Ingin Kukatakan Sesuatu

Rujuk!



Rujuk!

0Di kamarnya yang redup, Nenek Wanda berbaring di tempat tidur dengan kelopak mata yang setengah tertutup. Dia sedang sekarat. Nenek Wangsa duduk di sampingnya, sementara para anggota keluarga yang lain berdiri di samping.     

Semua orang menunggu ponsel Sean berdering. Mereka tahu bahwa Sean adalah Presiden Direktur Grup Citra Abadi dan orang nomor satu di dunia bisnis Jakarta. Dengan kekuatannya, Sean dapat menemukan kebenaran dengan sangat mudah.     

Keluarga Jayadi sudah sangat gelisah. Mereka takut informasi yang diselidiki oleh teman Jayadi ternyata palsu. Lana terus berdoa pada Tuhan mana pun, "Semoga Tuhan memberkati! Tuhan memberkati! Kabar yang didapat Jayadi pasti benar!"     

Ting! Ting! Ting! Ting!     

Ketika ponsel Huawei Porsche Sean berdering, semua orang menahan napas. Sean melirik layar ponsel dan melihat bahwa panggilan itu bukan dari Pengurus Rumah Tangga Fairus, melainkan dari nomor yang tidak dikenal.     

"Halo?" Sean menjawab telepon.     

Orang di ujung panggilan menjawab, "Halo, Tuan Sean. Saya Juanda Cipta, Kepala Pengadilan Negeri Jakarta."     

"Halo, Pak Juanda." Sean balas menyapa dengan sopan.     

"Mohon maaf sebelumnya. Saya ingin memberitahu bahwa pengajuan perceraian Anda dengan Nyonya Giana Wangsa sebelumnya tidak tercatat dalam sistem pencatatan pernikahan dan akta cerai kalian sudah dipalsukan oleh staf kami. Jadi, akta cerai kalian tidak memiliki kekuatan hukum," Juanda menjelaskan, "Secara hukum, Anda dan Nyonya Giana Wangsa masih sepasang suami istri yang sah. Demikian pula, akta nikah dan akta cerai yang didaftarkan oleh Nyonya Giana dan Tuan Cahyadi, semuanya tidak sah."     

Juanda melanjutkan, "Presdir Sean, kami sudah menemukan karyawan yang menangani perceraian Anda dan sudah memberlakukan skors padanya. Saya akan memintanya untuk menjelaskan secara rinci besok pagi pada Anda dan meminta maaf kepada kalian berdua. Presdir Sean dan Nyonya Giana, jika kalian berdua ingin mengajukan perceraian lagi, saya bisa menanganinya secara langsung agar hal seperti ini tidak terjadi lagi."     

Sean berkata dengan datar, "Terserah saja bagaimana Pak Juanda mau menangani karyawan itu. Biar Pak Juanda saja yang memutuskannya sendiri. Tidak perlu penjelasan dan permintaan maaf. Selain itu, mengenai perceraian, sepertinya tidak bisa dilakukan dalam waktu dekat."     

Sean merasa saat ini Giana pasti tidak akan mau menceraikannya.     

Setelah Sean menutup telepon, Giana bertanya dengan cemas, "Sean, bagaimana?"     

"Kita masih sepasang suami-istri secara sah," jawab Sean, "Akta cerai sebelumnya, juga akta nikah sekaligus akta ceraimu dengan Cahyadi, tidak memiliki kekuatan hukum."     

"Yes!" seru Giana sambil melompat di kamar Wanda dengan penuh semangat.     

Semua anggota keluarga Wangsa sangat bahagia, kecuali Yuana. Mereka benar-benar lupa bahwa ada seorang wanita tua yang akan segera meninggal.     

Pada saat ini, Nenek Wanda memanggil Sean dengan suara yang sangat pelan, "Sean…"     

Sean berjalan mendekat. Nenek Wanda meraih tangan Sean dan berkata, "Maafkan… Kakak Nenek…"     

Sean tersenyum dan berkata, "Tidak apa-apa, Nenek. Aku sangat mengagumi kakek Giana. Beliau memiliki pandangan yang jauh ke depan. Beliau tahu bahwa keluarga Wangsa adalah sekelompok orang-orang sombong yang pasti akan meninggalkanku. Itu sebabnya beliau mengaturnya seperti ini."     

Sean sudah ditelantarkan begitu saja sehingga tentu saja dia merasa sangat kesal. Saat berada di kamar tamu tadi, Sean merasa kasihan pada Giana. Jika Giana terus mengajak rujuk, itu adalah urusan yang berbeda.     

Hanya saja, sekarang Nenek Wanda sedang sekarat. Tentu saja Sean tidak bisa mengatakan hal-hal buruk. Dia hanya bisa mengambil kesempatan ini untuk menyindir keluarga Wangsa.     

