Another Part Of Me?

Part 1.14



Part 1.14

0Davine tersungkur tepat sebelum pintu masuk apartemennya. Pandangnya yang tiba-tiba saja kabur dan keseimbangan yang mulai goyah membuatnya tanpa sengaja membenturkan kepalanya pada ganggang pintu kamarnya, yang seketika itu juga membuatnya tidak sadarkan diri.     

Selang beberapa waktu akhirnya Davine kembali sadar, ia mencoba bangkit namun kepalanya berdenyut hebat.     

"Jangan memaksakan diri Nak Davine!" tegur Pak Drian yang terlihat menghampirinya dengan segelas teh hangat di tangannya.     

Seketika Davine sadar jika saat itu ia telah berada di kamar apartemen Pak Drian.     

"Maaf kan saya Pak, membuat Anda menjadi repot," ujar Davine sungkan.     

"Kau harus menjaga kesehatanmu Nak Davine. Bapak menemukanmu pingsan tepat di depan pintu kamarmu!" terang Pak Drian.     

"Apa kau sakit atau semacamnya, jika iya Bapak, bisa mengantarkan Nak Davine ke rumah sakit!" tambah Pak Drian. Sebagai tetangga pria itu sangat baik pada Davine.     

"Tidak Pak, itu tidak perlu. Mungkin saya hanya kelelahan saja!" dalih Davine.     

"Jika begitu baiklah, minumlah teh hangat ini, ini akan membuatmu merasa sedikit lebih baik," Pak Drian menyodorkan segelas teh hangat yang sedari tadi dipegangnya pada Davine.     

"Terima kasih Pak, sekali lagi maaf merepotkan Anda!" Davine mengambil teh hangat itu dan segera meminumnya.     

"Tidak apa, Bapak merasa senang bisa membantu!" jawab Pak Drian ramah.     

"Nak Davine beristirahatlah dulu di sini, Bapak, akan ke mini market untuk membeli sedikit keperluan Bapak," Pak Drian pun berlalu dan meninggal kan Davine sendirian di kamar apartemen miliknya.     

Davine mengamati tempat itu, ia tidak tahu sejak kapan Pak Drian tinggal sendirian di apartemen itu, setahu Davine, Pak Drian adalah seorang duda, entah ia mempunyai anak atau tidak, Davine tidak tahu pasti akan hal itu, ia tidak pernah sekalipun melihat anak dari Pak Drian mengunjunginya, setidaknya sampai saat ini.     

Semakin hari Davine semakin sering mengalami hal serupa, penglihatannya yang tiba-tiba saja menghilang di waktu-waktu yang tidak bisa ia prediksi sama sekali. Itu kali keduanya ia pingsan karena hal itu. Sebelumnya ia juga pernah tiba-tiba saja pingsan saat sedang berjalan menuju kampusnya, beruntung seorang pejalan kaki membantunya kala itu.     

Awalnya Davine hanya berpikir jika itu hal biasa, faktor kelelahan atau cuaca mungkin bisa jadi pemicu hal itu bisa terjadi. Namun ia mendapati sesuatu yang janggal, kerap kali sebelum ia benar-benar kehilangan kesadarannya ia seperti mendapat sekilas penglihatan yang sangat aneh, penglihatan itu tidak jelas, layaknya potongan-potongan film yang diputar secara acak dan tidak beraturan, namun yang pasti ia yakin jika itu bukan penglihatan atau ingatannya sendiri, atau mungkin ia hanya terlalu banyak berhalusinasi saja.     

Selang beberapa waktu Pak Drian kembali dengan membawa beberapa buah-buahan segar dan memberikannya pada Davine.     

"Kau harus lebih sering mengonsumsi buah-buahan, itu baik untuk tubuhmu!" ujar Pak Drian sedikit menasihati.     

"Anak muda jaman sekarang lebih cenderung memakan fast food dari pada makanan bergizi!" celetuknya, sembari menggelengkan pelan kepalanya.     

Setelah menerima semua perlakuan baik dari Pak Drian, Davine memohon pamit untuk kembali ke kamar apartemennya, ia beberapa kali membungkukkan badannya tanda berterima kasih pada pria paruh baya itu.     

Setelah menaruh barang-barang bawaannya dan sekantong buah-buahan pemberian Pak Drian, Davine berniat untuk mencari udara segar di sebuah taman yang terletak tidak jauh dari apartemennya, dengan berjalan kaki sekitar 10 menit saja maka ia akan sampai di tempat itu. Ia butuh udara segar dan pemandangan asri untuk sekedar menenangkan pikirannya.     

