Another Part Of Me?

Part 2.17



Part 2.17

0Davine kecil meringkuk di sebuah kamar gelap, udara di kamar itu sangat minim hingga membuat nafasnya terasa sesak, sedang perutnya terasa lapar bukan main.     

Terdengar suara langkah kaki mendekat dari arah luar kamar itu.     

Kreeeaak ...     

Suara derit pintu terbuka. Davine tidak dapat melihat siapa yang membuka pintu tersebut, pupil matanya masih belum terbiasa dengan kondisi itu. Sebuah cahaya menyilaukan menerobos celah pintu disusul dengan sebuah bayangan yang muncul setelahnya.     

"Makanlah!" ujar suara parau yang berada di luar pintu tersebut. Davine dengan mudah dapat mengenali siapa pemilik suara itu.     

Sebuah roti dilemparkan tepat di depan Davine yang sedang meringkuk kelaparan, dengan segera ia menyambar roti tersebut dan menyantapnya dengan lahap. Ia benar-benar membutuhkan pasokan makanan saat itu, bagaimana tidak, Davine hampir sudah pada batasnya saat itu.     

Terlihat sebuah senyum tipis merekah di bibir orang yang berada di balik pintu itu. Kini Davine dapat melihat perawakannya, pupilnya kini dapat bekerja dengan sangat baik.     

Seorang pria tua yang hampir tidak memiliki rambut karena usianya itu tersenyum ramah padanya.     

"Kau harus kuat Nak Davine, usia Kakek mungkin sudah tidak lama lagi!" ujarnya sembari meninggalkan Davine yang masih berada di kamar yang gelap gulita itu.     

Kini Davine dapat mengingat siapa pria tua itu. Ia adalah Kakek Robert, pria yang selalu merawatnya hingga saat ini.     

Davine menangis tersedu mendengar kata-kata tersebut, ia tahu jika sang Kakek telah lama sakit-sakitan. Davine tidak terlalu mengerti seperti apa penyakit yang dideritanya, yang pasti sang kakek selalu mengatakan padanya jika umurnya mungkin sudah tidak lama lagi.     

Keesokan paginya Davine terbangun, ia harus segera keluar dari kamar itu, masa hukumannya seharusnya telah berakhir.     

Selang beberapa saat, benar saja seorang pria berbadan tegap membuka pintu kamar itu untuknya.     

"Keluar sekarang dan bergabunglah dengan teman-temanmu yang lain!" bentak pria itu.     

Davine yang penuh dengan ketakutan segera beranjak dari tempat itu, ia tahu jika pria itu sangat temperamental dan sangat mudah sekali main tangan pada semua anak didiknya di tempat itu.     

Saat itu Davine berada di sebuah yayasan untuk anak yatim dan terlantar yang berada di bagian utara kota itu. Namun tidak seperti yang terlihat dari luar, yayasan itu sangat di penuhi dengan kekerasan, entah apa tujuan mereka, yang pasti semua anak-anak yang berada di sana seakan dilatih dengan sangat keras dalam berbagai hal berbentuk fisik.     

Tidak mudah untuk bertahan di tempat itu, tak terhitung banyaknya anak yang telah tewas karena tidak sanggup mengikuti kerasnya pelatihan tersebut. Untuk sekedar mendapatkan jatah makanan saja mereka bahkan harus bertarung satu sama lainya.     

Jam makan hanya terbagi menjadi dua di yayasan itu, yaitu jam makan siang dan makan malam. Di jam-jam tersebut mereka akan saling di hadapkan satu sama lain, terbagi menjadi dua orang yang nantinya harus saling bertarung, kekalahan adalah hal yang sangat menakutkan bagi mereka, bukan hanya tidak akan mendapatkan jatah makanan, mereka juga akan dihukum dengan cara yang berbeda-beda tiap harinya, layaknya Davine yang saat itu dikurung semalaman dalam sebuah kamar yang sangat kecil, gelap dan minim akan sirkulasi udara. Banyak metode hukuman yang mereka terapkan dan itu sangat menyiksa bagi anak-anak yang menerimanya.     

Pelatihan di tempat itu bagaikan militer, porsi yang mereka terima selalu di luar akal sehat untuk anak dengan umur seperti mereka. Sang pelatih yang adalah pria berbadan tegap itu selalu mengatakan jika mereka adalah bibit-bibit yang nantinya harus melanjutkan perjuangan mereka, tentu Davine tidak mengerti dengan maksud dari kata-kata pria tersebut, yang ia tahu hanyalah penyiksaan tanpa ujung yang setiap harinya dengan mau tidak mau harus mereka ikuti.     

