Another Part Of Me?

Part 5.26



Part 5.26

0Kevin harus berdiam diri untuk sementara waktu di dalam bilik toilet umum yang cukup kotor itu. Ia hanya bisa menahan rasa kesalnya. Walau sangat membenci Davine, namun entah mengapa ia tak pernah bisa menghadapi lelaki itu dengan benar. Kevin tahu jika dirinya tak akan pernah bisa mengalahkan lelaki itu, baik dari segi fisik, maupun intelegensinya. Selama ini ia dengan terpaksa terus membantu Davine dalam mencari berbagai informasi yang ia inginkan, selain karena sejumlah uang yang memang ditawarkan oleh lelaki itu, Kevin juga harus melakukan hal tersebut sebab perjanjian yang pernah ia sepakati bersama selagi mereka masih berada di bangku SMA, Kevin yang dulu pernah di hajar habis-habisan oleh sang alter milik Davine itu secara mau tidak mau harus menuruti perintah dari lelaki tersebut.      

     Kevin memang seolah ditakdirkan untuk selalu memiliki masalah dengan Davine. Baik itu tentang Annie wanita yang dulu ia sukai, dan kini bahkan ketika ia juga mencintai Siska, entah mengapa Davine kembali muncul begitu saja sebagai kekasih wanita itu.      

     "Davine, lagi-lagi kau. Mengapa kau selalu mengganggu kehidupanku!" maki Kevin sembari menusuk-nusukkan sebuah pisau lipat miliknya pada bilik toilet itu.      

******      

     Tak hanya Davine dan Siska, tampaknya Bella dan Hanna juga turut memanfaatkan dicabutnya peraturan yang membatasi setiap aktivitas di kota itu. Setelah sekian lama mereka tak pernah berkencan, kini mereka memutuskan untuk sedikit bersenang-senang. Hari itu mereka memilih untuk mengunjungi pantai yang berada daerah timur kota itu. Itu adalah pantai di mana mayat Annie dulu ditemukan.      

     Tampaknya Bella kini telah menjadi lebih tegar dari sebelumnya, walau ia masih menyesali kematian sahabatnya itu, sebab dirinya yang dengan bodohnya tak pernah menyadari apa yang telah terjadi pada wanita malang itu, sampai akhirnya semua terungkap lewat buku catatan yang Annie buat.      

      "Bagaimana penyelidikan yang kalian lakukan, apakah kalian menemukan sesuatu?" tanya Bella.      

      Bella memang telah mengetahui akan kerjasama yang dilakukan antara Davine dan kekasihnya itu. Walau awalnya ia merasa tidak setuju akan keputusan yang diambil oleh Hanna, namun ia percaya jika lelaki itu memiliki pemikiran dan pertimbangannya sendiri akan hal tersebut. Kini ia memang telah mengikhlaskan kepergian sang sahabat, walau kenyataannya Annie memilih mengakhiri hidupnya sendiri adalah fakta, namun Davine tetaplah menjadi salah satu faktor penting yang menyebabkan wanita itu memilih mengambil keputusan tersebut.      

      "Apa kau masih menyalahkannya atas apa yang telah terjadi?" tanya Hanna.      

      Bella tak dapat menjawab pertanyaan itu. Itu adalah hal yang sangat rumit untuk dijelaskan, tentu Bella merasa jika apa yang diperbuat Davine adalah hal yang salah, namun seperti apa yang pernah Siska katakan, jika ia juga harus memahami hal itu dari sudut pandang Davine sendiri.      

     "Entahlah …!" jawab Bella, ia tampak menghela nafasnya panjang.      

      "Baiklah, aku tahu itu adalah hal yang sulit!" tanggap Hanna.      

      "Untuk saat ini kami harus menemukan sebuah yayasan yang bisa saja menjadi sebuah titik tumpu guna mengungkapkan kasus ini!" ujar Hanna kembali ke topik awal mereka.      

     "Maksudmu, yayasan panti asuhan?" tanya Bella.      

      "Bukankah kita telah mencoba menemukannya, namun hasilnya nihil!" tambah wanita itu lagi.      

      "Ya, kau benar. Namun itu seolah memang menjelaskan jika ada yang sengaja disembunyikan mengenai yayasan itu. Davine telah bersaksi jika sewaktu kecil ia tinggal di sebuah yayasan panti asuhan dan penampungan anak-anak gelandangan yang berada di kota ini!" tukas Hanna.      

