Ingin Kukatakan Sesuatu

Kamu Harus Menikahinya!



Kamu Harus Menikahinya!

0"Apa? Lagi-lagi karena perbuatanmu?!"     

Gunardi tampaknya sangat peduli pada Maureen. Mungkin kepeduliannya ini tidak hanya sebatas kepedulian dokter terhadap pasiennya.     

Maureen sangat cantik. Pria mana yang tidak akan menyukainya?     

Gunardi mengamuk, "Meskipun aku tahu aku tidak bisa mengalahkanmu, aku tetap ingin memukulmu!"     

Keberanian Gunardi benar-benar layak diacungi jempol. Meskipun mengetahui bahwa Sean sangat kuat, dia tetap saja melayangkan tinjunya dan memukul Sean.     

Sementara, kekuatan sebesar ini tidak menyakiti atau bahkan mengganggu Sean sama sekali. Sean tidak peduli dengan pukulan ringan Gunardi. Dia bahkan berharap Gunardi memukulnya beberapa kali lagi untuk menebus luka yang sudah disebabkannya pada Maureen.     

"Jika kamu masih seorang laki-laki sejati, kamu harus menikahi Maureen! Bertanggung jawablah padanya dan bukan membiarkan dia menikah dengan laki-laki lain! Dia tidak akan bahagia menikah dengan laki-laki lain kecuali dirimu!" kata Gunardi.     

Sebenarnya Gunardi sendiri seorang lajang yang sangat menyukai Maureen. Tetapi, dalam empat tahun terakhir, dia tidak pernah berani memiliki pikiran lain tentang Maureen dan tidak pernah berani mengejarnya. Bukan karena latar belakang keluarga Maureen yang menonjol, melainkan karena Gunardi tahu bahwa hanya ada seorang pria bernama Sean di dalam hati Maureen.     

Sean tidak mengatakan sepatah katapun. Mana bisa orang lain tahu apa yang dirasakan setiap orang di dunia ini? Jika sekarang dia menikahi Maureen karena rasa kasihannya, bagaimana dengan Chintia? Dia tidak bisa menyelamatkan satu wanita, kemudian menyakiti wanita lain.     

"Aku akan pergi menemaninya."     

Sean bangkit dan berjalan keluar dari ruangan, kemudian datang ke kamar istirahat Maureen. Sisi masih membuka mata lebar-lebar dan memperhatikan ibunya yang sedang tidur.     

"Ssst!"     

Saat Sean datang, Sisi memberi isyarat pada Sean agar dia tidak berbicara, kemudian berjalan dengan pelan karena tidak ingin mengganggu istirahat ibunya.     

Sean merasa sangat terhibur untuk Maureen. Dia berjalan dengan langkah yang sangat lambat dan ringan, lalu menggendong Sisi ke dalam pelukannya dan berkata dengan lembut, "Sayang, kita tidur bersama Ibu di sini, ya?"     

"Hm! Hm!"     

Sisi segera tertidur di pelukan Sean. Setelah tertidur, Sean membawanya ke tempat tidur, sementara dia sendiri tetap di sisi Maureen.     

Sekitar pukul empat pagi, tiba-tiba Maureen mulai mengigau.     

"Jangan… Jangan sentuh aku! Jangan!"     

Sean buru-buru bangun, lalu memegang tangan Maureen dengan satu tangan untuk menenangkannya dan memegang remote control dengan tangan lainnya untuk menyalakan lampu ruangan.     

"Tidak apa-apa, Maureen. Aku di sini. Jangan takut."     

Sean memegang tangan Maureen dan menenangkannya.     

Tiba-tiba Maureen terbangun dari mimpi buruknya. Ketika membuka mata dan melihat Sean, dia melompat ke pelukan Sean dan memanggil namanya, "Sean…"     

Sean memeluk Maureen, menepuk bahunya, dan terus menenangkannya, "Aku di sini. Aku di sini."     

Setelah beberapa detik, tiba-tiba Maureen tersadar bahwa dia tidak boleh memeluk Sean dan buru-buru menarik tubuhnya. Wajahnya terlihat sangat canggung dan malu.     

"Ma… Maafkan aku. Aku…"     

Maureen ingin menjelaskan bahwa seharusnya dia tidak memeluk Sean.     

Sean terus memegang tangan Maureen dan berkata, "Aku tahu. Aku sudah tahu semuanya."     

Maureen memandang Sean dengan bingung. "Apa yang kamu tahu?"     

"Dokter Gunardi memberitahuku tentang kamu yang menganggapku sebagai… kekasih yang sempurna," kata Sean.     

Maureen dengan malu-malu menarik tangannya kembali dengan cepat. Sebagai seorang perempuan, bahkan jika dia sudah pernah melahirkan seorang anak, hal semacam ini masih terasa agak sulit untuk dijelaskan.     

