Ingin Kukatakan Sesuatu

Kakek Maureen!



Kakek Maureen!

0Pandangan mata Sean begitu tajam dan dia mengepalkan tinjunya erat-erat. Dia tidak keberatan memberi pelajaran pada Tuan Muda Bogor ini lagi.     

Chevin sendiri balik menatap Sean dengan tampang yang menantang, lalu berkata, "Bocah, di Bogor hanya ada dua orang yang berani berbicara denganku dengan nada seperti ini. Pertama adalah seseorang yang lebih baik dariku. Kedua adalah kriminal yang tidak takut mati!"     

"Tentu saja kamu tidak termasuk dalam kategori pertama. Jika aku tidak salah menebak, kamu pasti sudah banyak melakukan tindakan kriminal! Pembunuhan, perampokan, bahkan pemerkosaan!" maki Chevin.     

Chevin sudah tahu bahwa Sean bukan orang baik.     

"Sebaiknya kamu segera pergi dari Bogor dan kembali ke tempat asalmu. Jika tidak, aku akan membuatmu tidak akan pernah meninggalkan Bogor seumur hidup!" Chevin mengancam Sean.     

Sean tertawa mencibir. Jelas-jelas kemarin bocah ini sudah dihajarnya habis-habisan, tapi bukannya mengaku bahwa Sean lebih hebat darinya, dia justru menyebut Sean 'kriminal'? Bahkan, menganggap Sean sebagai penjahat yang sudah melakukan banyak tindakan kriminal dan akan ditangkap dan dimasukan ke penjara kapan saja?     

Sean tersenyum dan berkata, "Chevin, tebakanmu benar. Aku memang seorang kriminal yang tidak takut mati. Karena kamu menyuruhku meninggalkan Bogor, maka aku akan membuatmu meninggalkan dunia ini terlebih dahulu!"     

Sean berkata dengan tegas dan tiba-tiba menggerakan tangan kanannya untuk menggali saku bagian dalam jaket tangan kirinya. Chevin langsung terkejut. Orang sepertinya sangat sensitif terhadap gerakan karena orang sering menyembunyikan senjata di dalam pakaian.     

"Jangan main-main! Bicarakan baik-baik!"     

Chevin yang sangat ketakutan pun segera cepat mundur dan bahkan berseru seperti memohon belas kasihan. Siapa sangka bahwa di detik berikutnya, yang dikeluarkan Sean dari saku jaketnya ternyata sebungkus rokok.     

Sean mengeluarkan sebatang rokok, lalu menatap Chevin yang wajahnya sudah pucat ketakutan dan berkata, "Aku hanya mau merokok saja, kamu sudah ketakutan begitu. Kamu tidak khawatir aku menggunakan korek api untuk membakarmu sampai mati, kan?"     

"Kamu…"     

Chevin sangat marah. Barusan dia mengancam Sean dengan nada mendominasi, tetapi tindakannya yang melarikan diri dan memohon belas kasihan benar-benar sangat memalukan. Apalagi, perilaku memalukan seperti itu sekali lagi dilihat oleh wanita pujaan hatinya.     

Pada saat ini, Maureen ikut maju dan berkata, "Chevin, sudah cukup, belum? Cepat singkirkan mobilmu! Kamu tidak ingin aku menghubungi kakekku untuk memindahkan mobilmu, kan?"     

Ketika mendengar Maureen menyebut kakeknya, Chevin langsung ciut. Apa yang disebut dengan pernikahan bisnis yang bermanfaat bagi kepentingan kedua belah pihak, itu bukan hanya untuk keluarga Susetia saja.     

Alasan apa yang membuat keluarga Laksono tidak mau memanjat pohon besar seperti keluarga Susetia?     

Kakek Maureen selalu menjadi seseorang yang dikagumi oleh Chevin. Dia sendiri juga mengejar Maureen bukan hanya karena kecantikannya, tetapi juga karena dia ingin mendapatkan bantuan dari Kakek Maureen.     

"Baiklah. Ayo pergi!"     

Chevin berkata pada Bedjo dan segera menyingkirkan Lincoln SUV-nya.     

"Biar aku saja yang menyetir," kata Maureen pada Sean.     

"Oke."     

Sebenarnya Sean menyetir karena tidak ingin Maureen kelelahan, tapi sepertinya di Bogor dia bertemu masalah di mana-mana. Jadi, lebih baik biar Nona Maureen saja yang menyetir agar tidak terjadi masalah lagi.     

...     

Begitu kembali ke rumah, Sisi dibawa pergi oleh pembantu Maureen.     

Maureen berdiri di pintu dan berkata pada Sean, "Sean, bagimu Bogor bukan tempat untuk tinggal lama. Aku sangat mengenal Chevin. Dia pasti akan membalasmu. Kemarin kamu sudah mengalahkannya dan membuatnya kehilangan muka di depan banyak orang. Selain itu, hari ini dia juga melihat kita pergi ke laboratorium bersama. Dia pasti tidak akan melepaskanmu begitu saja."     

"Kenapa kamu tidak meninggalkan Bogor dulu dan pergi menemani pacarmu, lalu kembali ketika hasil tes DNA sudah keluar?" usul Maureen.     

