Ingin Kukatakan Sesuatu

Beraninya Menyentuh Putriku!



Beraninya Menyentuh Putriku!

Sean memeluk putrinya dengan erat. Saat ini dia merasa tersentuh, bersalah, sekaligus gembira.     

Awalnya Sean mengira dia baru akan menjadi ayah tahun ini. Tanpa disangka, ternyata sejak lebih dari tiga tahun yang lalu, dia sudah menjadi seorang ayah.     

Dipeluk oleh Sean seperti ini, gadis kecil itu tidak takut, tetapi hanya merasa kebingungan.     

Sean memeluknya sebentar, lalu menatap matanya yang besar dan bertanya, "Sayang, siapa namamu?"     

Gadis kecil itu menjawab, "Nama panggilanku Sisi. Nama lengkapku Seareen Susetia."     

Sean bertanya lagi, "Apakah penulisannya 'Sireen'?"     

Gadis kecil itu menggelengkan kepalanya dan menjawab, "S. E. A. R. E. E.N. Seareen."     

Seareen? Sean dan Maureen! Seareen Susetia…     

Maureen bahkan menambahkan nama Sean ke dalam nama putrinya.     

Sean menatap Maureen dengan perasaan tersentuh, sementara Maureen mengerutkan bibirnya dan tidak berbicara. Hanya dalam beberapa menit, Maureen sudah membuat Sean tersentuh beberapa kali.     

Wanita ini sebenarnya sangat bisa membenci Sean dan menyalahkan Sean karena tidak memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Namun, dia tidak seperti itu sama sekali. Maureen bahkan bersedia untuk menempatkan nama Sean pada nama putri mereka.     

Sean memandang putrinya dan berkata dengan lembut, "Sisi, aku ayahmu. Bisakah kamu memanggilku Ayah?"     

Bagaimanapun juga, gadis ini adalah putrinya, jadi tentu saja dia harus bertanggung jawab. Dia harus mengakui putrinya ini.     

Mata Sisi melebar. Dia kebingungan dan menoleh ke Maureen, lalu bertanya, "Bu, apakah Paman ini benar-benar Ayah?"     

Selama beberapa tahun terakhir, Maureen sudah berkali-kali membohongi Sisi setiap kali topik 'Ayah' dibahas. Kali ini, dia tidak ingin berbohong lagi.     

Air mata mengalir dari mata Maureen. Auranya yang menawan terlihat semakin sedih. Dia pun mengangguk pada Sisi.     

Sisi melemparkan dirinya ke dalam pelukan Sean dengan gembira sambil berteriak, "Ayah! Ayah! Aku punya ayah!"     

Sisi tersenyum bahagia. Mendengar dirinya dipanggil 'Ayah', Sean tidak bisa menahan kebahagian yang dirasakannya. Ini kebahagiaan yang belum pernah dirasakannya sebelumnya.     

Sisi memandang Sean dan bertanya dengan suara kekanak-kanakan, "Ayah, kenapa baru datang menemui Sisi? Anak-anak lain punya ayah, tetapi hanya Sisi yang tidak punya ayah. Sisi juga ingin punya ayah yang menemani Sisi."     

Melihat wajah gadis kecil yang begitu kasihan, Sean membelai wajah Sisi yang lembut dan berkata, "Maaf, Sisi. Ayah datang terlambat. Apa yang Ayah tidak lakukan untukmu di masa lalu akan Ayah lakukan untukmu mulai hari ini, oke?"     

"Hm! Hm!" Sisi tersenyum dan tiba-tiba berkata, "Ayah, aku ingin diangkat tinggi-tinggi! Ibu terlalu lemah untuk mengangkatku!"     

Faktanya, wajah Sisi memang berisi, tapi dia bukanlah gadis yang gendut. Lengan dan kakinya sangat kurus. Sementara, Maureen memiliki sosok yang membuat para wanita iri padanya. Dia sama sekali tidak terlihat seperti seorang yang sudah memiliki anak.     

Meskipun Marvin adalah seseorang yang terlatih dan memiliki fisik yang kuat, Maureen jelas terlihat lemah dan tidak begitu kuat. Sean juga mengetahui hal ini saat berada di ruangan kecil yang gelap empat tahun yang lalu.     

Putrinya mengajukan permintaan pertama dalam hidupnya pada Sean. Bagaimana mungkin Sean tidak menurutinya?     

Sean segera mengangkat Sisi ke atas kepalanya.     

"Ayo! Angkat Sisi kita tinggi-tinggi."     

"Hihihi…"     

Sisi terkikik. Setiap kali Sean mengangkatnya, dia tertawa bahagia. Sementara, Maureen memperhatikan mereka berdua dari samping. Wanita itu menghapus air mata bahagianya sambil tertawa.     

...     

Pada saat ini, sebagai tamu terhormat keluarga Susetia, mereka menyuguhkan teh Da-Hong Pao yang merupakan teh termahal di dunia untuk Chevin di ruang tamu lantai satu. Namun, Chevin tampak khawatir. Dia tidak sedang dalam suasana hati yang cukup tenang untuk minum teh atau bahkan berbicara dengan orang tua Marvin.     

Chevin khawatir dan bertanya, "Kenapa bocah itu naik begitu lama dan belum turun-turun juga?"     

