Ingin Kukatakan Sesuatu

Aku Tidak Mau Menerima Takdirku!



Aku Tidak Mau Menerima Takdirku!

0Sean yang tidak mengerti apa maksud Lusy menatapnya dengan heran. Lusy bangkit dari lantai dan tidak lagi berlutut. Ekspresinya berubah drastis dan pandangan matanya tegas, seolah-olah siap mati dengan gagah berani.     
0

Lusy berkata, "Presdir Yuwono, hari ini suami saya, Singgih dan putra saya, Cahyadi, juga seluruh orang perusahaan Grup Citra Abadi tahu tentang kedatangan saya untuk bertemu dengan Anda."     

Sean mengangguk. "Saya tahu, lalu memangnya kenapa?"     

Lusy sontak berkata, "Malam ini, saya bisa tinggal untuk menghabiskan malam di sini!"     

Sean benar-benar dibuat terkejut. Tidakkah tante ini terlalu sembarangan? pikirnya. Tak lama kemudian, barulah dia mengerti maksud perkataan Lusy barusan.     

Banyak orang tahu bahwa Cahyadi tidur dengan mantan istri Sean dan hal ini membuat Sean, Presiden Direktur Grup Citra Abadi yang bermartabat, sangat malu. Sementara, jika Sean bisa meniduri ibu Cahyadi malam ini, bukankah tidak akan ada orang yang dapat menertawakannya lagi? Balas dendam seperti ini jauh lebih mengagumkan daripada menghancurkan Cahyadi.     

Sean menatap Lusy dengan terkejut dan sama sekali tidak menyangka bahwa Lusy rela berkorban seperti itu demi menyelamatkan putranya.     

"Nyonya Pangestu…"     

Begitu melihat cincin di jari manis Lusy, Sean mulai merasa canggung menghadapi wanita yang dua puluh tahun lebih tua darinya ini.     

Lusy terkekeh dan berkata, "Tentu saja. Saya juga tahu bahwa saya tidak dapat dibandingkan dengan Giana dan Chintia. Saya hanya seorang wanita tua yang sudah layu. Mana mungkin saya bisa menarik perhatian Presdir Yuwono? Jika Anda tidak menyukai saya, saya benar-benar bisa menerimanya dengan lapang dada."     

Sean semakin kebingungan. Bagi Sean, Lusy Liono memang agak tua. Tetapi, di antara para wanita paruh baya lainnya, Lusy termasuk sangat terawat. Bahkan, Lusy tidak lebih buruk dari para selebriti seusianya.     

"Nyonya Pangestu, Anda sangat cantik," kata Sean, "Anda memang lebih tua, tetapi Anda memiliki pesona wanita dewasa yang tidak dimiliki oleh seorang gadis berusia 20 tahun."     

Lusy yang awalnya malu terlihat jauh lebih lega begitu dipuji oleh Sean seperti ini. Namun, Sean melanjutkan, "Meskipun begitu, saya tidak punya pikiran lain tentang Anda."     

Lusy menundukkan kepalanya lagi. Pikirannya untuk menebus dosa putranya kontan sirna.     

"Tapi…" Tanpa diduga, Sean justru berkata, "Saya dengar, Anda cukup pandai bernyanyi. Jika Anda bersedia tinggal di sini dan bernyanyi untuk saya, saya bersedia mendengarkan dengan senang hati."     

Sebelumnya, Sean sudah pernah melihat rekaman Lusy yang sedang bernyanyi dari lingkaran pertemanan Chintia. Sean sangat menyukainya. Lusy memiliki karakter seorang penari di tahun 1930-an dan 1940-an, jadi dia benar-benar ingin menikmati penampilannya.     

Lusy tersenyum lebar. "Presdir Yuwono, saya bersedia bernyanyi untuk Anda semalaman. Saya tidak tahu, lagu seperti apa yang Anda suka? Jika Anda menyukai lagu yang populer akhir-akhir ini, sepertinya saya tidak bisa karena saya tidak pernah mendengarnya."     

"Nyonya Pangestu, maaf atas ketidaksopanan saya. Saat pertama kali melihat foto Anda, saya merasa Anda sangat mirip dengan penyanyi 30-an atau 40-an dari Banten. Selain itu, kebetulan Anda juga berasal dari Banten," terang Sean.     

Sean melanjutkan, "Waktu masih muda, saya sering mendengar Kakek saya menyebutkan bahwa era itu adalah era yang paling berkesan. Banten di era itu mewakili keanggunan, romansa, modernitas, dan gaya klasik. Kakek selalu bercerita tentang para wanita di zaman itu yang mengenakan kebaya dengan anggun sambil memegang selendang, lalu bernyanyi dan menari. Jadi, saya harap Anda bisa menyanyikan lagu-lagu lama."     

Lusy sedikit terkejut. "Ternyata Presdir Yuwono selalu ingin merasakan kembali masa-masa itu. Sebenarnya, lagu-lagu masa itu cukup tua bagi saya dan saya sudah mulai mendengarkan lagu-lagu lain di masa itu. Tapi, ibu saya selalu menyanyikan lagu-lagu lama itu, jadi saya bisa menyanyikannya."     

