Another Part Of Me?

Part 3.7



Part 3.7

0Hanna menunggu Sersan Hendrik di lobby rumah sakit. Hari itu Sersan Hendrik telah diperbolehkan untuk pulang setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit tersebut.     

Setelah beberapa hari penelusuran yang dilakukan pihak Kepolisian guna menemukan keberadaan Davine yang saat ini telah masuk dalam daftar orang dalam pencarian saat ini, sialnya mereka masih belum juga menemukan tanda-tanda keberadaannya.     

Pencarian itu difokuskan pada bagian sekitar hutan yang menjadi pembatas kota itu, yang di mana juga merupakan tempat terakhir kali Davine menghilang saat pengejaran yang dilakukan oleh Hanna dan Sersan Hendrik.     

Tim kepolisian juga telah berusaha melacak keberadaannya melalui sarana digital seperti melacak titik lokasi target melalui fitur GPS, ataupun melacak transaksi elektronik terakhir yang dilakukan oleh sang target. Namun hal itu juga sia-sia. Tidak ada aktivitas yang apa pun yang terdeteksi darinya sampai saat ini.     

Tentu bagi Hanna hal itu tidak terlalu mengejutkan. Bagaimanapun juga ia sangat tahu tingkat kecerdasan orang yang menjadi targetnya saat ini, yang tentu saja IQ-nya berada di atas rata-rata. Davine, lelaki itu tidak mungkin melakukan hal-hal ceroboh yang bisa saja membuat pihak Kepolisian dapat melacak keberadaannya saat ini, pikir Hanna.     

"Hey, apa yang kau tunggu, kemari dan bantu aku!" tegur Hendrik pada Hanna yang terlihat sedang melamun hingga tak menyadari kedatangan Sersan Hendrik.     

Hanna seketika itu juga membuang semua pemikiran yang bersarang di benaknya itu untuk sesaat. Ia segera berjalan menghampiri Sersan Hendrik yang terlihat sedikit kesusahan dengan beberapa barang bawaannya saat itu.     

"Biar aku bantu Kak,!" tawar Hanna, ia segera mengambil alih beberapa barang bawaan Hendrik.     

"Bunga yang bagus," tambah Hanna, mengomentari sebuah bunga yang sedari tadi dipegang oleh Hendrik.     

"Ya, aku sedikit dikerjai oleh istriku. Bagaimana bisa ia mengirimkan bunga sepeti ini padaku, selera humor wanita itu memang sedikit keterlaluan!" jawab Hendrik.     

Hanna yang mendengar hal itu dengan segera berusaha mencerna apa maksud dari kata-kata Sersan Hendrik. Ia tahu jika saat ini Sersan Hendrik dan istrinya memang tidak tinggal serumah, saat ini mereka memang terpisah karena pekerjaan mereka masing-masing. Lalu apa maksud dari selera humor yang sedikit keterlaluan itu.     

"Kau tahu apa arti dari bunga ini?" sambung Hendrik.     

"Di beberapa negara bunga ini mempunyai makna akan sesuatu yang tidak baik," tambah Hendrik.     

Hanna yang masih belum paham akan hal itu masih saja diam dan tak dapat merespons kata-kata itu dengan baik, ia bahkan hanya tersenyum untuk menutupi ketidaktahuan dirinya.     

"Wanita itu pernah mengatakan jika suatu saat pekerjaanku pasti akan membunuhku. Kau tahu ia bahkan mengatakan hal itu sembari tertawa!" jelas Hendrik, hubungannya dengan istrinya memang sangatlah unik.     

"Mungkin dia mengkhawatirkanmu, aku rasa dia tipe wanita yang lebih suka menutup kecemasannya," tanggap Hanna.     

"Ya, aku tahu itu. Dia wanita hebat!" ujar Hendrik.     

Sekilas saat melihat bunga putih cantik itu, entah mengapa Hanna merasa kembali teringat akan ibunya yang telah tiada. Namun ia segera menepiskan hal itu dan lebih memilih untuk melupakan hal yang telah lama berlalu itu.     

"Aku telah memesan taksi untuk mengantarmu pulang, beristirahatlah dan pulihkan kondisi Kakak, terlebih dahulu!" Hanna segera berjalan menuju taksi yang sedari tadi telah menunggu di depan rumah sakit itu.     

Setelah memasukkan barang-barang bawaan Sersan Hendrik ke dalam bagasi, ia segera membukakan pintu penumpang pada taksi tersebut untuk Sersan Hendrik.     

