Ingin Kukatakan Sesuatu

Apakah Pria Harus Menafkahi Wanita?



Apakah Pria Harus Menafkahi Wanita?

0Wajah Yoga penuh penghinaan. "Tampan apanya! Dia sudah begitu tua seperti itu! Bahkan saat masih muda, dia juga tidak bisa disebut tampan!"     

Penampilan Julius biasa saja Disebut tidak jelek saja sudah merupakan suatu penghormatan baginya. Jadi, tentu saja Yoga tidak paham kenapa Giana bisa memujinya tampan.     

Giana mencibir Yoga, "Apa yang kamu tahu? Ketampanan seorang pria bukan hanya tentang penampilannya saja, oke? Lihat aura Om Julius. Betapa menawannya dia saat menunjuk dan memesan makanan!"     

Tadi saat Giana pertama kali melihatnya, dia tidak merasa Julius memiliki aura dan pesona seorang pria dewasa. Tapi, ketika tahu dari Yoga bahwa pria tua ini adalah Julius, tiba-tiba Giana merasa Julius memiliki banyak kelebihan.     

Ini adalah penyakit banyak gadis di Indonesia. Mereka selalu berpikir bahwa pria dengan kekuasaan dan uang sangat menarik, meskipun jika mereka terlihat biasa-biasa saja atau bahkan jelek.     

Kapal pesiar masih melaju perlahan. Tidak lama kemudian, Sean dan yang lainnya tidak lagi terlihat dari tempat Giana berada.     

Giana meletakkan teropongnya dan berkata dalam hati, Kasihan Sean. Hari ini Julius akan mempermalukan Sean. Entah apakah saat pulang malam ini, mungkinkah dia akan putus dengan Chintia? Jika mereka putus, aku bisa menyuruh Sean untuk tidak meninggalkan Banten. Setiap hari Yoga keluar dan kembali larut malam. Bagus juga. Kalau bosan, aku bisa pergi mencari Sean.      

Lagi-lagi Giana berpikir untuk menjadikan Sean sebagai ban serepnya.     

———     

Sean, Chintia, dan Julius yang berada di kapal pesiar mengobrol dengan gembira untuk memecahkan suasana canggung di pertemuan pertama mereka.     

Sambil memotong steak, Julius bertanya dengan santai, "Sean, kamu masih sangat muda. Jika tidak tahu, saya pikir kamu masih sekolah. Ngomong-ngomong, kamu belajar di dalam atau di luar negeri?"     

Sean menjawab, "Luar negeri."     

"Di sekolah mana?"     

"Stanford."     

Faktanya, Sean pernah bersekolah di banyak sekolah. Dia belajar bisnis di Stanford, belajar musik di Berkeley, dan belajar desain di ESMOD. Semuanya adalah universitas terbaik dunia dengan guru-guru terbaik. Namun, lawan makan malamnya hari ini adalah seorang pebisnis, jadi Sean menyebut Stanford Business School.     

Julius terkejut. "Oh! Putri saya alumni sekolah itu. Tapi, kalau kamu lulus dari sekolah terkenal, kenapa kamu malah menjadi kurir pengantar paket di Banten? Meskipun Banten dipenuhi mahasiswa sehingga tidak mudah untuk mencari pekerjaan, Stanford jelas sangat kompetitif."     

Sean mengatakan yang sebenarnya, "Saya hanya pernah belajar di sana, tapi saya tidak memiliki ijazah."     

Gaya belajar Sean berbeda dari pelajar lainnya. Dia tidak bisa membuang-buang waktunya. Dia bahkan tidak melalui prosedur penerimaan dan langsung mengikuti kelas. Setelah selesai belajar, dia akan langsung pergi.     

Bagi keluarga Yuwono, sertifikat kelulusan Universitas Stanford hanyalah selembar kertas tidak berguna yang tidak membanggakan sama sekali.     

"Tidak lulus?" Wajah Julius mulai sedikit tersenyum. "Kalau begitu, harusnya kamu melanjutkan sekolahmu! Sulit untuk mencari pekerjaan tanpa ijazah sekarang. Kamu masih sangat muda. Kamu bisa kuliah lagi, lalu mengambil S2. Nantinya kamu pasti akan memiliki hidup yang sangat stabil. Jika seperti itu, Chintia juga akan tenang mengikutimu."     

Chintia sekarang berusia 30 tahun. Bagaimana jika saat ini Sean pergi bersekolah di Amerika Serikat? Setelah beberapa tahun Sean sekolah dan kembali, Chintia sudah hampir berusia 40 tahun. Bisakah Chintia menunggu? Seorang wanita normal akan menikah dulu sebelum menua.     

Julius si pria tua ini terlihat peduli di luar, padahal sebenarnya licik.     

Sean tersenyum dan berkata, "Hidup kami sangat stabil sekarang."     