Marvin duduk di seberang Chevin sambil menyilangkan kaki dan minum teh. Tentu saja dia tahu. Ketika Sean melihat kakaknya, pasti ada banyak hal yang ingin Sean katakan. Bahkan, meski seharian pun juga tidak mengherankan. Mana mungkin bisa turun dengan begitu cepat?     

Marvin berkata dengan santai, "Mungkin kakakku lebih bisa banyak berbicara dengan sopir ini. Bagaimanapun juga, meski statusnya rendah, wajahnya cukup tampan."     

Tiba-tiba Chevin tampak marah. Meskipun perawakannya tinggi, penampilannya terlihat sangat garang. Gadis-gadis menganggapnya menakutkan dan tidak berani mendekatinya.     

Melihat kemarahan Chevin, ibu Marvin buru-buru berkata, "Marvin, bicara apa kamu? Kamu juga bukannya tidak tahu karakter kakakmu. Berapa banyak laki-laki yang sudah kita perkenalkan padanya selama beberapa tahun ini? Laki-laki yang tampan juga tidak sedikit, tapi mana ada yang disukainya?"     

Wanita itu kemudian berkata pada Chevin, "Chevin, jangan khawatir. Maureen bukan tipe gadis yang mementingkan penampilan."     

Chevin menjawab datar, "Tahun ini Maureen juga sudah berusia 26 tahun. Seharusnya dia sudah lama melewati usia-usia yang mementingkan penampilan. Selain itu, Marvin dan aku sudah saling kenal sejak kecil, jadi aku tahu dia bukan tipe wanita seperti itu."     

Chevin melanjutkan, "Tapi, bocah yang baru saja naik itu kelihatannya tidak seperti orang baik. Aku sedikit khawatir pada Maureen. Paman, Bibi, aku akan naik untuk melihat situasinya."     

Semua orang tidak menyangka ternyata Chevin sudah tidak bisa duduk menunggu lagi dan naik ke atas sendiri. Sementara, Marvin tetap duduk pada tempatnya dan tertawa mencibir. Dia sangat menantikan pertunjukan bagus berikutnya.     

Chevin berjalan ke lantai dua dengan cepat. Baru saja naik, dia mendengar tawa seorang gadis kecil. Dia merasa sangat aneh dan segera pergi ke kamar Maureen.     

Pada saat membuka pintu, Chevin langsung melihat Sean yang sedang menggendong putri Maureen dan mengangkatnya dari waktu ke waktu, kemudian meletakkannya. Setiap kali Sisi diangkat tinggi-tinggi, Sisi akan cekikikan dan tertawa terbahak-bahak. Sementara, Maureen menatap mereka berdua dengan senyuman yang langka.     

Meskipun Chevin dan Maureen sudah lama saling kenal, dia sudah lama tidak melihat Maureen tersenyum selama beberapa tahun.     

Senyuman Maureen begitu indah.     

Chevin terpesona olehnya selama beberapa saat. Kecantikan Maureen dikenal sebagai kecantikan nomor satu di Bogor. Putra konglomerat mana yang tidak ingin menikahi Maureen? Namun, bahkan saat Maureen sekarang sudah memiliki anak dari pria lain, Chevin masih tidak bisa mendapatkannya.     

Dia benci!     

Sekarang ketika melihat sopir Marvin berhasil membuat Maureen dan putrinya begitu bahagia, Chevin menjadi semakin marah.     

Bocah ini sangat pintar. Dia bahkan tahu untuk mulai dari mendekati putri Maureen terlebih dulu. Aku terlalu bodoh. Jika tahu begini, seharusnya aku juga menghabiskan lebih banyak waktu dengan anak haram ini.     

Chevin bisa melihat bahwa Sean tertarik pada Maureen. Dia pun segera berjalan masuk.     

"Apa yang sedang kamu lakukan?!" Chevin berteriak, menunjuk Sean dan berkata, "Lepaskan tangan kotormu! Apa Sisi kayak disentuh oleh budak sepertimu?"     

Budak?     

Sean dan Maureen sama-sama tercengang.     

Maureen tidak tahu bahwa saat ini identitas Sean adalah sopir Marvin, jadi tidak heran jika dia sangat kebingungan. Sementara, Sean tidak menyangka konglomerat muda di Bogor akan memperlakukan sopir sebagai budak.     

Setelah menghentikan Sean, wajah Chevin langsung menjadi lembut. Kemudian, dia berjalan menuju Sisi dan mengulurkan tangannya.     

"Sisi, apa kamu ingin diangkat tinggi-tinggi? Biar Paman yang mengangkatmu, oke? Paman bisa mengangkatmu lebih tinggi."     

"Tidak mau!"     

Sisi tampak takut pada Chevin, jadi dia berlari ke Maureen dan memeluk pahanya.     

Chevin tahu apa yang disukai Sisi, jadi dia menolak untuk melewatkan kesempatan ini. Dia berjalan mendekat, berjongkok, dan berkata, "Sisi, jangan malu-malu. Kemarilah! Paman akan mengangkatmu."     

Tepat ketika Chevin hendak mengulurkan tangannya dan memaksa menggendong Sisi, sepasang tangan besar menepisnya. Itu adalah Sean.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.