Ingin Kukatakan Sesuatu

Membeli Rumah di Emerald Ville!



Membeli Rumah di Emerald Ville!

0Di Indonesia, jika ada dua orang yang ingin menikah, pada umumnya si pria harus memiliki rumah. Di antara beragam persyaratan yang diinginkan wanita Indonesia dalam mencari pasangan hidup, memiliki rumah adalah suatu keharusan.     

Tidak seperti wanita di luar negeri. Mereka tidak akan memaksa pria untuk membeli rumah sama sekali dan juga tidak akan meminta mahar. Selama menyukainya, pihak wanita bisa menyewa rumah bersama pasangannya itu.     

Filosofi hidup Sean lebih condong ke luar negeri, tetapi dia telah berada di Jakarta selama tiga tahun dan juga sudah sangat akrab dengan situasi ini di Indonesia. Chintia sekarang pacar Sean. Jika Sean ingin menikahinya, masuk akal bahwa dia harus membeli rumah. Namun, harga rumah di Banten benar-benar terlalu tinggi. Sebuah rumah bahkan dihargai senilai puluhan miliar.     

Jika Sean tidak mengandalkan uang dari keluarganya dan mencari uang dengan menjadi pengantar paket dan makanan, seumur hidupnya dia tidak akan bisa membeli rumah di Banten. Jadi, Sean merasa tidak enak untuk memberi pendapatnya dalam hal membeli rumah dan berkata, "Pilih yang kamu suka saja."     

Keduanya bergandengan tangan dan kembali ke mobil. Baru saja mengencangkan sabuk pengaman, Chintia bertanya, "Ngomong-ngomong, selama video call dengan Tuan Arnault tadi, kenapa dia menyebut merek LV mereka sebagai Apple? Apa ada cerita di balik itu?"     

Walaupun Tuan Arnault sudah tua, tidak mungkin dia tidak tahu mereknya sendiri. Sangat jelas bahwa tadi dia sengaja menjawab demikian.     

Sean menyalakan mobil dan bercerita sambil tersenyum, "Iya. Ketika aku masih kecil, dia sering mendatangi kakekku untuk meminjam uang. Saat itu, sepertinya dia baru saja membeli LV. Dia terus membawa sepotong baju LV dan memberitahuku bahwa itu disebut LV. Dia bahkan terus-menerus menyuruhku membaca nama lengkapnya bahasa Inggris, Louis Vuitton. Aku sangat nakal, jadi setiap kali dia bertanya padaku tentang logo ini, aku akan bilang kalau itu Apple dan tidak mau membacanya LV."     

Chintia tertawa. "Aku tidak menyangka bahwa kamu begitu nakal saat masih kecil! Dia pasti sangat marah padamu, kan?"     

"Tidak," jawab Sean sambil mengemudi, "Saat itu, Apple belum populer dan kakekku sangat mengagumi Steve Jobs. Kakek sering mengundangnya ke rumahnya untuk mengobrol. Setiap kali datang, dia membawa hadiah kecil untukku dan kedua kakakku. Aku sangat menyukainya, jadi itu sebabnya aku bilang itu Apple."     

Chintia tercengang. Sean bahkan pernah bertemu dengan Steve Jobs sang pendiri Apple?     

Sean berkata sambil tersenyum, "Pada tahun peluncuran iPhone 4, Arnault menginvestasikan banyak uang di Apple dan kemudian mendapat keuntungan balik yang besar. Dia meneleponku dan mengatakan bahwa jika aku tidak selalu membaca LV sebagai Apple saat masih kecil hingga membuatnya mengawasi perkembangan Apple, dia tidak akan menghasilkan begitu banyak uang dari Apple."     

"Haha…" Chintia tertawa. Dia tidak menyangka Sean memiliki cerita yang menarik dengan kedua bos besar dunia bisnis itu.     

Chintia sangat senang selama beberapa saat. Tetapi, ketika teringat bahwa Sean sekarang telah dikeluarkan dari keluarga besarnya, suasana hatinya langsung turun. Alangkah bagusnya jika Sean tidak dikeluarkan dari keluarga besarnya…     

Tentu saja Chintia tidak mengatakannya karena takut menyakiti hati Sean. Tapi, untuk wanita manapun, siapa yang tidak ingin lingkaran pertemanannya dipenuhi orang-orang seperti bos LV dan penemu Apple?     

Di sore hari, mereka berdua melihat-lihat rumah. Mereka melihat banyak apartemen yang semuanya paling mewah di kota Banten dan tidak ada satu tempat pun yang harga rata-ratanya di bawah 300 juta. Tapi, tampaknya Chintia tidak puas.     

"Sean, sebelumnya kamu dan Giana tinggal di perumahan di Jakarta. Kita juga pilih perumahan saja," kata Chintia.     

Tinggal di perumahan memang lebih nyaman, tapi harus menyewa pengurus rumah tangga.     

"Oke. Kamu bisa tinggal di manapun yang kamu mau," kata Sean.     

Chintia memeriksa area perumahan di Banten dengan ponselnya dan menyukai nama sebuah perumahan dalam sekali pandang.     