"Hanna maafkan aku, jika saja aku tidak tertembak saat itu, mungkin saja operasi kita tidak akan berakhir seperti ini," Hendrik sedikit menundukkan kepalanya, jelas sekali ia merasa sangat kecewa akan hal itu.     

"Tak perlu dipikirkan, kita pasti akan menangkapnya cepat atau lambat!" ujar Hanna, sembari menepuk pelan lengan kiri Hendrik.     

******     

10 menit setelah Sersan Hendrik meninggalkan Hanna yang saat itu masih berada di depan area rumah sakit. Hanna, lelaki itu tidak langsung pulang karena saat itu ia telah berjanji temu dengan Bella di tempat itu.     

Setelah kegagalan dalam operasinya, Hanna memang sedikit merasa frustrasi akan hal itu. Ia telah mencoba mencari keberadaan Davine semampunya, namun lelaki itu bagai hilang ditelan bumi.     

Hanna dan pihak Kepolisian juga telah mencoba untuk kembali melakukan pemeriksaan pada kamar apartemen tempat Davine tinggal, namun hasilnya juga nihil. Tidak ada bukti apa pun yang bisa memperkuat dugaan jika Davine adalah pelaku dari pembunuhan Annie.     

"Hay, astaga ... Hanna, lagi-lagi kau melamun!" tegur Bella yang bahkan kedatangannya tidak disadari oleh Hanna.     

"Kau masih saja memikirkan tentang kegagalan dari operasi yang telah kau jalankan?" tembak Bella.     

Hanna hanya terdiam. Entah mengapa kegagalan itu terus menghantui dalam pemikirannya setiap saat.     

"Kau tahu, kegagalan itu bukan sesuatu yang buruk," tukas Bella.     

"Beberapa orang mungkin harus merasakan kegagalan agar dapat terus berusaha lebih keras lagi. Maksudku, jika kau terus meratapi kegagalan itu, maka hal itu hanya akan semakin menghambat langkahmu saja!" jelas Bella.     

Hanna yang mendengar perkataan itu seketika merasa lebih lega, entah mengapa kekasihnya itu selalu dapat membuatnya merasa jauh lebih tenang.     

"bolehkah aku menciummu sekarang?" ujar Hanna, moodnya sudah kembali seperti sedia kala saat itu.     

"Apa kau gila? Ini kan tempat umum!" jawab Bella, ia sedikit terkejut.     

"Ha ha ha ha ... aku hanya bercanda ...."     

"Hhhmmm ... atau sebenarnya kau memang ingin aku untuk menciummu?" goda Hanna.     

Tentu saja lelaki itu segera mendapatkan tendangan yang cukup keras di kakinya.     

"Itu hukuman karena telah menggodaku!" balas Bella, wajahnya masih sedikit memerah.     

"Lalu, mau ke mana kita hari ini? Rasanya kita sudah cukup lama tidak jalan bersama!" ujar Bella.     

"Ya kau benar, aku terlalu sibuk dengan pekerjaan ini," jawab Hanna, ia memalingkan pandangannya dari wanita itu.     

"Maafkan aku!" ucapnya lagi.     

"Bukankah kau juga melakukan semua itu untukku, jadi aku rasa kau tak perlu meminta maaf akan hal itu," jawab Bella lembut, ia meraih lengan Hanna dan segera menggenggam jari-jemarinya.     

******     

Siska meraih kalender kecil yang terpajang di atas meja di samping tempat tidurnya. Terdapat sebuah tanggal yang telah ia lingkari di sana, itu adalah tanggal ulang tahunnya yang sekitar beberapa hari lagi akan tiba. Namun tidak seperti biasanya, kali ini ia tidak begitu bersemangat akan hal itu. Hari itu tidak akan menjadi begitu spesial karena saat ini ia hanya seorang diri tanpa memiliki kekasih lagi.     

Sudah hampir satu minggu rasanya Siska tidak pernah mendapati Davine di tempat kuliahnya, entah mengapa anak itu tidak pernah sekalipun mengikuti kelasnya lagi. Hal ini tentu menjadi perhatian tersendiri baginya, bagaimanapun juga ia masih memendam rasa pada lelaki itu sampai saat ini.     

Dalam hati kecilnya, ia sangat ingin untuk menanyakan bagaimana kabar lelaki itu, apa ia baik-baik saja saat ini. Tidak seperti Siska yang saat ini tinggal dengan keluarganya yang utuh, Davine, lelaki itu hanya tinggal seorang diri saat ini dan jauh dari keluarga angkatnya. Lalu bagaimana kalau lelaki sakit, siapa yang akan merawatnya? Pikir Siska.     

