Ingin Kukatakan Sesuatu

Maureen Dipukul!



Maureen Dipukul!

0Sean memandang Lianny dan ibu Chevin, lalu berkata, "Saya ayah Sisi. Bukankah seharusnya kalian memberitahu saya dulu jika ingin membawa Sisi?"     

Ibu Chevin mencibir, "Untuk apa aku memberitahumu? Memang apa statusmu?"     

Ibu Chevin jelas memandang rendah Sean karena tahu Sean tidak memiliki dana dan koneksi di Bogor.     

Lianny menimpali, "Sisi selalu bersama ibunya. Ke mana pun putriku pergi, Sisi juga harus ikut dengannya, jadi apa lagi yang perlu dikatakan?!"     

Sean sangat kesal dan menuntut, "Saya tidak peduli dengan aturan di keluarga Laksono kalian. Singkatnya, setiap hari saya harus bisa bertemu dengan putri saya."     

Ibu Chevin berkata dengan tegas, "Tidak mungkin! Gerbang rumah keluarga Laksono kami sama sekali tidak boleh dimasuki sembarangan oleh orang-orang sepertimu! Dalam tiga hari ini, jangan harap kamu bisa menemui Sisi. Nanti sesudah pernikahan, baru kamu ajukan lagi saja keinginanmu ini!"     

Karakter ibu Chevin keras dan Maureen juga tidak bisa membantahnya, jadi Maureen pun membujuk, "Sean, bagaimana kalau kamu bersabar selama dua hari, ya?"     

Sean melirik ibu Chevin dengan marah, lalu mengangguk ke Maureen. "Baiklah. Aku akan mengantarmu ke sana."     

Maureen dan Sisi hendak pindah ke rumah orang tua Chevin, tetapi Sean tidak tahu di mana orang tua Chevin tinggal. Jadi, dia harus mencari tahu alamatnya.     

Sean mengendarai mobil Jeep Maureen, membawa Maureen dan Sisi ke area perumahan bernama Raffles Ville. Bukan hanya lokasinya yang superior dan harga rumah yang mahal, melainkan lingkungan di dalam perumahan juga berkelas.     

Pohon palem dan batu buatan di dinding luar vila menunjukkan keunikannya. Semuanya terlihat dirawat dengan sangat baik.     

Sean menghentikan mobil di depan sebuah rumah yang elegan. Ini adalah rumah orang tua Chevin karena Sean sudah melihat Chevin berdiri di muka pintu.     

Chevin datang dan membantu Maureen membawa barang bawaannya. Sementara, Sean juga turun dari mobil.     

Chevin melirik Sean dan berkata, "Aku tidak menyangka kamu akan datang. Aku sama sekali tidak berencana menahanmu di sini untuk makan."     

Sean melihat rumah ini dan mengenali lokasinya dengan saksama, lalu berkata, "Aku juga tidak berencana masuk."     

Sean mengembalikan kunci mobil ke Maureen dan berkata, "Aku pergi dulu. Hubungi aku jika ada sesuatu."     

Setelah itu, Sean juga melambaikan tangan pada Sisi.     

"Sayang, kalau kamu merindukan Ayah, ingat untuk menelepon Ayah, ya."     

"Hm! Hm! Bye-bye, Ayah."     

Sisi membawa tas sekolah kecil dan terlihat sangat menggemaskan. Sean menatap wajah Sisi yang menggemaskan dan tidak bisa menahan diri untuk mencubit pipi kecilnya lagi. Benar-benar sangat cantik!     

Sayangnya dalam dua hari ini, Sean tidak bisa menemui putrinya. Jika mereka di sini menerima perlakuan yang tidak adil, Sean pasti tidak akan mengampuni keluarga Laksono.     

"Sudah, cepat masuk! Sudah saatnya makan!" Ibu Chevin berkata dengan suara yang keras dan menatap Sisi dengan ekspresi tidak senang.     

Maureen melambai pada Sean, lalu meraih tangan Sisi dan berjalan masuk.     

Mereka berjalan memasuki ruang tamu dan tiba di ruang makan. Sisi melihat meja itu penuh dengan makanan. Kucing kecil rakus ini pun segera berlari dengan semangat dan ingin meraih sebuah lumpia. Namun, tepat ketika Sisi hendak mengulurkan tangannya, tangan kecil Sisi dipukul ibu Chevin.     

"Apa kamu sudah cuci tangan? Bisa-bisanya kamu langsung memegangnya dengan tanganmu! Kenapa kamu tidak mengerti aturan sama sekali?"     

Ibu Chevin menegur Sisi dan langsung memukul dengan sangat keras sehingga Sisi langsung menangis.     