"Sean, kita pergi melihat perumahan Emerald Ville ini, ya? Aku suka nama ini. Aku ingat ketika kita pertama kali bertemu, kamu memberi Nyonya Wangsa sebuah gelang giok, emerald," kata Chintia sambil tersenyum, tanpa bermaksud cemburu sama sekali.     

Sean tidak menyangka bahwa Chintia masih ingat kejadian ini. Setelah menerima gelang seharga 20 miliar, keluarga Wangsa tidak pernah menunjukkan rasa terima kasih mereka dan membalas pemberian Sean. Namun, bahkan jika mereka memberikan sesuatu pada Sean, dia juga tidak menginginkannya.     

Tak butuh waktu lama, keduanya segera tiba di Emerald Ville. Ada seorang agen properti yang menyambut mereka dengan hormat. Pria muda yang mengenakan jas itu membawa keduanya ke sebuah rumah yang dijual dan menjelaskan.     

"Halo, saya Cendana. Rumah kami ini dibangun pada tahun 2000. Memiliki 5 kamar tidur, 3 ruang keluarga, dan 4 kamar mandi. Luasnya lebih dari 300 meter persegi. Pemilik aslinya sedang terburu-buru menjualnya karena ingin membeli rumah di Thomson Ville. Anda berdua bisa lihat bahwa semua interiornya sangat indah. Pemilik aslinya terlibat dalam desain rumah ini. Beliau memiliki selera dan standar yang sangat tinggi."     

Sean dan Chintia melihat sekeliling. Meskipun rumah ini tidak sebagus interior rumah Sean di Jakarta, rumah ini tetap memiliki karakteristik tersendiri.     

"Sean, apa kamu menyukainya?" tanya Chintia.     

Sean melihat Chintia yang sepertinya menyukai rumah ini dan dia pun mengangguk, "Ya. Di sini sangat bagus."     

Chintia tersenyum dan berkata, "Kalau begitu, beli di sini saja! Berikan KTP-mu padaku."     

"Hah? Untuk apa kamu menginginkan KTP-ku?" Sean tidak paham.     

Chintia menjawab, "Ini rumah baru kita. Aku ingin menulis nama kita berdua."     

Sean sangat tersentuh sehingga tidak bisa berkata-kata. Chintia menghabiskan uang untuk membeli rumah dan bahkan ingin menulis nama Sean.     

Jika wanita yang menuntut rumah dan mahar melihat ini, mereka pasti akan memaki Chintia karena begitu bodoh. Bagaimana bisa seorang wanita yang membeli rumah? Bahkan jika seorang wanita membelinya sendiri, bagaimana bisa mengatasnamakannya dengan nama si pria? Lagi pula, prianya tidak mengeluarkan uang sama sekali!     

"Tidak. Kamu yang membeli rumah ini, jadi kamu tidak bisa mengatasnamakannya dengan namaku," tolak Sean.     

Chintia berinisiatif mengambil KTP dari dalam kantong Sean sambil berkata, "Aduh… Sekarang kamu pacarku, jadi sudah seharusnya aku menambahkan namamu."     

Chintia mendapatkan KTP Sean, kemudian berkata kepada Cendana, "Kami beli rumah ini secara tunai!"     

Wanita muda kaya raya rupanya!     

Mulai dari memasuki rumah untuk melihat-lihat hingga memutuskan untuk membayar hanya menghabiskan waktu kurang dari dua puluh menit. Cendana sang agen properti belum pernah melihat orang yang begitu tidak berbelit-belit seperti ini.     

Setelah selesai membayar, Sean berkata pada Chintia, "Apakah tidak terlalu dini menghabiskan begitu banyak uang untuk membeli rumah di hari pertama kita di Banten?"     

Sean mengira saat baru tiba di Banten, mereka akan tinggal di hotel selama beberapa hari dulu atau menyewa rumah. Dia tahu bahwa tidak mudah bagi Chintia untuk menghasilkan uang. Selain itu, Chintia juga mendapatkannya dengan mengandalkan dirinya sendiri. Tidak seperti Sean yang selama ini mengambil dari uang keluarganya.     

Chintia berkata, "Sayang, kita datang ke Banten bukan untuk menderita. Kita datang dengan status kita yang dulu sebagai direktur perusahaan ternama. Masa kita akan tinggal di ruang bawah tanah? Jangan khawatir, Sean. Kamu tidak punya uang, tapi aku punya. Kita akan hidup dengan baik di Banten!"     

Sean sangat tersentuh sehingga dia bersumpah untuk membelikan Chintia rumah yang lebih besar untuk menggantinya di masa depan.     

"Sean, kita keluar membeli tempat tidur saja, ya? Aku tidak suka tidur di tempat tidur yang pernah digunakan orang lain," pinta Chintia.     

Sean mengangguk. "Oke. Bukankah Sisilia sudah mentransfer uang 1 miliar yang diberikan Goldy padamu? Gunakan saja uang itu untuk membeli tempat tidur."     

Chintia pun tertawa nakal. "Haha! Kamu sangat jahat! Goldy membayarnya untuk mengejarku, tapi kamu malah menggunakan uang itu untuk melengkapi rumah baru kita. Jika dia tahu, dia pasti akan menyesal mati-matian! Haha."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.