mengatakan, "Anjing memandang rendah orang," tetapi di rumah ini hanya anjing ini yang tidak memandang Sean dengan sebelah mata.     

Saat terakhir kali Sean datang, bisa dilihat bahwa Sean dan Holly memiliki hubungan yang sangat dekat. Nenek Wangsa tahu bahwa saat ini hanya Holly yang dapat membuat Sean datang sendiri ke rumah ini. Tidak ada orang lain, termasuk Nenek Wangsa sendiri, yang lebih penting dibandingkan anjing ini.     

Waktu sudah menunjukkan pukul tiga dini hari, tetapi hujan masih saja turun. Bagi semua anggota keluarga Wangsa, malam ini adalah malam tanpa tidur.     

Seperti halnya keluarga Wangsa, Cahyadi juga tidak bisa tidur malam ini. Hanya saja, bukan karena insomnia, melainkan karena harus mematuhi kata-kata ibunya untuk menabur benihnya pada wanita-wanita yang sama sekali tidak dikenalnya     

———     

Keesokan paginya, Sean hendak berangkat ke kantor pukul setengah delapan.     

Saat Sean masuk ke mobil, Sandi menelepon. Dia langsung mengangkatnya dan bertanya, "Ada apa?"     

Sandi terkekeh. "Kak Sean, suaramu terdengar begitu bersemangat. Kamu sudah bangun rupanya! Tadinya aku khawatir mengganggu istirahatmu karena menelepon sepagi ini!"     

"Ada apa? Langsung katakan saja," kata Sean tidak sabaran. Dia juga tahu bahwa sekarang Sandi sangat bisa menempatkan dirinya dan tidak mungkin menghubunginya sembarangan, apalagi membuatnya terganggu.     

"Begini, Kak Sean. Kemarin Holly kejatuhan pot bunga sampai kedua kakinya tidak bisa digerakkan. Kasihan sekali. Dia bahkan tidak mau makan seharian!" terang Sandi, "Nenek bilang sekarang hanya kamu yang bisa memberi Holly makan agar dia mau makan lagi. Apa Kak Sean bisa datang ke tempat Nenek sebentar?"     

Dari perkataan Sandi, Sean tahu bahwa keluarga Wangsa yang ingin Sean datang ke sana. Sementara, cedera yang dialami Holly si anjing pudel bisa saja palsu atau bisa saja benar-benar terjadi. Bahkan, jika Holly benar-benar terluka, tidak mungkin begitu kebetulan terluka segera setelah identitas Sean yang sebenarnya terungkap. Kemungkinan mereka sengaja membuat Holly terluka.     

Sean sangat marah dan langsung bertanya, "Holly terluka? Jangan-jangan kalian sengaja melukainya agar aku datang ke sana?"     

Sandi buru-buru menjawab, "Bagaimana mungkin, Kak Sean? Holly adalah kesayangan Nenek! Kami tidak mungkin berani melukainya!"     

Sean mendengus dingin. "Lebih baik begitu! Saat pulang kerja sore ini, aku akan langsung menemui nenekmu. Beritahu nenekmu bahwa aku akan mengambil Holly! Mengenai harganya, dia bisa membuka harga sesukanya."     

Dari seluruh keluarga Wangsa, hanya anjing ini yang paling Sean inginkan sekarang. Dalam tiga tahun terakhir, Sean dan Holly saling membutuhkan dan tidak ingin meninggalkan satu sama lain.     

Sandi membalas dengan sangat senang, "Baik, baik, baik! Kalau begitu, kami akan menyiapkan makanan dan menunggu kedatanganmu. Sampai jumpa nanti malam, Kak Sean!"     

Setelah beberapa saat, Sean tiba di kantor dan bertemu dengan orang lain yang juga sangat ingin menemuinya.     

Ibu Cahyadi, Lusy Liono, datang mengenakan pakaian yang terlihat cakap dan profesional. Begitu melihat Sean, dia segera tersenyum tipis dan berkata, "Presdir Sean, saya tidak tahu Anda sedang punya waktu senggang atau tidak. Saya ingin berbicara dengan Anda."     

Tanpa perlu menebak, Sean sudah mengetahui apa yang ingin Lusy bicarakan dengannya. Pasti tidak jauh dari memohon bagi putranya dan meminta Sean melepaskan Cahyadi.     

Terlepas dari benar tidaknya perkataan Giana kemarin, Cahyadi sudah menginginkan dan merebut istri Sean. Tentu saja Cahyadi tetap bersalah karena perbuatannya itu.     

Balas dendam Sean pada Cahyadi belum berakhir. Karena itu, dia tidak ingin membahas masalah ini lagi dengan Lusy.     

"Saya sangat sibuk," Sean menjawab dengan dingin dan langsung pergi ke kantornya.     

"Kalau begitu, saya akan menunggu di ruang tamu," sahut Lusy, "Jika Presdir Sean sudah tidak sibuk, saya harap Anda bisa meluangkan sedikit waktu Anda untuk saya."     