      "Astaga, apa kau yakin. Jika begitu seharusnya memang ada sebuah yayasan panti asuhan di kota ini, namun mengapa informasi dari yayasan itu seolah tak pernah ada di kota ini!" tanggap Bella.      

      "Apa maksudmu, pihak Pemerintah dengan sengaja menyembunyikan keberadaan yayasan  tersebut?" tambah wanita itu.      

      "Tapi kenapa?" tambahnya lagi penuh rasa ingin tahu.      

      "Entahlah, hal ini masih menjadi misteri, namun aku rasa ini ada hubungannya dengan kejadian yang pernah terjadi di kota ini beberapa tahun silam!" jawab Hanna.      

     "Apa yang kau maksud adalah kejadian yang sempat disinggung oleh wanita paruh baya dengan gangguan mental itu?" sambar Bella.      

      "Ya, tampaknya seperti itu. Bukankah itu berkaitan dengan hilangnya anak-anak!" jawab Hanna.      

     "Ya, itu benar. Jelas sekali wanita itu mengalami gangguan jiwa karena disebabkan oleh anaknya yang menghilang, dan wanita itu mengatakan seolah ada oknum yang dengan sengaja mengambil anak tersebut!" tambah Bella.      

     "Namun, apakah kita bisa mempercayai wanita dengan gangguan jiwa itu?" tanya Bella.      

     "Pada dasarnya ada dua faktor penyebab gangguan jiwa, yang pertama adalah faktor biologis seperti, gen keturunan, cedera pada otak, gangguan saat lahir, infeksi, dan penyalahgunaan zat tertentu. Sedangkan yang kedua dan yang paling umum adalah faktor psikologi seperti, mengalami trauma psikologi yang berat sewaktu kecil baik fisik maupun seksual, pernah dicampakkan, memiliki pengalaman yang buruk berhubungan dengan orang lain, dan kehilangan sosok penting di dalam hidupnya!" jelas Hanna.      

     "Dari sekian banyak ciri itu, bukankah sudah jelas jika sang wanita paruh baya itu mengalami gangguan jiwa sebab kehilangan anaknya, hal ini juga menegaskan jika hal itu memanglah benar terjadi dan dapat untuk di percaya!" tambah lelaki itu.      

     "Dan lagi bukankah kau juga sempat mendengar perihal mengenai kejadian yang disinggung oleh wanita itu dari orang lain!" tukas Hanna.      

     Bella menganggukkan kepalanya, memang benar, saat itu ia juga mendengar akan hal itu dari lelaki paruh baya yang menolongnya setelah diserang oleh wanita dengan gangguan jiwa itu, sang lelaki menyingung soal kejadian yang terjadi beberapa tahun silam, namun sialnya lelaki itu tampak tak ingin menjelaskannya lebih lanjut. Lelaki itu seolah menggantung informasi itu begitu saja.      

      "Bukankah kita bisa mempertanyakan hal itu pada para orang tua yang tinggal di kota ini, aku pikir mereka pasti tahu perihal tragedi yang dulu pernah terjadi di kota ini!" tukas Bella.      

      "Aku sudah mencoba menanyakan hal itu kepada kedua orang tuaku, namun mereka tampaknya tak pernah tahu-menahu akan hal itu. Mengingat kami memang adalah pendatang dan bukan warga asli di kota ini," tambah wanita itu.      

      "Ya, aku telah mencoba hal itu beberapa kali pada para warga secara random, sayangnya mereka juga mengatakan tidak tahu-menahu akan hal itu!" terang Hanna.      

      "Mengapa, apa karena mereka memang tak mengetahui perihal itu, atau mungkin ada alasan lain mengapa mereka enggan untuk memberitahukannya?" sambut Bella.      

      "Entahlah, kota ini seolah menyimpan segala rahasianya dengan sangat baik!" jawab Hanna, lelaki itu melayangkan pandangannya jauh ke langit.      

     "Baik itu para warga, atau pemerintah kota ini sendiri. Entah mengapa aku merasa tak bisa mempercayai mereka!" tambah lelaki itu.      