"Presdir Yuwono, tolong tunggu sebentar," kata Lusy lagi, "Saya akan meminta seseorang membawakan kebaya dan mikrofon untuk saya."     

Sebenarnya Sean ingin mengatakan bahwa dia akan menyiapkan barang-barang ini untuk Lusy. Tetapi, setelah memikirkannya dengan cermat, dia tidak tahu ukuran baju Lusy.     

Setelah sekitar dua puluh menit, Lusy menyuruh seseorang untuk mengantarkan dua puluh kebaya. Sepertinya sehari-hari Lusy memang suka mengenakan kebaya.     

"Presdir Yuwono, silakan pilih salah satu untuk saya."     

Lusy mengeluarkan kebaya-kebayanya. Sean juga mengambil kebaya Lusy begitu saja dan memeriksanya satu per satu. Akhirnya, Sean memilih kebaya ​​​​panjang berwarna krem dan menyerahkannya pada Lusy. "Pakai yang ini saja."     

Lusy mengambil kebaya itu dan dengan hormat berkata, "Baik. Silakan tunggu sebentar. Sesudah berganti pakaian, saya akan bernyanyi untuk Anda."     

———     

Pukul setengah tiga subuh, Singgih sedang merokok di ruang tamu lantai satu rumahnya di Perumahan Kemang. Asbaknya pun dipenuhi rokok.     

Cahyadi turun dengan setengah sadar. Begitu melihat wajah depresi Singgih, dia pun bertanya, "Ayah, ada apa?"     

Singgih mengeluarkan sebatang rokok lagi dan menjawab, "Ibumu pergi menemui Sean dan belum kembali sampai sekarang."     

"Apa?"     

Cahyadi melihat jam. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Dia pun berpikir, Sudah selarut ini, tapi belum juga kembali. Apa yang sedang dilakukan Ibu di rumah Sean?     

"Apa Ayah sudah menelepon Ibu untuk menyuruhnya segera pulang?" tanya Cahyadi.     

"Sudah, tapi ponselnya mati," jawab Singgih.     

"Mati… Untuk apa Ibu mematikan ponselnya? Tidak mungkin terjadi sesuatu pada Ibu, kan?" kata Cahyadi lagi, "Ayah, ayo kita bawa orang untuk mencarinya!"     

Cahyadi berbicara sambil hendak memakai sepatunya. Singgih menghentikannya dan berkata, "Sebelum ibumu mematikan ponselnya, dia mengirim pesan dan memberitahu Ayah untuk tidak mencarinya."     

"Kalau begitu…"     

Wajah Cahyadi membiru karena begitu marah hingga rasanya ingin membunuh orang. Dia sudah menebak apa yang akan terjadi pada ibunya dan Sean.     

———     

Pada pukul lima pagi, Lusy meninggalkan rumah Sean dan kembali ke Kemang. Sementara, Singgih dan putranya sudah menunggu semalaman. Begitu melihat Lusy kembali, Cahyadi segera menghampirinya.     

"Bu, kenapa Ibu tidak pulang semalaman? Apa Sean si binatang buas itu sudah melakukan sesuatu pada Ibu?!" tanya Cahyadi.     

"Cukup! Jangan memprovokasi Sean lagi! Dia bukan seseorang yang bisa kamu lawan!" seru Lusy yang naik pitam, "Cahyadi, Sean telah berjanji padaku untuk tidak mempermainkanmu lagi. Kamu tidak perlu lagi memikirkan cara untuk memiliki keturunan dan juga bisa hidup dengan normal."     

Wajah Singgih memerah dan seolah-olah ingin meledak ketika mendengar perkataan Lusy. Singgih menghampiri Lusy dan menamparnya dengan kejam.     

Plak!     

"Siapa yang mengizinkanmu melakukan ini?! Kamu masih istriku, Singgih Pangestu! Jika kamu berbuat seperti ini, mau ditaruh di mana mukaku?!" Singgih meraung keras.     

Lusy tetap begitu keras kepala dan menimpali, "Aku tidak bisa membiarkan sesuatu terjadi pada putraku! Singgih, bisnis kita sudah berakhir! Kita akan segera menjadi gelandangan miskin! Sejak awal kita ini sudah tidak memiliki muka!"     

"Tidak! Tidak! Tidak!" Cahyadi berteriak histeris dan berkata pada ibunya, "Bu, keluarga Nenek kaya. Keluarga Liono juga keluarga papan atas di Banten. Jika Ibu meminta mereka untuk membantuku, aku pasti bisa membunuh Sean si keparat itu!"     

Lusy menggelengkan kepalanya. "Nak, keluarga Ibu sangat menentang ketika Ibu menikahi ayahmu. Sekarang mereka tidak mungkin bersedia membantu saat ayahmu dalam masalah. Lebih baik terima saja takdir kita."     

"Tidak! Aku tidak mau menerima takdirku!" bantah Cahyadi, "Jika Ibu tidak bersedia meminta bantuan mereka, biar aku saja yang melakukannya! Sean sudah menghancurkan keluarga Pangestu-ku dengan begitu menyedihkan. Akan kubuat Sean membayarnya sepuluh kali lipat!"     

Cahyadi berbicara sambil mengenakan sandal, lalu berlari keluar rumah dengan liar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.