Ingin Kukatakan Sesuatu

Kenapa Bisa Kamu?!



Kenapa Bisa Kamu?!

0Sean menghela napas lega. Untungnya wanita ini bukan Maureen. Dia tidak ingin memiliki hubungan dengan wanita yang pada pandangan pertama saja sudah terlihat sangat sulit diatur.     

Sean pun meminta maaf pada Michelle, "Maaf, saya kira Anda kakaknya."     

Mendengar apa yang dikatakan 'sopir' Marvin, Michelle semakin kesal. Selama ini, semua orang hanya membicarakan Maureen dan tidak ada yang menyebutnya sama sekali. Sekarang seorang sopir bahkan menatapnya dua kali karena salah mengira dirinya adalah Maureen. Mana mungkin dia bisa terima?     

Meskipun Michelle sangat marah, dia tidak bisa mengamuk, jadi dia hanya tersenyum dan berkata, "Haha. Aku memang tidak secantik Maureen, tapi apa gunanya kecantikan Maureen? Apa yang sudah dilakukannya pada keluarga kita?"     

"Dia menolak pernikahan bisnis dan politik yang sudah diatur keluarga empat tahun yang lalu dan kabur. Tapi, apa hasilnya? Pulang-pulang, perutnya sudah membesar dan entah siapa ayah dari anaknya. Ya, sudahlah. Siapa yang tidak berbuat kesalahan saat masih muda, kan?" cibir Michelle.     

Michelle melanjutkan, "Tinggal aborsi saja, semuanya beres. Tapi, dia malah menentang keinginan Ayah dan bersikeras melahirkan anak haram itu! Tidak cukup sampai melahirkan anak perempuannya, tapi dia juga bersikeras tidak ingin menikah seumur hidupnya dan hanya ingin membesarkan anaknya. Setiap kali dijodohkan dengan siapapun, pasti tidak ada yang ditemuinya."     

"Mana ada keluarga yang setara dengan keluarga kita, yang mau menikah dengannya yang sudah memiliki anak berusia 3 tahun? Hanya Kak Chevin yang begitu tergila-gila padanya. Hari ini Kak Chevin sudah datang, tapi dia tidak mau menemuinya. Benar-benar tidak menghargai Kak Chevin! Sangat tidak sopan!" tukas Michelle.     

Michelle menyebutkan kesalahan Maureen satu per satu. Sementara, saat mendengar kata-kata Michelle, Sean terkejut lagi dan lagi.     

Maureen hamil? Mungkinkah itu anakku?     

Sean tidak tahu apakah 'anak haram' yang dikatakan Michelle sebenarnya mengacu pada anak hasil dari hubungan Sean dan Maureen atau tidak.     

Tiga tahun... Aku punya anak perempuan berusia tiga tahun?     

Hati Sean bergejolak. Awalnya kali ini dia hanya berencana untuk bertemu Maureen dan meminta maaf padanya. Tapi, tidak disangka, ternyata dia berkesempatan untuk memiliki seorang putri berusia lebih dari tiga tahun.     

Pada saat ini, raut wajah orang tua Marvin terlihat sangat tidak baik.     

Ibu Marvin berkata, "Chevin, jangan khawatir. Tante sendiri yang akan naik sekarang. Meski harus menyeretnya, Tante akan memaksanya turun!"     

Tiba-tiba Marvin menghalangi ibunya dan berkata, "Hah… Bu, Ibu jangan naik dan bertengkar dengan kakakku. Biar sopirku saja yang naik."     

"Sopirmu?"     

Semua orang memandang Sean. Sean juga sedikit terkejut.     

Chevin jelas terlihat sedang menatap Sean dengan tatapan permusuhan. Itu karena tadi Sean berkata pada Michelle bahwa dia mengira Michelle adalah Maureen, itu sebabnya Sean curi-curi pandang padanya. Sebagai calon 'tunangan' Maureen, Chevin tidak akan membiarkan pria lain berani menginginkan wanita yang disukainya.     

Michelle tersenyum dan berkata, "Mengandalkan dia? Memangnya dia bisa memanggil Maureen untuk turun? Jangan bercanda. Meski kamu sendiri yang memanggil kakakmu, kemungkinan kakakmu juga tidak akan turun."     

Marvin tersenyum dan berkata, "Jadi, jika kakakku menolak untuk turun, biarkan saja sopirku memaksanya turun. Lagi pula, Ibu juga tidak akan bisa menyeret kakakku."     

Semua orang di keluarga Susetia tahu temperamen Maureen. Mereka tahu bahwa apapun yang mereka katakan, mereka tidak akan bisa membujuk Maureen. Pada akhirnya, mereka harus menggunakan kekuatan untuk membuatnya turun.     

