Ingin Kukatakan Sesuatu

Kembali ke Rumah Maureen Lagi!



Kembali ke Rumah Maureen Lagi!

0"Kamu…"     

Chevin sudah berada di Bogor selama 30 tahun, tetapi dia tidak pernah dipermalukan seperti ini. Tidak hanya dihajar sampai babak belur, tetapi dia juga dihina oleh seorang sopir.     

"Oke! Kamu berani rupanya! Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja!"     

Chevin berjalan menghampiri orang tua Marvin, lalu mengambil mantelnya dari tangan ibu Marvin dan berkata, "Paman, Bibi, aku pergi dulu."     

"Ah, Chevin! Jangan pergi!"     

Ibu Marvin buru-buru mengikutinya keluar dan terus mengatakan hal-hal baik agar Chevin tidak memasukan kejadian hari ini ke dalam hati.     

Sementara, Marvin bertepuk tangan dan berseru, "Pertarungan yang bagus! Aku ingin tahu apakah lain kali Chevin masih berani merendahkan kakakku lagi!"     

Marvin tidak menyukai Chevin karena dia duda dan orang yang sangat memandang wanita lebih rendah. Di rumah, dia adalah tipe pria yang sangat peduli dengan otoritasnya dan bahkan bisa memukul wanita. Mantan istrinya tidak tahan padanya dan akhirnya menceraikannya.     

Tentu saja Marvin tidak ingin kakaknya menikah dengan pria seperti itu.     

Saat ini, ibu Marvin yang kembali dari mengantar Chevin keluar segera berjalan ke depan Sean dan menamparnya.     

Plak!     

Ibu Marvin menampar wajah Sean.     

Pada saat itu, Sean sedang melihat putri tersayangnya dan sama sekali tidak menyadari kedatangan ibu Marvin.     

Ibu Marvin tampak sangat marah dan berteriak pada Sean, "Kamu hanya seorang sopir! Beraninya kamu menyakiti Tuan Muda Chevin? Apa kamu tahu identitasmu? Apa kamu tahu identitasnya? Tuan Muda Chevin akan menjadi menantu keluarga Susetia kami, yang juga adalah tuanmu! Kamu sudah tidak ingin hidup?!"     

Melihat Sean dipukul, Maureen bergegas mendekat dan mengeluh pada ibunya, "Bu, kenapa Ibu memukul orang?"     

Ibunya berkata dengan percaya diri, "Dia sudah memukul menantu laki-laki Ibu! Bukankah sudah seharusnya Ibu menamparnya?"     

Maureen baru saja akan berdebat, tetapi siapa sangka, saat ini Sisi juga berlari dengan cepat dan memeluk Sean, lebih seperti melindunginya, dan berkata kepada neneknya, "Nenek, jangan pukul Ayah!"     

Dalam sekejap, semua orang di tempat kejadian tercengang.     

Tuan dan Nyonya Susetia tercengang, sementara Michelle juga tidak bisa menahan dirinya dan bertanya, "Sisi, apa yang kamu katakan? Laki-laki ini ayahmu?"     

"Kamu yang sudah menghamili Maureen saat itu?"     

Semua orang menatap Sean dengan kaget dan benci, kecuali Marvin.     

Sebelum Sean bisa mengakuinya, Maureen buru-buru menjelaskan, "Tidak, Sisi berbicara sembarangan. Sisi tidak ada hubungannya dengannya. Sisi hanya terlalu menginginkan seorang ayah."     

Mendengar penjelasan Maureen, Michelle pun menghela napas lega.     

"Mengagetkanku saja! Aku kira benar-benar begitu! Kak Maureen, jika saat itu kamu melahirkan Sisi hanya demi seorang sopir, itu benar-benar tidak layak! Haha."     

Maureen mengabaikan Michelle, tetapi memandang Sean dan bertanya, "Apa kamu baik-baik saja?"     

Sean menggelengkan kepalanya. Dia menerima tamparan ibu Maureen sebagai kompensasi untuk Maureen.     

Maureen memandang orang tuanya dengan ekspresi tidak senang dan berkata, "Aku mau pulang."     

Marvin buru-buru menyahut, "Biar sopirku saja yang mengantarmu."     

Maureen melirik Sean. Karena Sean juga ingin terus bersama Maureen dan anak mereka, dia pun menyahut, "Oke."     

Setelah itu, ketiganya keluar. Maureen membawa JEEP Wrangler berwarna merah.     

Sebelum tiba di mobil, Sean berinisiatif berkata, "Biar aku saja yang mengemudi."     

Maureen menolak, "Tidak usah. Kamu duduk saja."     

Meskipun Maureen memiliki tubuh yang rapuh, dapat dilihat dari mobil yang dikendarainya bahwa dia tetap merupakan wanita yang sangat mandiri dan independen di Bogor. Dia lebih mandiri dan tidak mudah tersinggung seperti kebanyakan wanita lainnya. Dia bahkan suka melakukan banyak hal sendiri.     

