Another Part Of Me?

Part 2.21



Part 2.21

0Davine dengan brutal menginjak-injak anak yang berusaha merampas kotak musik kesayangannya itu, sedang anak lainnya hanya berdiri mematung melihat aksi gila yang sedang ia lakukan. Perlahan sebuah senyum merekah samar di bibirnya kala itu. Tidak ada ampun, Davine kecil terus saja menginjak-injak wajah anak itu.     

Darah mulai berceceran dari hidung sang anak, sesekali membuat kaki kecil Davine terpeleset dari wajah anak tersebut, karena licin dari darah yang mengalir hebat dari hidung dan mulut anak itu.     

"Ha ha ha ha ...!" Davine tertawa girang. Adrenalinnya terpacu karena bau amis dari darah segar yang keluar dari anak tersebut.     

"Ha ha ha ha ...!"     

"Ha ha ha ha ...!" kini tawa Davine bahkan semakin lepas.     

Jelas sekali terlihat bagaimana ia sangat menikmati hal itu. Hingga akhirnya datanglah seorang petugas yayasan ke kamar itu sebab keributan yang terjadi.     

Petugas itu segera menahan Davine yang saat itu sudah tak terkontrol lagi, menarik tubuh kecil itu dan segera menghempaskannya ke lantai. Bahkan petugas yang saat itu mencoba menghentikan aksi Davine dibuat kaget bukan kepalang, bagaimana tidak, kini kondisi sang anak terlihat benar-benar parah.     

Davine yang sudah kembali berdiri dengan segera kembali mendekati anak itu, ia bahkan tidak memedulikan peringatan yang diberikan oleh petugas itu. Davine kecil terus berjalan mendekati sang anak yang saat itu sudah tidak sadarkan diri itu.     

Petugas itu dengan segera mengeluarkan sebuah tongkat listrik yang selalu menggantung di pinggangnya dan bersiap untuk menyerang Davine dengan benda tersebut. Setiap petugas di yayasan itu memang dibekali benda tersebut guna menghukum para anak-anak yang tidak bisa diatur. Beberapa bahkan dibekali dengan sebuah handgun yang tentunya hal itu ilegal untuk mereka miliki.     

"Berhenti di sana Nak,!" ancam petugas itu.     

Namun Davine tak menggubrisnya sama sekali, tatapannya sangat berbeda, saat itu ia layaknya bak seekor singa ganas yang berusaha menerkam mangsanya.     

Davine kini berada kembali tepat di depan sang anak, beberapa kali sang petugas kembali memperingatkan Davine untuk segera menjauh dari sang anak yang saat itu telah tidak sadarkan diri itu.     

Davine membungkukkan badannya, tangan kecilnya seolah ingin kembali meraih kerah baju yang dikenakan sang anak, namun hal itu akhirnya diurungkannya. Kini tangannya beralih dan segera memungut kotak musiknya yang saat itu tergeletak jatuh tidak jauh dari sang anak tersebut.     

Namun sesaat ketika ia berhasil meraih kotak tersebut, sebuah kejut listrik menyengat tepat di lehernya. Tidak butuh waktu lama untuk hal itu membuat Davine pingsan seketika.     

******     

Davine terbangun di sebuah ruang kecil dan gelap, ia tahu jika saat itu ia pasti sedang ditahan di ruang isolasi khusus anak yang bermasalah atau membuat onar.     

Ruang itu sangat sempit, saking sempitnya ia bahkan tidak dapat hanya untuk sekedar meluruskan kakinya, membuatnya mau tidak mau hanya duduk sembari melipatkan kedua kaki mungilnya itu.     

Hal pertama yang dicarinya saat itu adalah kotak musik miliknya, Davine memperhatikan sekitarnya, kalau-kalau saja kotak itu berada di sana, namun tentu saja hal itu mustahil, karena di saat itu ia pingsan sebelum sempat mengambil kembali benda tersebut.     

Entah telah berapa lama Davine berada di ruang isolasi itu, minimnya sirkulasi udara dan pengap ruangan membuat kepalanya terasa pening. Di saat itu ia segera teringat almarhum Kakek Robert, biasanya di saat-saat seperti ini sang kakek selalu muncul dan secara diam-diam memberikannya sebuah semangat, entah itu berupa kata-kata yang memotivasi, atau hanya sekedar memberikan asupan konsumsi seperti air dan makanan.     