"Maureen, aku tahu aku tidak layak menjadi kekasih sempurnamu. Terima kasih karena tidak membenciku, memilih untuk memaafkanku, dan memperlakukanku sebagai orang yang begitu penting dalam hidupmu. Jika dari dulu aku mengetahuinya, hari itu aku pasti tidak akan berkata seperti itu padamu. Kenapa kamu tidak memberitahuku dari dulu?" tanya Sean.     

Maureen membenahi rambutnya. "Kamu selalu sudah punya istri atau pacar. Meski aku memberitahumu, itu hanya akan menambah bebanmu."     

Maureen memiliki hati yang sangat baik.     

"Dokter Gunardi memberitahuku bahwa dengan kondisimu saat ini, kamu hanya bisa menerima hubungan intim denganku dan tidak bisa dengan laki-laki lain. Pernikahanmu dengan Chevin harus dibatalkan. Laki-laki yang semena-mena sepertinya tidak akan pernah membiarkan dirinya dipermalukan dengan tidur di kamar terpisah," kata Sean lagi.     

Sebenarnya Maureen sendiri terus mengkhawatirkan masalah ini.     

"Aku akan mencari waktu untuk berbicara dengannya. Pernikahan sudah ditetapkan. Kami berdua dari keluarga ternama di Bogor, jadi tidak mungkin membatalkannya begitu saja."     

"Tapi…"     

Sean ingin terus membujuknya, tetapi Maureen tidak ingin bicara lagi. Dia bangkit, berdiri, dan berkata, "Aku mau ke kamar mandi dulu."     

Pukul setengah lima pagi, akhirnya Sisi bangun dan mereka bertiga meninggalkan rumah sakit bersama-sama.     

Awalnya Maureen berencana sarapan di luar, tetapi Sean bersikeras untuk pulang dan memasak untuk mereka. Sean sudah menebak bahwa di dalam pikiran 'kekasih sempurna' Maureen, Sean pasti seorang pria yang romantis dan perhatian, yang pasti akan membuatkan sarapan yang hangat dan romantis untuknya. Sean pun ingin mewujudkan beberapa fantasi Maureen.     

Sean membuat telur dadar hangat masing-masing untuk Maureen dan Sisi. Ada sepotong roti hangat di bawah telur dadar dan beberapa sayuran yang ditaburkan di sekitarnya. Masakan yang sangat sederhana, bahan-bahan yang sangat sederhana, tapi sangat romantis dan mewah.     

"Telur dadarnya cantik sekali! Aku tidak tega memakannya."     

Senyuman terbit di wajah Maureen. Saat ketiganya sedang menikmati sarapan dan bercanda, tiba-tiba Chevin masuk.     

"Nona, Tuan Muda Chevin datang," Susi memberitahu Maureen.     

Chevin merasa sangat kesal saat masuk dan melihat ketiganya seperti sebuah keluarga yang sedang sarapan dengan bahagia dan mengobrol sambil bercanda tawa. Itu karena jelas-jelas Maureen adalah tunangannya.     

"Kamu datang. Apa kamu sudah sarapan? Mau makan bersama?" sapa Maureen.     

Jika Maureen adalah gadis pada umumnya, kemungkinan dia akan menanyakan mengapa Chevin pergi tanpa pamit kemarin. Hanya saja, Maureen jelas bukan tipe gadis dengan penyakit 'tuan putri' seperti itu.     

Chevin bertanya dengan wajah datar, "Maureen, aku dengar kemarin kamu tidak pulang?"     

Maureen mengangguk. "Kemarin aku agak tidak enak badan, jadi aku pergi ke rumah sakit."     

"Tidur di rumah sakit sepanjang malam?"     

Chevin tidak begitu percaya karena Maureen tidak tampak sakit atau terluka.     

"Ya," jawab Maureen.     

"Bagaimana dengannya?" Chevin bertanya sambil menunjuk Sean.     

Maureen tidak menyembunyikannya. "Dia menemani Sisi dan aku di rumah sakit."     

Sejak terakhir kali orang-orang Chevin dipukuli Sean, dia belum mengirim siapapun untuk mengawasi Sean lagi. Jadi, dia tidak tahu apa yang terjadi pada Maureen dan Sean tadi malam.     

Chevin tersipu dan bertanya lagi, "Dia bersamamu di rumah sakit sepanjang malam? Dia tidak berada di kamar yang sama denganmu, kan?"     

Baik Maureen maupun Sean tidak menjawab karena mereka memang berada di ruangan yang sama.     

Melihat mereka berdua tidak membantah, tampaknya mereka memang tidur di kamar yang sama. Chevin sangat marah.     

"Bagus kamu, Maureen! Kamu tunanganku, tapi bisa-bisanya kamu tidur dengan pria lain sebelum menikah! Beraninya kamu mengkhianatiku!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.