     "Tunggu dulu, bukankah ini sangat aneh. Maksudku mengapa mereka seolah berusaha menyembunyikannya?" tanggap Bella, ekspresinya sangat mirip dengan Siska ketika menanyakan hal serupa kepada Hanna beberapa hari yang lalu.      

      Sama halnya dengan apa yang Hanna jelaskan kepada Siska, ia pun menjelaskan dugaannya tentang perihal itu secara singkat pada kekasihnya itu.      

******      

     Waktu menunjukan pukul 11.15 p.m. malam itu Davine sedang berbaring sembari menatapi sebuah liontin bermata merah yang sebelumnya Monna berikan kepadanya. Ia masih sangat bertanya-tanya perihal mengapa sang ibu angkatnya itu memberikan benda itu sebelum kematiannya. Davine mencoba mencerna setiap kata-kata yang terucap dari bibir Monna. Ia tahu bahwa wanita itu pasti memiliki tujuan dengan memberikan benda itu kepada dirinya.      

     Saat itu Monna seolah menegaskan benda yang akan ia berikan itu nantinya akan sangat membantu Davine untuk mengungkapkan siapa dirinya yang sebenarnya. Lantas apakah maksud dari perkataan wanita itu, pikir Davine.      

    Saat ini ia memang sedang mencari kebenaran tentang siapa dirinya yang sebenarnya. Benarkah ia adalah salah satu dari dua anak kembar yang tercatat dalam jurnal medis tentang proyek bayi tabung yang sebelumnya ia temukan di dalam pondok milik Lissa itu. Saat ini ia hanya bisa menerka-nerka akan hal itu saja. Ia hanya berhipotesis dengan cara mencocokan setiap kejadian yang ada dalam ingatannya dengan apa yang telah Lissa terangkan di dalam jurnal tersebut. Tentu saja ia butuh bukti valid untuk membuktikan kebenaran dari setiap hipotesisnya tersebut.      

     Lantas bagaimana caranya untuk membuktikan hal itu. Tentu saja benda dan kata-kata yang diucapkan oleh sang ibu adalah kunci dari semuanya, namun apa yang bisa ia dapatkan dari sebuah liontin bermata merah itu. Davine benar-benar tak mengerti akan apa yang Monna maksudkan dari pemberiannya itu. Bagaimana bisa ia mengungkapkan siapa dirinya yang sebenarnya hanya dengan sebuah perhiasan mewah seperti itu, pikirnya lagi.      

     Davine menghela napasnya panjang, ia terus saja memandangi benda pemberian sang ibu itu sembari berbaring di atas kasurnya. Davine membolak-balikkan benda itu, berusaha mencari sesuatu yang mungkin saja bisa ia jadikan petunjuk guna mengungkapkan siapa dirinya seperti apa yang Monna katakan, namun bagaimanapun ia mencoba memperhatikan benda itu dengan sangat teliti namun tetap saja benda itu hanya tampak seperti sebuah perhiasan mewah lainnya.      

     Merasa tak mendapatkan apapun Davine akhirnya memutuskan untuk segera tidur. Ia lebih memilih untuk mengistirahatkan tubuhnya daripada memaksa untuk memikirkan hal yang masih sangat abu-abu seperti itu.      

    Davine berjalan menuju pojok kamarnya, masih dengan liontin bermata merah yang ia genggam. Saat itu, Davine ingin mengembalikan benda pemberian sang ibu kembali ke kotaknya yang ia letakan di atas meja tepat berada di pojok kamarnya.      

     Sampai pada meja tersebut, Davine segera kembali memasukan liontin itu ke dalam kotaknya. Ia hanya membiarkan liontin itu begitu saja tergeletak di atas meja dengan keadaan kotak yang masih terbuka dan sebuah sorotan lampu belajar yang mengarah tepat ke benda itu. Davine kembali menatapi liontin itu untuk sejenak, jelas rasa penasarannya masih begitu besar terhadap benda tersebut. Menanggalkan pikiran itu sejenak, Davine segera meraih saklar lampu yang terdapat pada dinding kamar yang terletak tak begitu jauh dari meja belajar itu. Davine harus mematikan lampu kamarnya agar ia dapat beristirahat.      

     Betapa terkejutnya Davine ketika ia mematikan lampu kamarnya, entah mengapa liontin yang kini disorot langsung oleh lampu belajar yang ada di atas mejanya itu seolah menunjukkan sesuatu.      


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.