Another Part Of Me?

Part 2.18



Part 2.18

0Davine berdiri di tengah lapangan bersama beberapa anak yang kalah dalam pertarungan sebelumnya. Matahari saat terasa sangat terik karena berada tepat di atas kepala mereka, beberapa anak bahkan jatuh pingsan, peluh mereka membasahi hampir di seluruh tubuh mungil meraka. Setidaknya itulah hukuman yang diberikan oleh sang pelatih untuk para pecundang yang kalah hari itu.     

Setelah hampir empat jam dalam keadaan tersebut akhirnya waktu hukuman itu kini telah selesai. Davine, untungnya ia masih bisa bertahan saat itu. Untuk sementara mereka di perbolehkan untuk beristirahat sejenak sebelum nantinya akan kembali mengikuti latihan fisik yang akan terasa seperti di neraka itu.     

Anak-anak itu dengan segera berlari ke ruang makanan yang berada di yayasan itu, setidaknya mereka masih mendapatkan sedikit air dan sisa-sisa makanan dari para anak lainya. Begitulah cara mereka bertahan hidup selama ini, mereka tidak segan untuk mengais sisa-sisa dari piring bekas makanan anak-anak yang memenangkan pertarungan sebelumnya. Hal itu sudah menjadi pemandangan yang sangat lumrah di yayasan tersebut. Tidak ada rasa jijik, yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana cara agar tenaga mereka kembali terisi sebelum nantinya mereka akan kembali di hadapkan dengan pelatihan-pelatihan yang tidak masuk akal dan tentunya akan sangat menguras tenaga.     

Dalam dua tiga bulan setidaknya selalu saja ada anak yang tewas karena tidak mampu mengikuti pelatihan itu. Tentu saja tidak ada yang peduli akan hal itu, karena notabenenya mereka adalah anak-anak terlantar dan tidak memiliki sanak saudara. Tidak akan ada yang mencari keberadaan mereka. Bahkan mereka tidak tahu entah di mana mayat-mayat itu di kuburkan. Saat itu mereka lebih terlihat bagai sebuah objek daripada seorang manusia, tidak ada belas kasih di yayasan tersebut, tidak ada rasa iba, yang terpenting adalah kekuatan. Satu-satunya yang mereka pelajari di sana adalah bagaimana mereka bisa menginjak-injak anak lainya demi bertahan hidup.     

******     

Sore itu untuk pertama kalinya Davine dapat memenangkan pertarungannya guna memperebutkan makan malam. Ia sangat beruntung karena kondisi fisik lawan yang dipasangkan dengannya saat itu benar-benar buruk. Anak tersebut bahkan jauh lebih kurus dari Davine, belum lagi beberapa memar yang hampir tercetak jelas di seluruh tubuhnya, Davine tahu, ia sudah kerap kali melihat anak yang saat itu menjadi lawannya, anak yang juga selalu menjadi bulan-bulanan anak lainya karena lemah dan tak mampu bersaing. Davine bahkan tahu jika anak itu saat ini sudah tidak punya harapan lagi. Bagaimana tidak, mata anak itu terlihat kosong seolah telah menyerah dan pasrah dengan apa yang menimpanya saat ini.     

Berbeda dengan Davine, yang selalu diberikan asupan makanan secara diam-diam oleh Kakek Robert, entah mengapa sang kakek hanya melakukan hal itu pada Davine seorang, namun tidak pada anak lainya.     

Malam itu untuk pertama kalinya Davine bisa merasakan nikmatnya menjadi pemenang. Kali ini ia boleh tidur di sebuah kasur empuk yang sangat nyaman. Tidak seperti biasanya, jika ia kalah maka ia mau tidak mau harus bergabung dengan para anak lainya yang juga mengalami kekalahan untuk tidur di lantai kamar mereka, tanpa selimut tentu rasa dingin akan menembus hingga ke tulang dan akan terasa sangat menyiksa sepanjang malam sebagai bentuk hukuman. Hukuman ini sebenarnya tidak selalu sama, bahkan sangat bervariasi. Sekali waktu bahkan Davine pernah dihukum untuk tidur di tengah lapangan karena kekalahannya dalam pertandingan makan malam. Namun tidur di lantai ruangan tanpa beralaskan kasur dan selimut sudah menjadi sebuah kebiasaan dan bahkan bisa dikatakan sebagai kemurahan hati dari sang pelatih bagi mereka yang kalah dalam pertandingan tersebut.     

Davine membuka sebuah kotak musik kecil pemberian Kakek Robert padanya. Kotak musik itu sudah terlihat sangat tua dan usang, namun Davine sangat menyukai benda tersebut, ia bahkan selalu memutar tuas kecil yang terdapat di salah satu sisi kotak tersebut guna menghasilkan alunan lagu yang sangat ia sukai semasa itu. Kotak musik itu melantunkan sebuah lagu Twinkle Twinkle Little Star. Walau kotak itu sudah usang dan cukup tua namun benda tersebut masih berfungsi dengan sangat baik. Tidak butuh waktu lama malam itu untuk Davine dapat terlelap dengan nyaman di kasur empuknya.     

