Another Part Of Me?

Part 2.20



Part 2.20

0Payung hitam bertebaran di sekitar gundukan tanah basah yang baru saja kembali ditimbun ke tempatnya semula. Galian itu menjadi tempat peristirahatan abadi lelaki tua yang selama ini Davine anggap sebagai orang tuanya itu.     

Hujan turun mengiringi sesi pemakaman itu, tidak ada isak tangis yang terdengar di sana. Para petugas yayasan beserta sang pelatih juga terlihat hanya diam, entah memang tidak ada rasa duka yang merasuk di hati mereka, atau mungkin mereka sengaja menyembunyikan semua itu. Sebagaimana yang selalu sang pelatih katakan pada anak-anak di yayasan tersebut, bahwasanya tangisan adalah bukti dari sebuah kelemahan.     

Davine berdiri di belakang para petugas yayasan dan sang pelatih. Ini kali pertamanya menyaksikan sebuah pemakaman. Ia bahkan tidak peduli dengan rintik hujan yang saat itu telah hampir membasahi sekujur tubuh kecilnya. Kesedihan begitu dalam tertanam di hatinya.     

Perlahan namun pasti satu persatu dari mereka mulai meninggalkan tempat itu. Tidak ada yang berbicara, mereka hanya diam, bahkan lebih terlihat tidak begitu peduli.     

Aktivitas pelatihan untuk sementara ditunda, para petugas yayasan tersebut terlihat sedikit sibuk. Hari itu mereka akan mengadakan sebuah rapat untuk membahas suatu hal yang kelihatannya cukup penting, terlihat dari bagaimana mereka memilih untuk mengesampingkan kegiatan pelatihan rutin yang seharusnya mereka lakukan hari itu.     

Para anak-anak kini dipersilahkan untuk kembali ke kamar mereka masing-masing sembari menunggu instruksi selanjutnya dari sang pelatih.     

Davine menatap kosong ke arah batu nisan bertuliskan 'Robert Cornner' yang tertancap di pemakaman itu. Kini satu-satunya orang yang menjadi cahaya bagi hidupnya telah meninggalkannya untuk selamanya. Davine merogoh kasar saku celana yang dikenakannya saat itu, ia mengeluarkan kotak musik pemberian Kakek Robert dan segera memutar tuas kecilnya.     

"Ini lagu terakhir untukmu!" ujarnya lirih, sebelum akhirnya lantunan kotak musik itu berdentang kecil, suaranya bahkan hampir tak terdengar karena hujan yang semakin deras saat itu. Davine, ia menangis tersedu, sedang air matanya tersamarkan oleh tarian rintik hujan. Kini ia harus benar-benar hidup seorang diri di tengah siksaan yang akan terus menanti dirinya di setiap hari ke depannya.     

Untuk pertama kalinya, lantunan lagu Twinkie Twinkie Little Star yang keluar dari kotak musik usang itu tidak dapat menghiburnya.     

Area yang menjadi pemakaman itu kini telah kosong hanya menyisakan Davine seorang. Pemakaman itu bertempat di sisi luar lapangan tembak yang biasa mereka gunakan sebagai tempat latihan di luar bangunan.     

Davine yang saat itu berpikir jika di tempat itu hanya menyisakan dirinya seorang, dikagetkan oleh seorang anak yang ternyata juga masih berada di tempat itu. Anak itu hanya berdiri mematung dengan jarak yang tidak cukup dekat dengan tempat di mana Kakek Robert kini dimakamkan. Davine menatap lekat anak tersebut. Ia tahu siapa anak itu, dia adalah anak terkuat di kalangan anak-anak seusianya. Wajah anak itu tidak pernah benar-benar terlihat, rambutnya yang sedikit bergelombang itu selalu menutupi bagian dahi hingga mata anak tersebut, dan hanya menyisakan mulut dan hidungnya yang dapat terlihat.     

Untuk sesaat mereka saling berhadapan, walau saat itu Davine tidak dapat menatap langsung mata anak itu. Namun dengan melihatnya saja entah mengapa Davine sudah merasakan sebuah tekanan hebat pada dirinya.     