Lusy mengejar Sean sambil berbicara di belakangnya, tetapi Sean tidak menjawab maupun mengusirnya.     

Lusy memberikan kesan yang baik pada pertemuan pertama mereka. Sebagai menantu keluarga kalangan atas di Jakarta, dia jauh lebih sopan dan lebih berkelas dari Lana. Mungkin juga karena Lusy lahir dari keluarga yang berasal dari Banten.     

Tentu saja Sean tidak mungkin sepenuhnya sibuk sepanjang hari. Hanya saja, dia tetap membiarkan Lusy menunggu selama itu.     

Di perusahaan Sean, Lusy hanya minum air dan tidak makan barang sesuap pun hanya demi menunggu Sean. Namun, Sean masih tidak memberikan kesempatan untuk bertemu dan berbicara dengannya.     

Pada pukul lima sore, Sean meninggalkan perusahaan dan meminta sopir untuk mengantarnya ke kediaman Nenek Wangsa di Perumahan Kelapa Gading.     

Bisa dibilang, Perumahan Kelapa Gading merupakan tempat yang paling Sean kenal di Jakarta. Selama tiga tahun terakhir, hampir setiap hari Sean bepergian dari apartemen Giana di Alam Sutera ke perumahan ini mengendarai mobil Audi yang dihibahkan Giana.     

Setiap kali Sean datang ke sini, keberadaannya seperti tidak dianggap. Tidak ada orang yang keluar saat dia mengemudi sampai di depan pintu gerbang. Jika kebetulan ada anggota keluarga Wangsa yang berdiri di pintu, tidak akan ada yang melihat apalagi menyapa Sean. Bahkan jika Sean terlebih dulu menyapa mereka, mereka tetap akan mengabaikannya.     

Sean berusaha sangat keras untuk memiliki hubungan yang baik dengan keluarga Wangsa. Dia pernah mencoba mengobrol dengan Sandi tentang bintang NBA, mencoba memuji pakaian Yuana yang indah, dan juga mencoba memberikan beberapa hadiah kecil yang dipilih dengan sepenuh hati untuk Jayadi dan Lana. Namun, semua itu tidak ada gunanya. Setiap kali Sean berusaha, dia selalu diabaikan.     

Hari ini, semuanya berbeda. Ketika Maybach milik Sean tiba di pintu gerbang, semua anggota keluarga Wangsa berdiri di pintu gerbang untuk menyambutnya, termasuk Nenek Wangsa yang berusia 80 tahun.     

"Sekelompok orang angkuh!"     

Ketika Sean yang duduk di dalam mobil melihat ini semua, dia sama sekali tidak merasa bangga maupun senang. Dia hanya merasa bahwa keluarga yang tinggi hati ini membuatnya sangat jijik.     

Setelah mobil Sean berhenti, supir turun dari kursi pengemudi dan bersiap membukakan pintu untuk Sean. Namun, Sandi sudah selangkah lebih cepat dan berkata, "Aku saja! Biar aku bukakan pintunya!"     

Begitu membukakan pintu belakang untuk Sean, Sandi tersenyum dan menyambut, "Kak Sean sudah datang! Ayo, silakan masuk!"     

Sean mengabaikan Sandi, sama seperti bagaimana Sandi mengabaikannya selama tiga tahun terakhir.     

Segera, Lana berlari menghampiri Sean sambil memegang tisu dan ingin menyeka wajahnya. Dia berkata, "Aduh, Sean! Bekerja seharian pasti melelahkan, ya? Lihat, wajahmu sampai berkeringat begini."     

Sean menepis tangan Lana, lalu pergi tanpa membiarkan wanita itu menyentuhnya. Setelah itu, Jayadi mendekat sambil tersenyum padanya dan menyapanya dengan hormat, "Presdir Sean."     

Jayanata sangat bisa menempatkan diri. Seakan sudah sepenuhnya melupakan perlakuan buruknya pada Sean dan kebenciannya pada Sean dulu, dia memuji, "Presdir Sean benar-benar luar biasa! Cara berjalan Anda bahkan lebih berwibawa dari Presdir Hartono!"     

Yuana menatap Sean dengan tergila-gila dan tidak lagi menatapnya dengan jijik seperti sebelumnya. Dia berdandan dengan sangat cantik, mengenakan seragam sekolah, dan datang menyerahkan amplop yang sangat indah pada Sean.     

"Aku menulis puisi ini dan aku ingin memberikannya padamu," kata Yuana.     

Sean tidak mengambil amplop itu. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada Yuana hingga dia menyukai puisi. Namun, berdasarkan pemahamannya tentang Yuana dalam beberapa tahun terakhir dan kemampuan menulisnya, dia tidak pernah menulis sesuatu yang bagus.     

"Sean, kamu sudah datang," Nenek Wangsa tersenyum dan menyapa Sean dengan lembut.     

Sean mendengus jijik. Benar-benar tidak mudah untuk bisa membuat nyonya besar keluarga Wangsa yang agung ini bersikap begitu rendah hati.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.