Masih tertanam jelas di pikirannya bagaimana sosok sang kakek bak layaknya malaikat yang selalu hadir di saat ia membutuhkan. Namun kenyataan kali ini benar-benar begitu pahit untuk dikecapnya. Kini hanya ada jalan terjal yang harus ia lewati, haruskah ia membuang sisi kemanusiaan yang selama ini telah Kakek Robert ajarkan padanya untuk dapat tetap bertahan hidup di yayasan yang begitu keras itu.     

Pintu ruang itu terbuka, Davine sontak mengira jika itu adalah Kakek Robert. Tentu saja hal itu mustahil, nyatanya sosok pria tegap yang saat itu berada di hadapannya.     

"Aku dengar kau membuat ulah!" ujar sang pelatih itu pada Davine yang kini sedang meringkuk ketakutan di ruang sempit itu.     

"Keluarlah, aku akan memberimu sedikit pelajaran!" pria itu menarik kasar tubuh kecil Davine, dan segera menghempasnya keluar dari ruangan itu.     

Sang pelatih segera membuka gesper yang sedang ia kenakan dan mencambuk kaki kecil Davine yang saat itu masih tersungkur karena hempasan dari sang pelatih sebelumnya.     

Ctaaas ... ctaaaaas ... ctaaasssss ...     

Setelah cukup puas melakukan hal itu kini sang pelatih kembali memerintahkan Davine untuk kembali ke ruang isolasi sempit itu. Kaki Davine kini penuh dengan luka yang terasa sangat perih. Bagaimana tidak, cambukan dari gesper yang terbuat dari kulit dan bertekstur kasar itu memberikan kerusakan yang cukup berdampak untuk kaki kecilnya.     

Dengan kaki yang kini penuh dengan luka itu kini sang pelatih memerintahkan Davine untuk kembali ke ruangan kecil itu, kali ini sang pelatih memerintahkannya untuk tetap berdiri selama ia berada di dalam ruang hukuman tersebut. Sang pelatih bahkan tidak lupa untuk memberikan ancaman, jika saja Davine berani untuk duduk maka ia akan melakukan hal itu lebih dari sebelumnya.     

Davine hanya bisa pasrah menerima semua perlakuan keji yang diberikan sang pelatih padanya saat itu.     

"Lupakan semua belas kasih yang ada dalam dirimu ...."     

"Jika kau ingin bertahan, maka jadilah iblis yang sesungguhnya!"     

Suara misterius itu kembali terngiang di kepala Davine.     

"Terima aku, aku adalah kau, dan kau adalah aku. Kita bisa melewati hal ini bersama!"     

Kini kepala Davine terasa sangat sakit, sedang suara itu terus saja mengiang hebat di kepalanya.     

Davine berusaha melawan, seolah seakan sisi gelap dalam dirinya ingin mengambil alih semua kesadarannya saat itu.     

"Pergi ...!" Teriak Davine, sembari menutup kedua telinganya.     

"Pergi kau ... aku tidak membutuhkanmu!" cerca Davine.     

"Pergilah ... kumohon ...!" kini teriakan itu berubah menjadi rintihan.     

Sesaat Davine terdiam, dan kemudian perlahan menangis tersedu.     

"Kakek mengapa kau meninggalkan aku sendirian di tempat ini."     

"Kumohon kembalilah, kembalilah Kakek Robert," rintih Davine dalam tangisnya.     

Waktu terasa berjalan sangat lambat hari itu, sedang Davine masih berusaha sekuat tenaga mempertahankan kesadarannya. Tenaganya benar-benar habis. Peluh membasahi seluruh tubuhnya saat itu, ruangan itu terasa sangat pengap, rasa haus yang sangat hebat melanda di tenggorokannya. Tanpa sadar Davine bersenandung kecil dalam ruangan gelap itu. Bahkan sesekali ia terkekeh kecil tanpa alasan yang jelas.     

"Twinkle, twinkke, little star ...     

Dia manis sekali ...     

Dia tertawa girang ...     

Kakinya penuh luka ...     

Twinkle, twinkle, little star ...     

Darah dimana-mana, bunuh saja semua ...."     

Sebuah senyuman tipis merekah di bibirnya. Untuk kesekian kalinya mata itu kembali terlihat begitu berbeda dari sebelumnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.