******     

Hari ini semua anak kembali dikumpulkan di sebuah lapangan khusus yang berada di sisi kiri, yang berada di luar yayasan itu.     

Itu adalah sebuah lapangan tembak. Hanya terdapat sebuah sasaran tembak yang terdapat hampir di ujung lapangan tersebut, sedang sekeliling lapangan itu terbentang hutan yang masih sangat lebat. Beberapa penjaga yayasan terlihat bersiaga di sisi lapangan lengkap dengan sebuah handgun di tangan mereka. Hal ini bertujuan untuk berjaga-jaga kalau saja ada anak dari yayasan tersebut yang mencoba melarikan diri, mengingat pelatihan kali ini di lakukan di luar bangunan yayasan tersebut. Tentu mereka tidak akan segan-segan untuk menembak jika saja hal itu terjadi.     

Davine berada di tengah-tengah barisan itu, sejenak ia mengamati seluruh bentuk bangunan yayasan itu dari luar, ini kali pertamanya ia keluar dari yayasan tersebut sedari ia masih kecil. Bangunan itu terdiri dari dua lantai berbentuk persegi empat dengan sebuah lapangan yang dikelilingi bangunan itu tepat di tengah-tengahnya sebagai sentral. Tembok bangunan itu menjulang tinggi lengkap dengan kawat berduri yang mengitari sekelilingnya. Kakek Robert pernah sekali waktu bercerita jika bangunan yayasan tempat tinggal mereka saat ini adalah sebuah gedung bekas penjara beberapa puluh tahun yang lalu.     

Setelah pemerintah kota memindahkan semua tahanan pada penjara baru yang bertempat lebih strategis, kini bangunan itu kemudian dialih fungsikan menjadi sebuah yayasan tempat penampungan anak yatim dan gelandangan yang notabenenya sudah tidak memiliki sanak saudara lagi.     

Kakek Robert juga menjelaskan jika yayasan itu didanai oleh seorang donatur yang bisa dibilang sangat kaya raya. Karena yayasan tersebut adalah sebuah yayasan swasta yang tidak diprakarsai oleh pemerintah kota setempat. Namun ketika Davine bertanya siapa orang tersebut, Kakek Robert dengan segera mengalihkan pembicaraan mereka kala itu.     

Bagi Davine yayasan itu tidak jauh berbeda dengan fungsi bangunan itu sebelumnya. Selama 7 tahun ia benar-benar merasa terpenjara, ia hanya bisa melihat dunia luar dari televisi usang yang berada di yayasan tersebut, dan itu pun hanya bisa dinikmatinya dengan cara diam-diam dengan bantuan Kakek Robert.     

Melihat keadaan sekitar Davine dapat menyadari jika yayasan itu mungkin saja terletak jauh dari pusat kota, bagaimana tidak, hanya hutan yang cukup rimbun yang dapat ia lihat sejauh matanya memandang kala itu.     

Tak terasa kini giliran Davine untuk melakukan latihan tembak yang mereka jalankan saat itu. Untuk ke sekian kalinya sang pelatih memberikan contoh dan arahan pada Davine, sama halnya seperti yang dilakukannya pada anak-anak sebelumnya. Tangan kecil Davine bergetar hebat kala itu, saat ini ia sedang memegang sebuah handgun asli di tangannya. Handgun itu diberikan oleh sang pelatih dengan keadaan siap tembak. Saat ini jarak antara Davine dan papan tembak sekitar 15 meter.     

Davine masih dengan tangannya yang gemetaran berusaha membidik sasaran itu. Ia tahu jika yang sedang dipegangnya saat itu adalah benda yang sangat berbahaya. Ia sering melihat benda itu dalam beberapa film aksi yang ditontonnya bersama Kakek Robert. Ia ingat benar jika saat itu Kakek Robert berkata jika benda itu sangatlah berbahaya.     

Dooorr ...!     

Dooorr ...!     

Dooorr ...!     

Dalam tiga kesempatan yang diberikan, tidak satu pun dari tembakan itu yang berhasil mengenai target yang diminta oleh sang pelatih. Satu peluru melesat jauh, bahkan tidak mengenai sedikitpun papan target itu, sedang dua peluru lainya yang Davine tembakan berhasil mengenai papan, namun jauh dari zona target yang diminta oleh sang pelatih. Alhasil sama hanya dengan anak-anak yang gagal sebelumnya, Davine menerima hukuman dengan sebuah cambukan keras menggunakan sebuah rotan pada kedua telapak tangannya.     

Itu adalah hari yang terasa begitu panjang bagi Davine, latihan tembak itu terus diulang berkali-kali, setiap kali seorang anak yang baru saja menembak akan diperintahkan untuk kembali ke barisan yang paling belakang untuk kembali menunggu giliran mereka yang selanjutnya. Beberapa jam yang mereka habiskan di lapangan tersebut terasa begitu menyiksa, begitu pula dengan Davine, hari itu ia menerima beberapa cambukan keras di kedua telapak tangannya secara berulang-ulang dari sang pelatih.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.