Ibu Marvin tidak lagi keberatan. "Ya, baiklah. Kalau begitu, suruh anak ini saja yang ke sana."     

Maureen Susetia… Akhirnya aku akan bertemu denganmu.     

Sean pun sangat senang karena dari tadi dia sudah sangat ingin melihat wajah Maureen yang sesungguhnya.     

Dalam perjalanan dari Texas ke Bogor, Sean terus ingin melihat foto Maureen, tetapi sayangnya si bajingan Marvin ini tidak mau menunjukkannya. Sekarang dia akan melihat wanita ini secara langsung dan mungkin juga akan bertemu dengan anak perempuannya yang berusia tiga tahun.     

Tepat saat Sean hendak melangkah, Chevin yang sedang duduk dengan postur tentara tiba-tiba berdiri di depannya. Perawakan Chevin tinggi besar. Tingginya hampir mencapai 190 sentimeter. Selain itu, ada bekas luka pisau di wajahnya. Dari sorot matanya, dapat dilihat bahwa dia bukan pria yang baik.     

"Ada apa?" tanya Sean.     

Meskipun Sean tidak setinggi Chevin dan meskipun sekarang dia hanyalah seorang sopir, wibawa Sean tidak kalah dari Chevin.     

Chevin berkata dengan dingin, "Jika Nona Maureen tidak mau turun, kamu tidak boleh menyeretnya secara paksa, apalagi menggendongnya. Jika tanganmu berani menyentuhnya, tanganmu tidak akan bisa memegang kemudi lagi di masa depan."     

Michelle yang duduk di samping tersenyum dan berkata, "Aduh, Kak Chevin, bukankah ini sama saja dengan mempersulit sopir Marvin? Dia pasti tidak akan bisa membujuk Maureen untuk turun. Jika dia tidak diizinkan untuk menarik tangannya, bagaimana dia bisa menyuruh kakakku yang baik itu turun?"     

Chevin berkata dengan dingin, "Itu urusannya. Jika dia tidak bisa melakukannya, dia tidak perlu menjadi sopir lagi."     

Sean tahu Chevin hanya ingin memanfaatkan masalah ini agar Marvin memecat Sean si 'sopir'-nya ini. Karena tahu Sean tertarik pada Maureen, Chevin tidak bisa membiarkan orang ini berada di dekat orang-orang keluarga Susetia.     

"Baik."     

Sean menatap Chevin untuk waktu yang lama, baru kemudian menjawabnya. Di matanya juga ada tatapan membunuh, tapi kata-katanya tidak menantangnya.     

Sean sudah berada di keluarga Wangsa selama tiga tahun dan menerima begitu banyak penghinaan dan ejekan, jadi dia sudah belajar bagaimana mengendalikan emosinya. Sekarang dia tidak perlu melawan si Chevin ini karena tujuannya hanya Maureen dan putrinya.     

Saat Sean perlahan menaiki tangga, Marvin mengingatkannya sambil tersenyum, "Lantai dua, kamar pertama di sebelah kiri."     

Melihat punggung Sean yang menjauh, perasaan Marvin campur aduk.     

Kak, meski tahu kamu tidak akan senang, aku akan tetap membawanya ke sini!     

…     

Sean berjalan perlahan ke lantai dua. Gaya rumah di sini sangat berbeda dengan gaya rumahnya di Jakarta dan Banten. Dekorasi rumah di sini tidak terlalu mewah, tetapi sangat terasa agung.     

Saat tiba di lantai dua, pintu di kamar paling kiri tertutup. Sean pun mengetuk pintu kayu berwarna merah.     

"Nona Maureen? Apa Nona ada di dalam?"     

Sebuah suara yang lembut segera terdengar menyahut, "Beritahu ibuku, aku tidak akan menemuinya."     

Ketika Sean mendengar suara lemah itu, tiba-tiba dia merasa suara itu agak familier, seolah-olah dia pernah mendengarnya di suatu tempat.     

Apa jangan-jangan sebelumnya kami pernah bertemu? pikir Sean, tapi kemudian dia berpikir lagi, Omong kosong! Tentu saja kami pernah bertemu dan tentu saja aku pernah mendengar suaranya. Lagi pula, malam itu aku sudah mendengarnya berulang kali…     

Sean berhenti berpikir sembarangan, lalu mendorong pintu kayu berwarna merah dan masuk. Begitu membuka pintu, dia melihat pemandangan yang sangat tidak asing di depannya.     

Seorang wanita berambut panjang, yang kecantikannya sebanding dengan kecantikan Giana, sedang bersenda gurau seorang gadis kecil berusia 3 tahun. Keduanya tersenyum cerah dan tampak seperti bidadari.     

"Kenapa bisa kamu?"     

"Kenapa bisa kamu?"     

Sean dan Maureen berkata serempak dan saling menatap dengan wajah tercengang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.