Sean dengan cepat menolak, "Mana bisa begitu? Aku sudah berjanji pada Sisi untuk mengajaknya jalan-jalan besok. Ini pertama kalinya aku berjanji pada putriku. Mana mungkin aku mengingkarinya?"     

"Nona Maureen, sebentar lagi aku akan menikahi pacarku dan pergi berbulan madu, jadi mungkin aku tidak akan punya waktu datang kemari dan menemani Sisi untuk waktu yang cukup lama. Jadi, minggu ini aku harus tinggal di Bogor dan bersama putriku selama 24 jam," terang Sean.     

Selama tiga tahun terakhir, Sean tidak pernah ada untuk mereka, jadi bagaimana bisa dia menyia-nyiakan minggu yang paling berharga ini hanya karena Chevin?     

"Baiklah kalau begitu."     

Maureen tidak mengatakan apa-apa lagi. Tentu saja dia berharap Sean akan tinggal. Itu karena kehadiran Sean di rumah membawa lebih banyak tawa bagi Sisi, juga membuat Maureen merasakan percikan… kebahagiaan di dalam rumah.     

———     

Setelah Chevin meninggalkan laboratorium, dia mengemudi sendiri ke sebuah rumah dengan lokasi terbaik di Bogor.     

Rumah ini benar-benar berbeda dari rumah tempat Maureen tinggal. Tidak hanya lokasinya yang lebih strategis, tetapi juga didesain dengan bagus. Rumah ini juga memiliki tata ruang yang sangat megah dan setiap tempat dapat menunjukkan status pemilik yang berasal dari keluarga terpandang.     

Di tempat yang jauh dari rumah, Chevin harus turun dari mobil dan berjalan menuju rumah itu. Ketika tiba di muka pintu, Chevin tidak bisa langsung masuk, tetapi harus melaporkan kedatangannya pada seorang pembantu yang berjaga di pintu.     

Pembantu itu berkata pada Chevin dengan dingin, "Tuan Muda Chevin, maaf. Hari ini Tuan Besar tidak ada waktu untuk menemui Anda."     

Meskipun dia tahu identitas Chevin, dia tidak bersikap rendah hati sama sekali. Hanya saja, Chevin tidak memperlakukannya seperti saat memperlakukan Sean dan menyebutnya 'Budak Hina'.     

Chevin sangat sopan dan bahkan memohon, "Tolong sampaikan pada Tuan Besar lagi. Saya benar-benar perlu melaporkan sesuatu yang sangat penting pada beliau. Ini berkaitan dengan Maureen."     

"Biarkan dia masuk."     

Pada saat ini, suara lelaki tua yang nyaring datang dari ruangan yang jauh.     

"Silakan."     

"Terima kasih."     

Chevin melangkah melewati ambang pintu, lalu berlari dengan cepat melalui halaman dengan banyak bunga dan tanaman dan masuk ke dalam rumah.     

"Kakek!"     

Orang yang Chevin temui hari ini tidak lain adalah kakek Maureen, Suhendra Susetia.     

Suhendra berusia lebih dari 70 tahun, tetapi dia masih sangat energik. Meskipun cuaca sedang cukup dingin, dia hanya mengenakan kaos tipis. Dia tidak mendongak untuk menatap Chevin, tetapi sedang menyiapkan papan catur.     

"Chevin, kemari. Sudah lama kita tidak bermain catur. Temani Kakek bermain catur," kata Suhendra.     

Chevin sudah tidak sabar ingin melaporkan pada Suhendra mengenai cucunya. Mana bisa dia bermain catur dengan si tua ini?     

"Kakek, bukankah Kakek tahu kalau kemampuan caturku tidak seberapa. Mana mungkin aku bisa mengalahkan Kakek? Hari ini aku datang ke sini karena ada sesuatu…"     

Chevin sedang berbicara, namun Suhendra tidak mendengarkan apa yang dikatakannya dan malah bertanya, "Kamu ingin bidak putih atau hitam?"     

Chevin tidak berani melawan Suhendra dan menjawab, "Kalau begitu, aku bidak yang putih saja."     

Chevin dengan patuh bermain catur dengan Suhendra. Hanya saja, karena kemampuannya tidak sebagus Suhendra, dia bertekad untuk kalah agar bisa mengakhiri permainan lebih awal. Tidak lama kemudian, Suhendra pun berhasil mengalahkan Chevin sehingga dia tidak dapat melakukan gerakan lagi.     

Chevin bertepuk tangan dan memuji, "Kakek benar-benar hebat. Aku bahkan tidak bisa melawan sama sekali."     

Suhendra terkekeh. "Chevin, kemampuan bermain caturmu semakin menurun. Sayang sekali, padahal Kakek mengharapkan generasi muda sepertimu untuk menemani Kakek bermain catur ketika bosan."     

Chevin tidak mengerti apa yang dikatakan Suhendra dan sudah tidak tahan lagi untuk berkata, "Kakek! Hari ini cucu Kakek membawa laki-laki tidak dikenal ke laboratorium tes DNA! Kemungkinan dia ayah kandung Sisi!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.