Davine tidak pernah tahu siapa nama anak-anak yang tergabung di dalam yayasan itu, tidak ada pertemanan di sana, yang ada hanyalah persaingan dan bagaimana cara menginjak satu sama lain. Dan kini anak yang berada tepat beberapa meter di depannya itu seolah memberikan sebuah ketakutan tersendiri untuknya. Kegilaan anak itu sudah tidak perlu dipertanyakan lagi, tidak ada rasa iba, berpasangan dengan anak tersebut saat pertarungan perebutan makanan tentu adalah sebuah kesialan. Davine telah melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana kebrutalan anak tersebut ketika bertarung. Tidak pernah kalah sekalipun, setiap anak yang menjadi lawannya selalu berakhir dengan luka yang sangat parah. Anak itu bagaikan pemegang puncak pada rantai makanan di yayasan tersebut. Tentu ia adalah momok menakutkan bagi seluruh anak-anak yang berada di yayasan tersebut. Terutama bagi mereka yang dalam grup dengan umur 7 tahun.     

Susana itu pecah ketika salah seorang petugas yayasan yang ditugaskan berjaga di tempat itu guna mengawasi pergerakan seluruh anak-anak yayasan yang menghadiri pemakaman itu. Sang petugas berteriak pada mereka dan memberikan isyarat jika waktu mereka telah habis dan harus segera kembali untuk masuk ke yayasan tersebut.     

Davine dengan segera merespons hal tersebut. Ia bahkan merasa jika hal itu adalah sebuah keberuntungan baginya, guna melepaskan suasana tegang yang ia rasakan saat itu. Davine segera mengantongi kembali kotak musik yang dibawanya, untuk terakhir kalinya ia kembali menatap makam Kakek Robert, semua kenangannya terasa sangat membekas, kehangatan dan kasih sayang yang hanya bisa ia rasakan kini tidak lagi bisa dikecapnya. Untuk ke sekian kalinya Davine merasa jika Tuhan tidak pernah adil padanya. Ia tahu kehidupan yang dijalaninya sejak kecil di tempat itu memang sangatlah tidak adil, ditambah kepergian sang Kakek, kini Davine merasa hidupnya benar-benar semakin tidak berharga lagi. Perlakuan yang mereka terima di yayasan tersebut sangat jauh dari cerita manis yang pernah Kakek Robert ceritakan pada dirinya.     

******     

Davine meringkuk di kasurnya, ia tidak henti-hentinya memutar tuas kotak musik usang miliknya. Hari itu sesuai hasil rapat para petugas dan pengurus yayasan maka pelatihan untuk hari itu ditiadakan. Untuk pertama kalinya para anak-anak diberikan sedikit kebebasan hari itu. Namun tidak banyak yang bisa mereka lakukan, sama halnya dengan Davine, para anak-anak tersebut lebih memilih mengurung diri di kamar mereka.     

Dalam satu kamar di yayasan itu diisi kurang lebih 4 sampai 5 anak. Untuk kamar milik Davine saat ini diisi oleh 4 anak seusianya. Namun tidak ada satu pun dari mereka yang menjalin pertemanan satu sama lainnya. Di otak mereka hanya tertanam persaingan dan kemenangan semata.     

Salah satu anak yang berada di kamar tersebut terlihat tertarik dengan kotak musik yang sedang di putar Davine, tanpa berpikir panjang anak itu segera mendekat dan mencoba merampas kotak tersebut. Anak itu memang cukup tangguh dan merasa lebih kuat dari anak yang lainya yang tergabung di kamar itu, sehingga selalu terlihat berusaha menguasai apa pun yang berada di sana. Pemikiran seperti itu sebenarnya sudah sangatlah wajar, mengingat hukum rimba yang secara tidak langsung diterapkan di yayasan tersebut.     

Tanpa berkata sepatah kata pun sang anak dengan segera merampas kotak musik usang yang berada di tangan Davine saat itu. Davine yang merasa terkejut dengan perlakuan sang anak segera naik pitam dan berusaha merebut kembali kotak kesayangannya itu, namun sial cukup dengan satu pukulan dari sang anak telah mampu membuat Davine jatuh tersungkur saat itu.     

"Terima aku, dan biarkan aku yang mengambil alih semua rasa takut saat ini!" suara bisikan misterius kembali terdengar di telinga Davine saat itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.