Semenjak kecil Davine selalu di rawat oleh Kakek Robert, pria tua itu bagai seorang ayah bagi Davine, ia tidak tahu asal-usulnya dengan jelas, siapa ayah dan ibunya, yang Davine tahu hanyalah ia telah terjebak di yayasan itu semenjak masih balita. Nama yang Davine miliki saat ini pun adalah pemberian dari Kakek Robert.     

Bisa dikatakan Davine adalah anak terlemah di yayasan itu, ia bahkan selalu menjadi langganan untuk dihukum oleh sang pelatih, caci maki selalu ia terima dari pria tegap yang selalu menjadi momok menakutkan baginya itu.     

"Kau adalah sebuah kegagalan!" ujar sang pelatih itu ketus.     

Hampir di setiap harinya Davine tidak pernah mendapatkan jatah makanya, ia selalu kalah saat bertarung dengan lawannya, namun di tiap hari juga Kakek Robert selalu datang secara diam-diam untuk memberikannya makanan. Sekali waktu Kakek Robert pernah tertangkap basah oleh sang pelatih ketika ia dengan diam-diam memberikan Davine sepotong roti. Hal itu tentu membuat sang pelatih itu marah bukan kepala, Davine melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana pria berbadan tegap itu dengan tanpa perasaan memukuli Kakek Robert yang sudah tua rentan itu. Davine hanya bisa meringkuk ketakutan menyaksikan hal tersebut. Darah sang Kakek mengalir dari wajahnya, sekilas Kakek Robert menatap Davine, ia tersenyum tipis seolah berkata jika ia baik-baik saja. Davine hanya bisa menangis melihat apa yang menimpa pria tua malang itu. Sialnya ia tidak dapat melakukan apa pun saat itu, ia hanya anak kecil lemah yang tak berdaya.     

******     

Davine berdiri saling berhadapan satu sama lain, itu adalah waktu makan siang. Seperti biasa mereka harus melakukan pertarungan untuk memperebutkan jatah makanan saat itu.     

Mereka dibagi sesuai umur mereka masing-masing. Tidak ada satu pun dari setiap anak di yayasan tersebut tanpa sebuah luka atau memar yang terlihat di wajah mereka. Bagaimana tidak, mereka layaknya seorang gladiator yang harus bertarung mati-matian satu sama lain setiap harinya. Beberapa terlihat kurus dan bahkan kekurangan gizi, sedang mereka harus menerima pelatihan yang di luar logika setiap harinya.     

Keadaan itu secara perlahan merenggut sisi kemanusiaan mereka, yang terpikirkan oleh anak-anak itu hanyalah bagaimana mereka bisa bertahan hari ini. Raut mata mereka bagaikan binatang, hukum rimba jelas berlaku di tempat itu, yang kuat adalah raja dan yang lemah adalah mangsa. Setidaknya itulah yang telah tertanam dalam otak setiap anak yang berada di yayasan tersebut. Mirisnya di usia mereka yang masih sangatlah muda mereka mau tidak mau harus bersaing dan berpikir di luar batas umur mereka.     

Davine berada di grup yang berisikan anak di usia 6 sampai 7 tahun. Ia telah bersiap di posisinya, sesaat lagi pertarungan itu akan dimulai.     

Sebuah bel berbunyi tanda pertandingan telah dimulai. Lawan Davine kala itu memiliki badan yang sedikit lebih besar darinya, walau umur mereka sama, namun perbedaan postur itu sangat kentara. Anak itu dengan segera melancarkan tendangannya pada Davine dengan sekuat tenaga, serangan pertama itu selalu sangatlah fatal karena setiap individu pasti akan mengeluarkan tenaga penuhnya pada serangan itu. Davine yang berusaha menghindari serangan itu tidak cukup cepat. Tendangan itu bersarang tepat di perut dan membentur keras di ulu hatinya.     

Davine tersungkur, serangan itu membuatnya jatuh seketika. Belum sempat ia berdiri, kini lawannya itu segera melancarkan sebuah tinju tepat menuju wajah Davine, darah segar mengalir di hidungnya.     

Davine yang menerima hal itu tidak dapat melakukan perlawanan sedikit pun, ia jatuh dan dinyatakan kalah dalam pertarungan itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.