Julius juga tersenyum. "Stabil sekarang? Kamu hanya menghasilkan beberapa juta sebulan. Kamu bahkan tidak bisa membeli lipstik untuk Chintia, kan?"     

Chintia menyahut, "Aku tidak perlu dia membelikannya untukku."     

Sean juga memandang Julius. "Chintia bisa membelinya sendiri, jadi aku tidak perlu khawatir tentang itu. Laki-laki dan wanita sama. Siapa bilang pria harus menafkahi wanita?"     

Julius menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Anak muda, saya benar-benar tidak menyangka pemikiranmu begitu menakutkan dan tidak bertanggung jawab. Sejak zaman dulu, wajar bagi pria untuk menafkahi wanita."     

"Pria macam apa yang tidak bisa menafkahi seorang wanita? Terutama seorang wanita secantik Chintia. Apa kamu tega membiarkannya bekerja keras mencari uang setiap hari untuk menghidupi keluarganya?" cibir Julius.     

Sean menyesap anggur dan menjawab, "Dari maksud perkataan Presdir Julius, seorang wanita cantik harus dikurung di rumah dan dilayani oleh puluhan pelayan tanpa perlu melakukan apapun. Benar? Apakah menurut Anda, Chintia adalah tipe wanita yang rela tinggal di rumah dan menjadi ibu rumah tangga?"     

Julius membalas dengan tegas, "Karena Chintia adalah wanita yang cakap, kamu harus lebih hebat sehingga kamu bisa layak untuknya dan memberinya kebahagiaan!"     

Semakin keduanya berbicara, suasana semakin tegang. Chintia yang berada di samping pun sedikit cemas. Tepat ketika dia hendak menghentikan keduanya, tiba-tiba ponselnya berdering. Ternyata ada video call.     

Chintia adalah wanita yang sangat dingin. Meskipun memiliki banyak teman, tidak ada yang berani menghubunginya lewat video call dengan sembarangan. Orang-orang yang bisa melakukan video call dengannya, semuanya pasti memiliki hubungan yang sangat dekat dengannya.     

Chintia melirik ponselnya dan berkata, "Telepon dari Jasmine."     

Penelepon itu adalah adik kandung perempuan Chintia, Jasmine Yandra.     

Chintia segera mengangkatnya. Karena Sean dan Chintia duduk di sisi yang sama, Sean juga bisa melihat layar ponsel Chintia. Di layar, terlihat seorang gadis yang sangat cantik mengenakan seragam pramugari. Gadis itu tampak seusia dengan Sean, yaitu sekitar 25 tahun. Rambutnya dikepang dan di seragamnya tertera namanya.     

"Kak!" panggil Jasmine. Suara gadis itu sangat manis.     

"Jasmine, kenapa kamu bisa teringat untuk menghubungi kakakmu ini lewat video call? Kamu tidak sedang terbang?" tanya Chintia.     

"Baru saja pulang. Aku melihat status Kakak! Cantik sekali…! Kakak sedang ada di mana?"     

Pada saat ini, tiba-tiba Julius tiba-tiba menyahut, "Apa itu Jasmine?"     

Chintia mengangguk, lalu mengarahkan kamera ke Julius.     

"Wow! Om Julius juga ada di sana rupanya! Bagaimana bisa kalian bersama di sana?"     

Tentu saja Jasmine juga mengenal Julius dan memanggilnya Om Julius dengan gembira tanpa rasa canggung. Ini karena Jasmine tidak tahu bahwa Chintia pernah dipelihara oleh Julius saat itu. Jasmine selalu mengira Julius merawat Chintia sebagai seorang tetua.     

Julius dan Jasmine saling menyapa dan dapat dilihat bahwa Jasmine masih menghormati Julius yang dikenalnya sebagai teman ayahnya ini.     

Chintia menjelaskan, "Pacarku mengundang Om Julius untuk makan malam, jadi kami berkumpul bersama."     

Setelah Jasmine mendengar ini, dia dengan bersemangat berkata, "Pacar? Kakak sudah punya pacar? Cepat perlihatkan padaku! Aku ingin melihat pacar Kakak!"     

Di layar, Jasmine terlihat sangat bersemangat dan benar-benar menggemaskan. Chintia pun mau tidak mau mengarahkan kamera ke Sean.     

Sean tersenyum dan melambaikan tangan untuk menyambut Jasmine di depan kamera, "Hai! Halo, Jasmine."     

Jasmine tertegun sejenak, lalu berkata, "Wow! Kak, Kakak pacaran dengan brondong?! Apa dia pria peliharaan Kakak? Berapa banyak uang yang Kakak habiskan? Kalau Kakak sudah tidak menginginkannya, apa aku bisa mengambilnya? Aku juga ingin mencari pacar muda seperti ini!"     

Sean tidak bisa berkata-kata.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.