Ingin Kukatakan Sesuatu

Tangis Minta Tolong Sisi!



Tangis Minta Tolong Sisi!

0Kali ini Sean datang ke Bogor selama setengah bulan dan bertemu dengan Sisi setiap hari. Ketergantungan dan kasih sayang Sisi pada ayahnya semakin dalam. Jadi, ketika Chevin mengatai Sean orang tidak berguna, Sisi menangis dan meraung. Dia tidak memperbolehkan orang lain berkata seperti itu tentang ayahnya.     

Meskipun Sisi masih kecil, tekadnya sangat kuat agar orang lain tidak menghina ayahnya dan mempermalukan ayahnya. Sisi yang awalnya sudah tidak memiliki tenaga pun memaksa dirinya untuk berdiri kokoh dan melakukan kuda-kuda.     

Sisi terus berkata pada dirinya sendiri, "Aku putri Ayah! Aku bisa melakukannya! Aku tidak boleh mempermalukan Ayah!"     

Sementara, Chevin mendengus dingin, benar-benar tampak sangat menghina.     

Waktu demi waktu berlalu. Sisi tetap pada postur kuda-kuda sesuai standar selama lebih dari sepuluh menit. Tanpa sadar kakinya bergetar, tetapi dia masih menahan napasnya dan bersikeras bertahan.     

Sisi melakukannya karena dia adalah putri Sean. Dia tidak ingin orang memandang rendah ayahnya dan dirinya. Akan tetapi, bagaimanapun juga, Sisi hanyalah seorang gadis kecil. Entah setelah berapa lama, tiba-tiba matanya putih dan dia jatuh pingsan ke tanah.     

Brak!     

Sisi terjatuh ke tanah.     

"Putri orang tidak berguna memang tidak berguna! Hanya melakukan kuda-kuda saja pingsan! Panggilkan orang kemari!" seru Chevin.     

Bibi tua itu keluar dan menepuk-nepuk Sisi untuk membangunkannya. Pada saat ini, Sisi sudah tidak dapat berdiri sama sekali. Kedua kakinya sudah tidak bertenaga. Begitu berdiri, dia langsung terjatuh.     

Sisi mulai menangis. Seumur hidupnya, dia selalu dirawat ibunya dengan hati. Mana pernah dia menerima penderitaan seperti ini?     

"Aku mau pulang! Aku mau bertemu Ibu. Aku mau bertemu Ayah!" teriak Sisi sambil menangis.     

Chevin sangat marah dan membentak, "Jangan menangis! Kembali ke kamarmu dan tetap di sana! Selain itu, ke depannya di sini adalah rumahmu!"     

Setelah itu, Chevin berkata pada bibi tua itu, "Bawa dia ke kamarnya."     

"Baik!"     

Sisi menolak untuk pergi dan memang tidak bisa berjalan. Bibi tua yang tahu bahwa gadis kecil ini adalah 'anak haram' yang lahir dari hubungan Nyonya Muda dengan pria lain pun memiliki sikap yang sangat buruk terhadap Sisi. Dia langsung menyeret sisi dengan kasar menuju ke dalam rumah.     

Sambil enggan diseret di lantai, Sisi menangis dan berteriak, "Ibu! Ibu!"     

Maureen yang ada di dalam dan mendengar tangisan Sisi pun segera keluar dari kamar dan memanggil, "Sisi!"     

Begitu keluar, dua pria menghentikan Maureen.     

"Nyonya Muda, kecuali Anda menyetujui permintaan Nyonya, Anda tidak bisa keluar."     

Maureen sangat marah. "Minggir! Aku ingin melihat putriku!"     

Pengawal itu masih menolak untuk melepaskannya. "Tolong jangan mempersulit kami."     

Maureen merasa kasihan pada putrinya dan ingin memaksa keluar, tetapi dia dipaksa kembali ke kamar oleh dua pengawal itu, kemudian pintu ditutup.     

Selama empat tahun terakhir, Maureen telah hidup jauh dari keluarganya dan tinggal bersama putrinya. Sisi adalah hidupnya. Dia bisa tetap tenang kapan pun, tetapi dia tidak mungkin tenang ketika putrinya terluka. Dia bisa melakukan apa saja untuk putrinya.     

Pada saat ini, Maureen sangat marah. Dia adalah nona tertua yang terhormat dari keluarga Susetia, tetapi keluarga Laksono berani memperlakukannya seperti ini.     

Maureen segera mengambil ponselnya dan menelepon kakeknya, ingin mengadu pada kakeknya dan memintanya untuk mendapatkan keadilan untuknya. Berdasarkan status Suhendra di Bogor hari ini, asalkan dia mengucapkan satu kalimat, semua orang di keluarga Laksono harus berlutut dan meminta maaf pada Maureen.     

Ternyata Suhendra tidak menjawab telepon. Maureen tahu bahwa orang tuanya lebih mencintai putra mereka dan tidak menyukai sikapnya selama ini, jadi dia tidak menelepon orang tuanya. Dia memikirkan satu orang, Sean, ayah Sisi. Sekarang putrinya menderita, jadi sudah seharusnya orang pertama yang dihubunginya adalah Sean. Namun, dia juga tidak bisa menghubungi Sean.     