Sebenarnya saat ini bukanya tidak ada lelaki lain yang mencoba untuk mendekati Siska. Beberapa teman kuliahnya bahkan kerap kali mengajaknya keluar untuk sekedar bersenang-senang. Namun Siska selalu menolak ajakan itu, entah mengapa ia hanya merasa tidak begitu tertarik akan hal itu.     

Belakangan ini perasaannya sedang tidak nyaman, pikirannya selalu tertuju pada Davine. Ia sudah mencoba berbagai cara untuk melupakan lelaki itu, namun semakin ia mencoba, semakin kuat juga perasaan yang kian memberontak di dalam hatinya. Mungkin ia telah salah saat memutuskan untuk mencintai lelaki itu dengan sepenuh hatinya dulu.     

Tidak banyak yang ia lakukan dalam beberapa pekan ini, kesehariannya hanya ia isi dengan tugas-tugas kuliah yang cukup menumpuk, dalam beberapa kesempatan ia juga kerap ikut dalam orasi yang mahasiswa kampusnya itu lakukan. Bagaimanapun ia juga sudah sangat merasa gerah dengan situasi yang sedang terjadi di kotanya saat ini.     

Pembunuhan yang terjadi beberapa waktu lalu juga sangat mengerikan, ia sempat membaca berita itu pada surat kabar yang menerbitkan tentang kasus tersebut. Dari sana ia bisa mengerti bagaimana kegilaan pembunuh berantai itu, dan menariknya korban terakhir yang di temukan juga berasal dari kampus yang sama dengan Annie. Lalu benarkah tidak ada pola yang pasti dalam setiap pembunuhan yang telah terjadi, bukankah aneh jika pembunuhan itu dilakukan secara acak, lantas mengapa bisa terjadi pada dua orang yang berada di satu kampus yang sama, walaupun nyatanya jarak kematian mereka memang cukup jauh.     

Namun jika ia pikirkan lagi, entah mengapa situasi yang ia rasakan saat ini seakan tidak begitu asing dan bahkan terasa sedikit familier baginya, entah kapan ia pernah merasakan hal itu, namun tak dapat dipungkiri jika perasaan dejavu memang begitu terasa baginya. Tak begitu ingin memikirkan hal itu, Siska akhirnya lebih memilih untuk tidur dan mengistirahatkan tubuhnya setelah cukup lelah dengan tugas-tugas yang harus ia kerjakan hari itu.     

******     

Siska menangis ketakutan, saat itu ibunya menarik dan memaksanya untuk bersembunyi di dalam lemari yang berada kamarnya, sedang keadaan di luar rumah mereka sangatlah kacau saat itu.     

Sang ibu menempelkan jari telunjuk di bibirnya, memberi isyarat agar Siska tak mengeluarkan suara sedikit pun. Terlihat jelas raut wajah cemas yang terlukis di wajah sang ibu, namun wanita itu mencoba menyembunyikannya dan berkata jika mereka akan baik-baik saja.     

Baru sebentar sang ibu meninggalkan Siska yang saat itu tengah bersembunyi di dalam lemari itu, tiba-tiba saja terdengar sebuah ledakan keras dari arah luar rumahnya. Teriakan-teriakan terdengar saling bersahutan, entah apa yang sedang terjadi, namun suasana saat itu sungguh benar-benar mencekam.     

Pukul 02.15 a.m. Siska terbangun dari mimpinya. Tangannya gemetar hebat saat itu, sedang jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Ia bersyukur semua hal mengerikan itu telah lama berlalu.     

Pukul 03.05 a.m. Siska kembali tertidur.     

Pukul 06.30 a.m. ia terbangun.     

Siska segera membasuh wajahnya. Mimpi yang ia alami semalam masih melekat di dalam ingatannya, itu adalah sebuah tragedi yang telah berlalu lama sekali. Ia tidak begitu mengingat apa yang telah terjadi saat itu karena umurnya yang masih sangat kecil ketika tragedi itu terjadi. Namun di satu sisi ia yakin jika perasaan dejavu yang ia alami saat ini mungkin saja karena pengalaman yang telah terjadi sewaktu ia kecil dulu. Entah apa itu, mungkin ia akan menanyakan hal itu pada kedua orang tuanya jika ia ada waktu nanti, pikirnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.