Davine duduk di sebuah bangku panjang yang terdapat di taman itu, beberapa anak terlihat berlari ke sana-kemari bermain tanpa ada pikiran yang membebani mereka. Davine sedikit iri dengan hal itu, terkadang ia berpikir lelahnya menjadi orang dewasa.     

Davine membuka sebuah rokok mild yang baru dibelinya, ia bukan seorang perokok, ia hanya ingin sekedar mencobanya saja. Namun baru satu kali hisapan Davine sudah batuk-batuk bukan main dan segera membuang rokok itu ke tanah lalu menginjaknya, "Astaga, mengapa orang-orang begitu menyukai benda ini?" gumamnya pada diri sendiri.     

Akhirnya Davine hanya duduk termenung, sesekali ia teringat pada Siska, ia yakin jika ada kekasihnya itu di sisinya saat ini ia akan merasa jauh lebih baik. Setidaknya ia tidak akan merasa kesepian.     

Seorang pria terlihat mondar-mandir tak jauh dari tempat Davine duduk. Pria itu terlihat sedang menelepon sambil sesekali pandangannya seakan mencari ke sana-kemari, melihatnya Davine berpikir mungkin pria itu sedang janjian dengan seseorang untuk bertemu di tempat ini. Davine tidak terlalu memperdulikannya.     

Tak lama berselang pria itu mematikan panggilan pada smartphonya dan berjalan menghampiri Davine, Davine yang menyadari hal itu mencoba mengingat-ingat apakah ia mempunyai kenalan orang sepertinya, rasanya tidak, pikirnya.     

Tak seperti dugaan Davine, ternyata pria itu hanya ingin duduk di bangku yang sama dengannya selagi menunggu seseorang yang mungkin telah melakukan janji untuk bertemu di taman tersebut.     

Sekilas mata mereka saling bertemu, Davine segera memalingkan pandangannya ke arah lain, ia selalu tidak nyaman jika harus saling bertemu pandang dengan seseorang, terlebih jika itu orang asing.     

"Permisi, bolehkan saya duduk di sini!" tanya pria itu ramah pada Davine.     

"Oh, silakan Kak," jawab Davine, ia tahu pria itu sedikit lebih tua darinya.     

"Saya harap saya tidak mengganggu!" tambah pria itu.     

"Sama sekali tidak Kak,!" Davine tersenyum sedikit canggung.     

"Saya sedang menunggu seseorang, kami berjanji untuk bertemu di tempat ini!" terang pria itu sambil sesekali melirik jam di tangan kirinya.     

Davine hanya mengangguk paham dan kembali sedikit melemparkan senyumnya. Entah mengapa ia selalu kesulitan jika harus berinteraksi dengan orang lain, terlebih lagi orang yang tak dikenalnya.     

Selang beberapa waktu terlihat seorang gadis berjalan dari kejauhan menghampiri mereka, Davine tahu jika gadis itu kemungkinan adalah orang yang sedari tadi ditunggu pria itu.     

Tepat beberapa meter sebelum gadis itu sampai di tempat mereka duduk, Davine segera undur diri dari tempat itu, ia tidak ingin mengganggu mereka.     

"Sepertinya saya harus pergi!" tukas Davine pada pria itu.     

"Mengapa, apa aku membuatmu tidak nyaman?" tanya pria itu pada Davine, ia merasa sedikit tidak enak hati.     

"Tidak Kak, aku hanya ada keperluan lain saja saat ini!" ujar Davine menyangkal pernyataan pria tersebut.     

"Baiklah jika begitu." pria itu untuk kesekian kalinya tersenyum ramah pada Davine.     

Baru beberapa langkah Davine meninggalkan tempat itu, sang pria kembali memanggil Davine dari belakang.     

"Tunggu Dek, kau melupakan sesuatu!" pria itu menghampiri Davine dengan membawa sebungkus rokok mild milik Davine yang tertinggal di bangku yang baru saja di tinggalkannya.     

"Wah, maaf saya lupa Kak, terima kasih!" Davine beberapa kali membungkukkan badannya pada pria itu.     

"Yeah. No problem!" jawab pria itu, aksennya terdengar sangat baik.     

Davine segera meninggalkan pria itu, ia sempat berpapasan dengan gadis yang berjalan menghampiri pria tersebut, sekilas Davine merasa tidak asing dengannya, Davine merasa pernah melihatnya gadis itu, tapi entah di mana.     

Tak mau ambil pusing Davine bergegas meninggalkan taman itu, ia berhenti sejenak pada sebuah tempat sampah yang berada di taman tersebut, "Aku masih tidak mengerti mengapa orang-orang sangat menyukai benda ini?" gumamnya sembari membuang sebungkus rokok yang baru di belinya itu ke tempat sampah.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.