Maureen tahu situasi Sean saat ini. Sean seorang diri tidak akan bisa melawan keluarga Laksono. Menyuruhnya datang hanya akan mencelakainya. Karena itu, Maureen memilih untuk menghubungi adiknya, Marvin Susetia, yang selalu tidak kenal takut dan memiliki hubungan yang sangat dekat dengannya.     

Pada saat ini, Marvin masih terbaring di rumah sakit.     

Segera setelah telepon terhubung, Maureen berkata dengan tergesa-gesa, "Marvin, kirim seseorang ke rumah keluarga Laksono untuk menyelamatkan Kakak dan Sisi. Kakak dipukul orang dari keluarga Laksono. Kakak dikunci di kamar dan tidak bisa keluar. Sisi juga terus menangis. Entah apa yang mereka lakukan pada Sisi. Kakak sangat khawatir pada Sisi. Selama ini, dia tidak pernah mengalami penderitaan apapun."     

Begitu mendengar ini, amarah Marvin langsung meledak. "Apa?! Keluarga Laksono tidak punya rasa takut rupanya! Beraninya memukul Kakak dan Sisi? Aku akan mengirim orang dan menghabisi orang-orang di keluarga Laksono!"     

Marvin selalu memandang rendah keluarga Laksono. Meskipun keluarga Laksono memang sangat kuat, Marvin tidak menyukainya.     

Sekarang saja keluarga Laksono berani memperlakukan kakaknya seperti ini, padahal Maureen belum menjadi bagian dari keluarga Laksono. Jika mereka menikah pada tanggal 1 April, bukankah itu berarti Maureen dan Sisi akan disiksa sampai mati?!     

Marvin memberi perintah, "Kirim orang pergi ke rumah keluarga Laksono untuk menjemput kakakku dan Sisi! Made, jika aku tidak melukai kakiku, aku pasti sudah ke sana sendiri dan menampar wajah Chevin!"     

Tak lama kemudian, bawahan Marvin segera mengatur orang untuk pergi ke rumah keluarga Laksono. Namun, tidak butuh waktu lama bagi bawahannya untuk kembali lagi. Marvin terkejut seketika.     

"Ada apa? Bukannya aku menyuruhmu sendiri yang langsung membawa mereka kemari? Apakah orang-orang di keluarga Laksono tidak membiarkan mereka pergi?"     

Bawahan itu menjawab, "Tidak, Tuan Muda Marvin. Kami belum sampai di rumah keluarga Laksono. Di jalan kami bertemu Komandan Lubis dan beliau menghentikan kami."     

Tidak lama kemudian, seorang pria jangkung berusia 40-an masuk. Dia adalah bawahan Suhendra yang paling cakap, Lubis Butar.     

Lubis merupakan orang yang luar biasa berbakat. Satu di antara sepuluh ribu. Begitulah bagaimana Suhendra mendeskripsikan Lubis. Meskipun dia adalah bawahan Suhendra yang hanya mendengarkan apa pun perintah Suhendra, di luar dia merupakan penguasa yang sangat dihormati baik di dunia hitam maupun putih di seluruh Indonesia.     

"Lubis? Kenapa kamu melarang orang-orangku pergi ke rumah keluarga Laksono?" Marvin bertanya dengan bingung.     

Lubis tersenyum menyapa Marvin, lalu berkata, "Tuan Muda Marvin, ini perintah kakek Anda."     

Marvin tidak mengerti. "Kenapa Kakek menghentikanku?! Apa mungkin orang-orang dari keluarga Laksono diizinkan untuk menindas kakakku?!"     

"Tuan Besar Susetia sudah memerintahkan bahwa Anda sama sekali tidak boleh mengutus pasukan ke rumah keluarga Laksono. Jika tidak, itu akan memprovokasi keluarga Laksono. Sekarang hari pernikahan sudah dekat. Tuan Besar Susetia tidak bisa membiarkan Anda melakukan hal-hal yang mempengaruhi keharmonisan antar dua keluarga," kata Lubis.     

Marvin sangat marah. "Kalau begitu aku perintahkan kamu untuk pergi ke rumah keluarga Laksono seorang diri dan bawa kakakku dan Sisi kembali! Bukankah Kakek selalu membandingkanmu dengan para pahlawan perang yang hebat-hebat itu? Aku akan memberimu mobil tank. Anggap saja sebagai kudamu dan bunuh habisi mereka!"     

Lubis tersenyum dan berkata, "Maaf, saya hanya mendengarkan perintah kakek Anda. Anda tidak bisa memerintah saya. Selain itu, Tuan Muda Marvin sudah terlalu menyanjung saya. Keluarga Laksono sangat kuat. Jika saya menerobos masuk ke rumah keluarga Laksono sendirian, sepertinya saya bahkan tidak akan bisa memasuki gerbang rumahnya."     

"Saya datang ke sini untuk memberitahu Anda bahwa Anda bisa merawat luka Anda dengan tenang di rumah sakit. Keluarga Laksono tidak akan berani melakukan apapun pada Nona Maureen. Anda tenang saja," tambah Lubis.     

"Tenang nenek moyangmu!" maki Mavin.     

Tersirat raut ketidaksenangan di wajah Lubis.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.