Nenek Wanda bergumam lemah, "Waktu Nenek sudah tidak lama lagi… Nenek akan segera bertemu Kakak… Sebelum meninggal… Nenek ingin memohon satu hal padamu…"     

Sean merasa sedih ketika melihat Nenek Wanda semakin sulit bernapas. Dia hanya bisa berkata, "Katakanlah, Nek."     

Nenek Wanda menarik napas perlahan dan berkata, "Jangan… Jangan… ceraikan Giana."     

Sean ragu-ragu. Dia tidak tahu harus menyetujui pesan terakhir Nenek Wanda atau tidak. Sean tidak hanya seseorang yang memiliki kedudukan, tetapi juga sangat mementingkan komitmen. Sean bukan seseorang yang akan berjanji hari ini, lalu melupakannya besok. Selama dia telah berjanji, dia pasti akan menepatinya.     

Pada saat ini, Giana segera berlutut di depan Sean. Air mata mengalir di wajahnya yang cantik selagi dia memohon, "Suamiku, beri aku satu kesempatan lagi. Aku akan mencintaimu dengan sungguh-sungguh. Aku juga tidak akan pernah terjerat dengan pria lain lagi!"     

Melihat kecantikan Giana yang sangat menakjubkan, Sean merasa sangat sayang jika tidak memilikinya dan membiarkan wanita seperti ini dimiliki oleh orang lain. Selain itu, tidak ada yang terjadi antara Giana dan Cahyadi sehingga dia tidak seharusnya mempermasalahkan ini lagi.     

Setelah berpikir lama, Sean memandang Nenek Wanda dan menjawab, "Baik, aku janji. Selama Giana tidak berinisiatif untuk menceraikanku, aku tidak akan menceraikannya."     

"Bagus… Bagus…"     

Setelah mengucapkannya, tiba-tiba Nenek Wanda menutup matanya dan mengucapkan selamat tinggal pada dunia ini selamanya.     

"Nenek!"     

"Wanda!"     

Suara Giana dan Nenek Wangsa yang lantang menggema. Mereka berlutut di samping tempat tidur dan menangis lebih kencang dari anak-anak Nenek Wanda sendiri.     

Sean tahu bahwa setengah dari air mata ini adalah air mata kebahagiaan. Presiden Direktur Grup Citra Abadi, putra keluarga kaya dengan kekayaan ratusan triliun, akhirnya menjadi menantu keluarga Wangsa mereka.     

———     

Dua hari kemudian, Sean dan keluarga Wangsa membantu mengurus beberapa urusan pemakaman Nenek Wanda sebelum meninggalkan Bandung.     

Di kursi belakang Maybach Landaulet mewah edisi terbatas, Sean dan Giana berpegangan tangan dan tampak bahagia. Giana bertanya dengan penuh kasih sayang, "Suamiku, malam ini aku ingin mengundang beberapa teman sekelas ke rumah kita untuk merayakannya. Boleh, tidak?"     

Jika di Alam Sutera, tentu saja Giana tidak perlu meminta izin Sean. 'Rumah kita' yang Giana maksud adalah rumah yang baru saja dibeli Sean di Pondok Indah. Karena keduanya sudah menjadi suami dan istri, rumah Sean tentu saja adalah rumah Giana.     

Sean tidak menolak ketika Giana memanggilnya dengan sebutan suami. Namun, dia bertanya, "Nenek Wanda baru saja meninggal. Apa yang mau dirayakan?"     

"Merayakan perubahanku dari seorang gadis menjadi seorang wanita! Gara-gara kamu! Huh!" jawab Giana, tak lupa sambil memukul Sean dengan tinju kecilnya saat mengatakan kalimat terakhir.     

Tadi malam, Sean dan Giana yang sudah menikah selama tiga tahun akhirnya memiliki status dan hubungan yang sesungguhnya. Bisa dibilang, mereka sudah mengalami berbagai gelombang kehidupan. Sean juga tersenyum bahagia karena sudah membuktikan bahwa Giana tidak berbohong sebelumnya.     

"Oke. Jika kamu ingin mengundang teman-teman sekelasmu untuk berkunjung, suruh saja mereka datang."     

Sean mengingat beberapa teman kuliah Giana. Banyak dari mereka adalah warga Jakarta atau tinggal di Jakarta untuk bekerja setelah selesai kuliah. Gadis-gadis ini adalah sekelompok gadis sombong yang memandang rendah Sean sebelumnya. Karena itu, Sean juga ingin melihat apa yang akan mereka lakukan ketika bertemu dengannya lagi malam ini.     

"Terima kasih, Suamiku!" kata Giana dengan riang.     

Giana mencium pipi Sean dengan mesra, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Sean lagi sambil berpikir, Suami, aku benar-benar ingin pergi ke vila yang kamu beli di Phuket. Aku ingin bertemu kakekmu, nenekmu, ayahmu, ibumu, dan juga kakak sulungmu. Kakak kedua, kakak keempat, adik keempat, adik kelima, adik keenam, dan adik ketujuh juga. Aku ingin mereka semua tahu bahwa aku adalah menantu keluarga Yuwono kalian!     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.