Lagi-lagi Membuat Sensasi

Bos, Anda terekspos



Bos, Anda terekspos

0Ini adalah jam sibuk sekolah. Banyak orang tua siswa yang menjemput anak-anak mereka sepulang sekolah. Bagian luar SMA Utama terhalang penuh sesak oleh berbagai mobil.     

Qiao Nian mengerutkan kening, mengeluarkan earphone dari tas dan memasangnya, kemudian melewati kerumunan orang begitu saja. Dia hendak bersiap menelepon rumah sakit kembali.     

Dari sudut matanya, Qiao Nian melihat sebuah Phaeton hitam diparkir di sudut yang tidak mencolok di seberang jalan. Ye Wangchuan bersandar dengan malas di samping mobil itu. Lampu jalan menyinari wajahnya yang tampan.      

Sorot mata Ye Wangchuan tampak dalam. Sebatang rokok diselipkan di antara bibirnya yang tipis dan cerah. Lengan kemejanya yang berwarna hitam digulung, memperlihatkan gelang manik Buddha merah di tulang pergelangan tangannya. Meskipun memarkir mobilnya jauh, tetapi Ye Wangchuan malah menonjol dalam keramaian dan sangat menarik perhatian.     

Qiao Nian tidak ingin menghampirinya. Pria yang berdiri di samping mobil itu seperti dapat merasakan bahwa Qiao Nian sudah keluar sekolah, jadi dia mengangkat mata untuk melihat ke arahnya. Kebetulan mata mereka bertabrakan sekilas.     

"..." Qiao Nian terpana.     

Ye Wangchuan tidak menyangka Qiao Nian keluar begitu cepat dan juga melihatnya merokok. Dia mengerutkan kening dan membuang puntung rokok yang baru diisapnya sekali lalu menginjaknya dengan sepatunya. Kemudian, dia berbalik kepada Gu San yang ada di dalam mobil lalu berujar, "Bukannya kamu bilang kelas tiga sedang dalam ujian dan akan memakan waktu setidaknya setengah jam sebelum keluar?"     

"Ya, akan memakan waktu setengah jam."     

"Lalu kenapa Qiao Nian sudah keluar?" tanya Ye Wangchuan. Dia juga kebetulan melihatku merokok, batinnya.     

Ye Wangchuan mencubit dahinya. Dia terlalu malas berbicara. Dia pun mengangkat tangan untuk menyapa Qiao Nian di seberang yang menghampirinya.     

Jalannya sangat lebar, tapi Qiao Nian sudah tiba dalam beberapa langkah. Baru saja dia berhenti, terdengar suara rendah dan dalam pria itu yang berbicara padanya, "Paman Chen mengalami masalah."     

Jantung Qiao Nian berdetak kencang. Ekspresi wajahnya agak berubah. Dia melepas earphone dan menatap Ye Wangchuan dengan mata gelap. Sorot matanya dingin dan kejam, seperti serigala yang sudah menginjak batas kesabaran.     

"Masalah apa yang terjadi?" Suara Qiao Nian terdengar serak.     

Melihat bahu dan punggung Qiao Nian menegang dan menegak, Ye Wangchuan tahu bahwa gadis itu jauh dari kata tenang, seperti yang terlihat di permukaan saja. Dia berbalik dan membuka pintu mobil, memberi isyarat pada Qiao Nian untuk masuk ke dalam mobil. Dia berkata, "Kita mengobrol di jalan saja. Masuklah ke mobil dulu."     

Di perjalanan, Ye Wangchuan menjelaskan situasi Paman Chen secara singkat padanya. Faktanya sangat sederhana, Paman Chen tiba-tiba mengalami mual dan muntah pada sore hari, serta pingsan beberapa saat. Dokter melakukan pemeriksaan darurat padanya dan menemukan ada tumor di otaknya dan harus membutuhkan operasi segera.     