Sementara, Sisi menggandeng tangan Sean dan berkata, "Ibu pandai mengemudi, jadi biar Ibu saja yang mengemudi. Aku ingin Ayah menemaniku."     

Sean mencubit wajah kecil Sisi. Sejak awal, dia sudah tahu gadis kecil ini sangat menyukai dirinya ketika berada di Kafe Merindukan Fajar dan ingin mengatakan sesuatu pada Sean.     

Pada saat teringat kedua kalinya pergi ke sana, Ailee sontak memeluk Sisi. Setelah Ailee memeluk gadis kecil ini waktu itu, Sean juga ingin memeluknya.     

Saat Sean hendak menggendong Sisi, Sisi berinisiatif mengulurkan tangan lebih dulu untuk digendong Sean. Namun, Maureen menghadangnya. Entah mengapa, Maureen tidak membiarkan Sean memeluk putri kandungnya.     

Sean membuka pintu mobil di kursi belakang, lalu mengangkat Sisi masuk ke dalam mobil dan berkata, "Oke! Ayah akan duduk bersamamu dan membiarkan Ibu yang mengemudi."     

Saat duduk di dalam mobil, Sean dan Sisi duduk berdampingan. Tiba-tiba Sisi berkata, "Aku ingin duduk dipangkuan Ayah."     

Maureen yang duduk di kursi pengemudi buru-buru menegur Sisi, "Sisi."     

Sementara, Sean mengambil Sisi, lalu meletakkannya di pangkuannya dan berkata pada Maureen, "Biarkan saja dia duduk seperti ini. Aku akan memeluknya. Sangat aman."     

Maureen menggelengkan kepalanya. Biasanya Sisi sangat penurut, tapi entah mengapa hari ini dia sangat nakal.     

Keterampilan mengemudi Maureen memang sangat bagus, terutama keterampilan parkirnya. Dia bahkan tidak perlu melihat layar kamera untuk mundur.     

Tidak lama kemudian, ketiganya kembali ke tempat mereka tinggal.     

Begitu datang ke rumah ini lagi, Sean bertanya, "Kenapa kamu tinggal di sini? Apakah karena setelah insiden denganku, kamu diusir dari keluarga?"     

"Aku sendiri yang ingin keluar dari rumah," jawab Maureen, "Di rumah itu, orang tuaku selalu memintaku bertemu dengan berbagai orang untuk kencan buta. Aku merasa sangat terganggu."     

Sean sangat penasaran dan bertanya lagi, "Kenapa kamu belum juga menikah dalam beberapa tahun ini? Dengan kondisimu, bahkan jika kamu memiliki seorang putri, bukankah mudah untuk menemukan pasangan?"     

Awalnya Maureen tidak ingin menjawabnya. Tetapi, setelah beberapa saat, dia menjelaskan, "Karena orang tuaku mengatur pernikahan bisnis untukku. Aku tidak ingin menjadi korban atas perlakuan keluargaku."     

"Oh."     

Sean tidak bertanya lebih jauh. Dia bisa melihat Maureen adalah seorang wanita yang memiliki persyaratan yang sangat tinggi dalam urusan cinta.     

Ketika tiba di ruang tamu, Maureen meraih tangan Sisi dan berkata, "Sisi, hari ini kamu belum latihan piano."     

Sisi cemberut dan berkata, "Aku tidak ingin berlatih piano. Aku ingin bermain dengan Ayah."     

Sean sedang melihat-lihat dekorasi ruang tamu yang sangat sederhana. Bahkan jika dibandingkan dengan tempat Sean tinggal sebelumnya, rumah ini bisa dikatakan jelek. Fakta bahwa Maureen memilih untuk tinggal di tempat seperti itu sudah cukup menunjukkan bahwa dia bukan tipe wanita materialistis seperti Giana.     

Sean melihat piano Steinway yang terletak di ruang tamu dan bertanya, "Sisi sudah mulai belajar piano? Sisi, bagaimana kalau Ayah mengajarimu bermain piano?"     

"Iya! Iya!"     

Sisi yang tidak suka berlatih piano pun tiba-tiba jadi tertarik. Sedangkan, Maureen memandang Sean dengan heran.     

"Kamu bahkan bisa bermain piano?"     

Mungkin Maureen mengira pria petarung seperti Sean seharusnya tidak begitu artistik.     

Sean berkata, "Pianis terkenal di dunia, Dwiki Dhermawan adalah juniorku. Tenang saja, serahkan soal melatih Sisi bermain piano padaku."     

Sean berjalan sampai ke piano dan duduk sambil menggendong Sisi. Pertama-tama, Sean menunjukkan kepiawaiannya bermain piano pada Sisi sehingga membuat gadis kecil ini bertepuk tangan lagi dan lagi.     

Melihat keterampilan piano Sean, Maureen juga merasa lega dan bertanya, "Sean, apa kamu akan tinggal untuk makan malam? Jika malam ini kamu makan di sini, aku akan memasak sekarang."     

Sean menjawab, "Aku tidak hanya tinggal untuk makan malam, tapi aku juga akan bermalam di sini."     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.