Maureen bergegas memeluk Sisi dan membujuk, "Sisi, jangan menangis. Ayo kita cuci tangan. Kita baru boleh makan sesudah tangan kita bersih. Apa kamu lupa?"     

Setelah Maureen membawa Sisi mencuci tangannya, lalu duduk di kursi, Sisi ingin mengambil lumpia dengan tangannya. Tetapi, ibu Chevin lagi-lagi menghentikannya.     

"Tidak ada yang diizinkan makan sampai semua orang duduk!"     

Ternyata ayah Chevin masih belum turun. Seorang pelayan naik ke atas untuk memanggilnya. Tidak lama kemudian, seorang pria paruh baya yang tinggi dan gagah berjalan turun.     

Pria itu tersenyum dan mengangguk pada Maureen. "Maureen sudah datang rupanya."     

"Halo, Om," Maureen balas menyapa dengan hormat.     

Maureen tahu bahwa kesuksesan keluarga Laksono hari ini tidak lepas dari kerja keras ayah Chevin. Ayah Chevin juga memiliki kedudukan yang luar biasa di Bogor.     

Setelah ayah Chevin duduk, ibu Chevin berkata, "Maureen, jangan makan dulu. Ambilkan sepiring nasi untuk setiap orang."     

"Apa di sini tidak ada pelayan?" tanya Maureen.     

Di rumah keluarga Susetia, semuanya dilakukan oleh pelayan. Dalam keluarga sebesar keluarga Laksono, terdapat banyak pengasuh, pelayan, dan pembantu. Maureen sama sekali tidak perlu melakukan pekerjaan semacam itu.     

Ibu Chevin menjelaskan, "Ini aturan keluarga Laksono kami. Menantu perempuan sendirilah yang harus mengambilkan nasi. Ke depannya di rumah Chevin, kamu juga harus menyiapkan makanan untuknya dan meletakkannya di hadapannya."     

Pada saat ini, tiba-tiba Sisi menyela, "Di rumah Ibu, Ayah yang mengambilkan nasi untuk kami!"     

Ibu Chevin mendengus dingin. "Ayahmu adalah orang biasa. Bagaimana bisa dia dibandingkan dengan keluarga Laksono kami? Dia tidak bisa apa-apa, jadi tentu saja dia harus mengambilkan nasi!"     

Sisi segera membalas, "Ayahku sangat cakap!"     

Orang tua Chevin langsung mengerutkan kening.     

Maureen tidak ingin membuat keributan saat baru saja memasuki pintu rumah ini, jadi dia segera berkata, "Baik, aku akan pergi mengambilkan nasi."     

Maureen memberi orang tua Chevin dan Chevin masing-masing sepiring nasi, kemudian sepiring lagi untuk dirinya dan Sisi, baru sesudah itu mulai makan.     

Keluarga Laksono memiliki persyaratan yang ketat pada makanan, jadi tidak heran jika semua orang memiliki perawakan yang besar dan kekar. Makanan yang dihidangkan juga sangat enak. Sisi memakannya dengan senang hati.     

"Jangan kecap-kecap saat makan!" Ibu Chevin menegur Sisi lagi.     

Sisi, yang semula lugu dan suka tertawa, langsung menjadi ketakutan. Suasana di sini membuat Sisi sesak napas.     

"Maureen, kamu tidak perlu mencuci piring. Ikutlah ke kamar bersama Tante. Ada yang ingin Tante katakan padamu," kata ibu Chevin pada Maureen sesudah makan malam.     

Maureen mengikuti ibu Chevin ke kamarnya. Setelah duduk, Maureen bertanya, "Tante, apa permintaan Tante?"     

Ekspresi ibu Chevin terlihat serius dan sama sekali tidak terlihat seperti seorang ibu. Dia berkata dengan dingin, "Setelah menikahi Chevin, Tante ingin kamu memiliki dua putra dalam waktu tiga tahun. Ini sekotak tablet asam folat. Ambil dan minumlah."     

Maureen tampak bingung. "Tante, punya berapa anak, punya anak atau tidak, ini adalah urusanku dan Chevin. Seharusnya kami berdua yang memutuskannya, kan? Permintaan Tante ini sepertinya tidak bisa aku terima!"     

Plak!     

Melihat Maureen berani menolak, ibu Chevin menampar wajah Maureen. Ibu Chevin juga lebih kuat dari rata-rata wanita paruh baya lainnya, jadi tamparan ini sangat kuat.     

Ibu Chevin membentak, "Maureen, jangan berpikir karena kamu cucu Suhendra, lalu kamu bisa melakukan apapun yang kamu inginkan dalam keluarga Laksono kami! Mengenai anak, entah kamu mau atau tidak, kamu tetap harus memberi keturunan untuk Chevin!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.