Namun, kraniotomi (operasi tulang tengkorak) semacam ini membutuhkan dokter dengan pendidikan dan kemampuan tinggi. Kota Rao hanyalah kota kecil. Tingkat teknologi medisnya juga jauh dari standar di Beijing. Dalam waktu yang mendadak ini, mereka harus mencari spesialis untuk melakukan kraniotomi pada Paman Chen. Tentu saja, sulitnya seperti ingin menggapai langit.     

Sebelum mobil tiba di Rumah Sakit Kota Rao, mata Ye Wangchuan tertuju pada wajah Qiao Nian yang pucat. Jari-jarinya dengan cepat memutar gelang manik yang ada di pergelangan tangannya. Dengan lembut, dia menghibur Qiao Nian, "Aku telah menghubungi para ahli di Rumah Sakit Rakyat Beijing, mereka akan segera tiba. Kamu tidak perlu khawatir."     

Qiao Nian selalu tahu bahwa Paman Chen dalam kesehatan yang buruk sepanjang tahun sehingga terbaring di atas ranjang. Jadi, dia meminta dokter untuk memberinya pemeriksaan fisik yang komprehensif setiap bulan. Namun, dia juga tidak menyangka akan ditemukan tumor otak seperti ini.     

Wajah Qiao Nian menjadi pucat. Dia bersandar dan memejamkan mata. Bulu mata hitamnya terlihat jelas, bibirnya mengerucut menjadi garis lurus, sementara tangannya mengepal dan diletakkan di samping. Dia tidak berbicara apa pun.     

Itu adalah pertama kalinya Ye Wangchuan melihat sisi Qiao Nian yang begitu rapuh dan tidak tenang. Khawatir tangan Qiao Nian akan berdarah dari cengkeramannya yang erat, dia menaruh tangannya yang besar di punggung tangan gadis itu.     

Bagai menghibur seorang anak kecil, Ye Wangchuan membujuk dengan suara rendah, "Niannian yang baik, percayalah padaku, Paman Chen pasti akan baik-baik saja."     

Mobil itu dengan cepat berhenti di Rumah Sakit Kota Rao. Qiao Nian hampir berlari sepanjang jalan sampai ke lantai 6. Dari kejauhan, dia bisa mendengar tangisan Bibi Chen yang tertahan dan juga suara para dokter yang berkumpul untuk berdiskusi.     

"Pasien sudah memasuki tahap koma berat. Apa yang harus kita lakukan? Akan sangat terlambat kalau menunggu ahli dari Beijing datang kemari. Haruskah kita langsung memindahkannya ke rumah sakit yang tingkatnya lebih tinggi?"     

"Tidak, dengan kondisinya ini dia tidak boleh dipindahkan lagi. Jadi, dia hanya bisa dioperasi secepat mungkin."     

"Tapi, siapa yang akan menjadi kepala ahli bedah?"     

Tempat itu tiba-tiba menjadi sangat sunyi.     

Para dokter dari unit bedah otak Rumah Sakit Kota Rao semuanya sudah ada di sini. Tidak ada yang berani maju dan mengatakan bahwa mereka yakin melakukannya. Jika hari ini digantikan dengan pasien biasa, mereka mungkin tidak memiliki banyak tekanan. Mereka bisa langsung melakukannya. Bagaimanapun juga, ada keberhasilan dan kegagalan dalam sebuah operasi.      

Namun, meskipun pasien ini terlihat biasa, tapi tampaknya memiliki banyak dukungan kuat di belakangnya. Siapa pun juga tidak ada yang mampu menanggung beban tanggung jawab ini.     

Bibi Chen menunggu dengan air mata berlinang selama puluhan menit tanpa melihat dokter memutuskan siapa yang akan menjadi kepala ahli bedah. Hatinya tenggelam tak terkendali. Ketika hampir putus asa, dia mendengar suara yang akrab di ujung koridor.     

"Aku yang akan melakukannya!"     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.